Jakarta (ANTARA News) - Perbaikan sistem akuntansi dan hukum yang ada di Indonesia hingga saat ini belum menunjukkan kemajuan berarti dalam meningkatkan mutu personal bankir, pengusaha, dan birokrat. "Pihak-pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya krisis beberapa waktu lalu belum tersentuh hukum, laporan keuangan pemerintah pusat sejak tahun 2004 hingga kini masih disclaimer, praktek buruk Orde Baru di mana dana negara disimpan atas nama pribadi masih terus berlanjut hingga sekarang," kata Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Anwar Nasution, di Jakarta, Rabu. Menurut dia, akibat buruknya administrasi keuangan negara, rating Indonesia di pasar internasional tetap rendah, sehingga ketika pemerintah menerbitkan surat utang negara (SUN) internasional, biayanya sangat tinggi. Sementara itu, dalam praktek perbankan, berbagai komitmen nasional dalam rangka restrukturisasi industri perbankan mulai ditinggalkan satu per satu. "Bankir yang tercemar boleh menjadi pengurus, pemilik, atau pengendali bank lagi," kata Anwar, yang juga mantan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia (BI). Ia juga menyesalkan adanya anggapan bahwa pengungkapan kasus di perbankan (terutama bank BUMN) akan menghambat ekspansi kredit perbankan, padahal hambatan itu sebenarnya berasal dari struktur portofolio kreditnya yang kurang baik dan kurang likuid. "Sementara hasil pemeriksaan BPK menunjukkan bahwa cukup banyak porsi kredit di masa lalu yang didasarkan kepada praktek KKN, bukan berdasar analisis kredit, adanya kolateral (jaminan), maupun ketersediaan pendukung lainnya dari pemohon kredit," katanya. Menurut Anwar, BUMN di Indonesia juga perlu segera mendapat pembenahan. Di negara lain, modal BUMN merupakan uang negara yang dipisahkan dan kerugian yang dialami tidak lagi merupakan kewajiban kontingensi pemerintah, sehingga pengurusnya pun harus akuntabel dan bertanggung jawab penuh atas prestasi kerja perusahaan yang diurus. "Kondisi di Indonesia justru sebaliknya, meskipun sudah 'go public', tapi pemerintah masih mempunyai 'golden share'. Artinya punya kekuasaan dominan dalam menentukan pengurus dan arah kebijakan perusahaan itu. Akibatnya segala kerugian yang dialami perusahaan itu merupakan kerugian kontingensi pemerintah," katanya. Ia mencontohkan kasus yang terjadi pada Bank BNI. Pemerintah cukup dominan dalam menentukan pengurus perusahaan yang sudah `go public` sebelum krisis 1997/1998 maupun setelah krisis. Dalam penyaluran kredit pun tidak ada perbedaan sebelum krisis maupun setelah krisis ekonomi. Penyaluran kredit tidak mengalami perubahan yaitu kental dengan KKN. Adanya kasus Letter of Credit (L/C) fiktif menunjukkan tidak adanya perubahan dalam hal penyaluran kredit. "Belum ada satu pun pengurus BUMN pada masa krisis maupun setelahnya yang masuk penjara sesuai dengan UU tentang Perbankan tahun 1998," katanya. Menurut dia, tanpa adanya perbaikan sistem hukum dan sistem administrasi keuangan tidak mungkin Indonesia meningkatkan efisiensi dan profesionalisme BUMN. "Peningkatan efisiensi memungkinkan perekonomian berperan lebih besar dalam era globalisasi dan dapat bersaing di lingkungan internasional," kata Anwar Nasution. (*)

Copyright © ANTARA 2006