Pekanbaru, (ANTARA News) - Sejak dua puluh tahun terakhir perubahan panas udara di Riau terus meningkat bahkan suhu udara bertambah dua derajat Celcius dari 21 derajat Celcius pada 1986. "Masa 20 tahun itu terbagi atas 15 tahun pertama peningkatan panas satu derajat dan dalam lima tahun terakhir tingkat kepanasan cepat bergerak hingga mencapai satu derajat," ujar Kepala Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Pekanbaru Blucher Doloksaribu ketika ditemui di Pekanbaru, Kamis (6/4). Ia mengakui, bertambahnya suhu udara di Riau itu menjadi 23 derajat Celcius, dari hasil penelitian yang dilakukan sejak 1986 lalu. Hingga kini grafik peningkatan panas dari tahun ke tahun terus menunjukkan kenaikan suhu udara meskipun pada 94 terjadi penurunan hampir ke posisi 21 derajat, namun kemudian melonjak lagi hingga sekarang mencapai 23 derajat Celcius. Menurut dia, bertambah panasnya suhu udara itu disebabkan beberapa faktor, namun didominasi pembakaran lahan secara besar-besaran di Riau yang terjadi sepanjang tahun. Sebab, lanjut dia, lahan di Riau umumnya merupakan rawa gambut yang seharusnya menjadi daerah resapan air tetapi dibuka dengan cara pembakaran dan kemudian diubah sebagai hutan tanaman monokultur seperti tanaman kelapa sawit atau akasia. "Hutan yang semula heterogen dan menjadi penjamin mata rantai makanan, kemudian berubah menjadi hutan satu jenis tanaman hingga memutuskan mata rantai makanan," katanya. Ia menambahkan, kebakaran lahan gambut tidak hanya menimbulkan asap tebal yang mempengaruhi udara tetapi juga menimbulkan gas-gas rumah kaca seperti karbondioksida (CO2), metana, carbon monoksida serta gas beracun lainnya (NOx dan COx). Menurut dia, jika kondisi perubahan suhu itu terus berlanjut dan gas rumah kaca terus mengepung udara Riau maka bukan tidak mungkin dalam beberapa tahun ke depan daerah ini akan krisis air. Sebab, lanjut dia, daerah tangkapan air telah berubah dan perubahan suhu menyebabkan perubahan iklim mendasar yakni kemarau panjang dan terjadi hujan sporadis yang menimbulkan banjir karena tidak adanya daerah resapan air. "Seharusnya pada April sampai Mei merupakan puncak musim hujan pertama di Riau, tetapi kini tidak lagi," katanya. Sementara itu, seorang peneliti dari Universitas Riau (Unri) T. Ariful Amri mengatakan, gas rumah kaca sangat berbahaya bagi bumi karena dibungkus mantel CO2 yang menghalangi pemantulan cahaya matahari. Ia mengatakan, panas pada siang hari diserab oleh bumi dan dipantulkan kembali pada malam hari. Namun, karena udara terhalang lapisan rumah kaca menyebabkan pantulan panas tersebut kembali ke bumi. "Itu sebabnya tidak hanya pada siang hari saat malam juga terasa udara panas," ujar Ariful. Ia yang juga Direktur Pusat Kajian Rona Lingkungan dan Sumberdaya Alam Unri mengatakan, gas rumah kaca di Riau yang bercampur asap dari kebakaran lahan gambut dan kendaraan bermotor berpeluang munculkan hujan asam. Menurut dia, hujan asam menyebabkan tanah semakin krosis tidak subur dan mematikan vegetasi sehingga merusak sistem pertanian, perkebunan dan lain sebagainya. Ia menjelaskan, satu-satunya upaya untuk mengubah peningkatan panas bumi melalui penghijauan sebab fotosintesis tanaman dapat menyerab carbon dioksida dan menghasilkan karbohidrat. "Itu sebabnya hutan alami wajib dipelihara sebagai paru-paru dunia. Jika penyelamatan hutan alam ini dapat dilakukan maka bukan tidak mungkin udara panas di Riau akan merubah menjadi sejuk," katanya.(*)

Copyright © ANTARA 2006