kebijakan BBN yang merupakan strategi iklim di bidang energi ini juga harus memperhatikan keberlanjutan berbagai aspek
Jakarta (ANTARA) - Yayasan Madani Berkelanjutan memandang kebijakan bahan bakar nabati atau BBN kini telah bertransformasi tidak hanya sebagai kebijakan untuk mengamankan ketahanan energi tetapi juga strategi mitigasi iklim di Indonesia.

Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan Nadia Hadad mengatakan kebijakan bahan bakar nabati sudah tertuang dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC). Hal itu juga selaras dengan pencapaian target netralitas karbon Indonesia pada tahun 2060 atau lebih cepat melalui bantuan internasional.

"Oleh karena itu, kebijakan BBN yang merupakan strategi iklim di bidang energi ini juga harus memperhatikan keberlanjutan berbagai aspek, ekologi, ekonomi, sosial agar dampaknya dan tujuannya itu bisa tercapai," kata Nadia dalam peluncuran laporan sintesis bahan bakar nabati yang dipantau di Jakarta, Kamis.

Ketika pertama kali ditetapkan, Undang-Undang Energi dan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 sebagai instrumen utama bagi kebijakan penggunaan energi dalam rangka mencapai ketahanan energi masih belum secara eksplisit memperhatikan komitmen pemerintah dalam menurunkan emisi gas rumah kaca.

Komitmen Indonesia untuk memitigasi krisis iklim dengan menandatangani Persetujuan Paris turut mempengaruhi perkembangan kerangka kebijakan bauran energi di Indonesia.

Baca juga: Riset: Bahan bakar nabati salah satu strategi kurangi emisi karbon
Baca juga: Menelisik potensi nyamplung sebagai bahan baku biodiesel di Selayar

Dalam dokumen NDC terbaru yang disampaikan oleh Indonesia pada tahun 2021, pemerintah menargetkan penurunan emisi gas rumah kaca dengan upayanya sendiri sebesar 29 persen dan dengan dukungan internasional hingga 41 persen dibandingkan dengan skenario business as usual (BaU) pada tahun 2030.

Sektor energi ditargetkan berkontribusi 11 persen sampai 15,5 persen dari target tersebut atau kedua tertinggi setelah sektor kehutanan dan lahan.

Berdasarkan dokumen NDC, pemanfaatan bahan bakar nabati sebagai salah sau strategi penurunan emisi dengan fokus biodiesel 30 persen atau B30. Dalam NDC terbaru terdapat catatan bahwa bahan baku utama untuk BBN di subsektor transportasi akan berasal dari kelapa sawit.

Selain menjadi strategi kunci dalam mewujudkan pengurangan emisi karbon pada tahun 2030, pemanfaatan bahan bakar nabati juga menjadi strategi jangka panjang untuk pembangunan rendah karbon dan berketahanan iklim atau LTS-LCCR 2050 demi mencapai target netralitas karbon.

BBN diproyeksikan mendominasi bauran energi di subsektor transportasi pada tahun 2050, yakni sebesar 46 persen lebih besar daripada kendaraan listrik yang hanya mencapai 30 persen, bahan bakar minyak sebesar 20 persen, dan gas alam sebesar 4 persen.

Baca juga: ESDM: 25 persen dari target EBT bersumber dari bahan bakar nabati
Baca juga: BPDPKS sebut kebutuhan dana insentif biodiesel pada 2021 masih tinggi

Dokumen LTS-LCCR Indonesia mengakui strategi pengurangan emisi menggunakan bahan bakar nabati dapat menimbulkan dampak negatif, antara lain, ketahanan pangan, keanekaragaman hayati, dan tujuan lingkungan lainnya.

Hal ini berkaitan dengan bertumpunya pengembangan BBN di Indonesia pada satu komoditas tunggal, yakni kelapa sawit yang masih diwarnai berbagai permasalahan terkait keberlanjutan, baik dari sisi sosial, ekonomi, maupun ekologi.

Manajer Riset dan Pengembangan Koaksi Indonesia Azis Kurniawan menuturkan pemerintah perlu melakukan diversifikasi bahan bakar nabati dengan memilih bahan baku yang tidak bersinggungan dengan pangan supaya harga biofuel cenderung lebih stabil.

"Diversifikasi sektor energi khususnya biofuel jangan cuma berasal dari sawit, tetapi juga tanaman-tanaman lainnya yang kalau bisa non-edible yang tidak berkompetisi dengan pangan, contohnya jarak dan nyamplung," kata Aziz.

Baca juga: BPPT: Pengembangan BBN ditingkatkan untuk substitusi BBM

Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2022