beras produksi kelompok tani tersebut terbeli habis di tempat. 
Wamena (ANTARA) - Berada di ketinggian 1.600 meter di atas permukaan laut, Jayawijaya merupakan satu kabupaten di daerah pegunungan tengah Provinsi Papua yang mewariskan tanah subur tanpa tercemar pupuk kimia.

Akan tetapi hingga sekarang tanah subur tersebut belum mampu menghasilkan beras untuk menjawab tingginya permintaan pasar serta ketergantungan masyarakat terhadap nasi dibandingkan pangan lokal.

Tidak banyak orang di Papua yang tahun bahwa untuk melindungi warga dan alam di sini, bertahun-tahun pemerintah melarang peredaran bahkan penggunaan pupuk kimia. Sayur-mayur, bahkan persawahan masih tumbuh subur dengan pupuk alami.

Sungai Baliem yang setiap detik tidak henti menyuplai air untuk tumbuhan-tumbuhan dan keperluan warga 20 distrik di sekitarnya, membentuk ratusan hektare kawasan berawa yang potensial untuk pengembangan persawahan. Namun selama 60 tahun lebih penduduknya masih sepenuhnya bergantung pada beras impor.

Pemerintah yang melihat potensi itu pernah memotivasi masyarakat membuka persawahan. Pengembangan persawahan yang dimulai sebelum tahun 1988 ini berhasil. Seiring berjalan nya waktu, padi mulai menggeser posisi makanan pokok masyarakat yaitu ubi jalar dan talas. Akan tetapi perubahan pola konsumsi ini tidak didukung komitmen pemilik lahan persawahan untuk melanjutkan pengembangan persawahan sehingga lahan-lahan itu terabaikan.

Pemerintah saat ini secara bertahap kembali menggerakkan masyarakat menghasilkan beras melalui pembukaan lahan sawah. Pemerintah meyakini hal itu mampu memberikan keuntungan ekonomi bagi petani dan menjamin ketahanan pangan.

Salah satunya didorong oleh Komandan Kodim 1702 Jayawijaya Letkol Cpn Athenius Murib bekerja sama dengan masyarakat Kampung Helaluba, Distrik Asolokobal.

Dandim yang masih memiliki hubungan keluarga dengan warga setempat itu kemudian memotivasi warga untuk membuka 14 hingga 15 hektare lahan persawahan sebagai langkah awal. Seluas 7 hektare dari target itu sudah dibajak dan nantinya ditanami padi setelah 17 hari persemaian.

"Saya bantu dengan mencarikan alat. Anggota saya hari ini sedang bekerja. 4-7 hektare yang sudah dibajak dan siap ditanam. Dahulu sudah pernah ada sawah tetapi tidak terawat jadi kita tinggal merapikan untuk difungsikan kembali," katanya.

Jika di beberapa daerah warganya memanfaatkan bantuan sosial dan Dana Desa (DD) dari pemerintah untuk menopang kemajuan usaha di sektor pertanian, maka tidak demikian di sebagian warga Jayawijaya.

Sebab setelah menerima berbagai bantuan yang rutin disalurkan pemerintah, masyarakat tidak lagi produktif berkebun dan lebih mengharapkan bantuan. Sudut pandang itu yang sementara diubah oleh sebagian kecil pejabat pemerintah yang peduli terhadap masyarakat di daerah ini.


Lumbung Padi di Pegunungan Papua

Jika di Provinsi Papua baru Kabupaten Merauke sudah menjadi lumbung padi, maka Kabupaten Jayawijaya -- kini menjadi Ibu Kota Provinsi Baru, Papua Pegunungan -- dan merupakan induk dari delapan kabupaten pemekaran, memiliki peluang menjadi lumbung padi.

Sepanjang masyarakat memiliki komitmen serta mendapat dukungan serius dari pemerintah mewujudkan lumbung pangan, pengiriman beras dari luar Papua seperti dari Thailand, Jawa, bahkan dari dalam Papua yaitu Kabupaten Merauke, itu bisa dihentikan.

Pengiriman bahan pokok itu ke Jayawijaya selama ini menggunakan jalur penerbangan dari Kabupaten Jayapura, Merauke, dan Kabupaten Biak Numfor sehingga harga beras sangat mahal. Misalnya, beras premium kemasan 5 kilogram dijual di pusat ibu kota kabupaten dengan harga Rp135.000 atau Rp27.000/kg. Harga ini akan berbeda lagi jika di luar pusat ibu kota atau di kabupaten pemekaran.

Beberapa kabupaten pemekaran dari Jayawijaya tidak memiliki kawasan pengembangan sawah sehingga akan sangat menguntungkan jika masyarakat di Lembah Baliem ini menghasilkan beras untuk dijual ke daerah tetangga. Pengiriman atau penyalurannya pun lebih mudah dan murah karena bisa menggunakan jalan Trans Papua yang merupakan program Presiden Jokowi.

Padi di atas lahan 1.500 sampai 2.000 petak sawah setidaknya bisa ditanam di Jayawijaya, agar daerah ini tidak lagi mendatangkan beras dari luar yang harga belinya tinggi karena semuanya diangkut pakai pesawat.

Sekretaris Dinas Pertanian Jayawijaya Viktor Malisa mengakan menyatakan untuk menghidupkan kembali lahan persawahan yang mati, pihaknya mendorong petani bekerja secara swadaya dan berkesinambungan tanpa bergantung bantuan pemerintah. Sebab, jika bergantung kepada pemerintah maka ketika bantuan pemerintah terhenti, produksi petani juga terhenti.

Pemerintah tetap memberikan dukungan peralatan seperti mesin traktor tangan, tetapi hanya bagi petani yang secara swadaya sudah membuka lahan seluas 5 hektare ke atas.

Pemda mendorong pengelolaan lahan secara swadaya. Adapun kekurangan-kekurangan berupa alat dan pengetahuan, menjadi tugas dinas pertanian untuk mendampingi mereka hingga menuju kemandirian ekonomi.

Peralatan yang diberikan tidak disalurkan begitu saja tanpa mengajarkan cara penggunaan sebab merupakan hal baru bagi petani tradisional yang terbiasa hanya menggunakan sekop, linggis untuk menanam ubi jalar dan talas.

Satu dari sejumlah kelompok persawahan yang mendapatkan bantuan traktor tangan serta mesin remu adalah kelompok tani di Distrik Pyramid. Pemerintah tidak henti-hentinya memotivasi 27 kelompok tani yang ada untuk bangkit dari mati suri.

Langkah lain yang dilakukan untuk menghidupkan kembali kelompok tani sawah mati suri, yakni dengan melibatkan kepala suku sebagai ketua kelompok. Kepala suku memiliki kewajiban menyejahterakan warganya, termasuk memberikan lapangan pekerjaan bagi mereka yang menganggur.

Beberapa kelompok tani yang berkomitmen, mulai rutin membuka lahan persawahan, walau hanya mampu sekali panen dalam setahun. Pemerintah bermaksud nantinya petani bisa melakukan dua hingga tiga kali panen dalam setahun.

Dalam setahun, 547 keluarga yang mengembangkan 130 hektare sawah di Jayawijaya, menghasilkan 327 ton beras untuk satu kali musim tanam. Kelompok-kelompok tani sawah ini tersebar di beberapa distrik seperti Siepkosi, Libarek, Musatfak, Pyramid, dan Distrik Maima.

Satu kendala yang dihadapi petani dan menjadi perhatian dinas pertanian adalah manajemen pembibitan yang buruk. Akibatnya, petani tidak bisa rutin membuka lahan dua kali dalam satu tahun atau rutin setiap tahun sebab hasil panen semuanya digiling menjadi beras. Oleh karena itu ketika membuka lahan baru, petani kebingungan mendapatkan bibit.

Bantuan peralatan dari pemerintah tidak diberikan kepada kelompok yang baru mau membuka lahan sebab berpotensi usaha itu tidak berjalan.

Persyaratan yang diberikan agar petani mendapatkan bantuan peralatan traktor tangan adalah memiliki sawah seluas 5 hektare dan sudah dua kali melakukan panen dalam setahun.

Untuk memudahkan warga mencapai 5 hektare sebagai syarat menerima bantuan, warga diajak membentuk kelompok tani atau tidak bekerja sendiri-sendiri. Kelompok tani itu terdiri atas gabungan pemuda, pihak gereja, pemerintah kampung, dan tokoh adat.

Pemerintah tidak menyarankan kelompok tani yang terdiri atas satu keluarga atau suami menjabat ketua, istri sebagai sekretaris, serta anak menjadi bendahara dan anak-anak lainnya menjadi anggota, sebab akan terbentur manajemen keluarga yang sulit dikontrol.

Kadang kala mereka menerjemahkan kelompok seperti itu. Padahal itu adalah keluarga tani, bukan kelompok tani sehingga susah untuk melihat indikator keberhasilannya karena kalau keluarga cenderung tertutup.

Ketua Kelompok Tani Sawah Kampung Jonggime di Distrik Pyramid, Joringkis Wenda, mengapresiasi perhatian pemerintah kepada mereka sebab awalnya mereka tidak memiliki mesin pembajak dan penggiling gabah namun kini sudah memilikinya dari pemerintah.

Berkat dukungan pemerintah berupa mesin penggiling, mesin remu, dan traktor tangan, kelompok itu membuka lahan baru selain 6 hektare yang digarap secara manual. Hasil pertanian kelompok ini tidak sempat dijual ke kota karena peminat cukup tinggi. Sebelum panen, konsumen sudah memesan beras organik berkualitas premium tersebut.

Jadi, beras produksi kelompok tani tersebut terbeli habis di tempat. 

Keberhasilan tersebut memberi harapan Jayawijaya bakal mampu memutus ketergantungan impor beras dari luar negeri maupun dari luar daerah. ***1***



 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2022