Perbedaan data angka stunting berpotensi menghilangkan hak anak dalam mendapatkan bantuan penanganan stunting
Jakarta (ANTARA) - Lembaga Koalisi Perlindungan Kesehatan Masyarakat (Kopmas) mengingatkan adanya perbedaan pendataan angka stunting antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah tidak sampai mengorbankan hak anak.

"Perbedaan data angka stunting berpotensi menghilangkan hak anak dalam mendapatkan bantuan penanganan stunting," ujar Sekretaris Kopmas, Yuli Supriaty di Jakarta, Jumat.

Dia menambahkan perbedaan data juga memunculkan indikasi adanya kasus-kasus stunting yang tidak terjamah oleh pemerintah.

Di Kabupaten Pandeglang, Banten, data dari Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) dan Elektronik-Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis masyarakat (e-PPGBM) memiliki perbedaan.

Pada 2019, SSGI menyampaikan prevelensi stunting sebesar 34 persen, sedangkan di e-PPGBM sebesar 22,2 persen.

Baca juga: KOPMAS: Cermati pengukuran tubuh anak dibanding kejar angka stunting

Baca juga: KOPMAS: Pengentasan stunting butuhkan kolaborasi banyak pihak


Angka yang lebih timpang terlihat pada data 2021. Survei pemerintah pusat menunjukkan peningkatan prevalensi dari tahun 2019, sementara pendataan di posyandu menunjukkan penurunan yang signifikan. Perbedaan kedua versi pun terpaut jauh.

Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Pandeglang, Encep Hermawan  menjelaskan perbedaan data terjadi karena cara pengambilan survei yang dilakukan.

"Kalau SSGI kan survei, kalau e-PPGBM adalah real-nya yang dilakukan hasil pengukuran dari posyandu. Memang kita punya data yang lebih mendekati hasil dari survei tersebut, " kata Encep.

Adanya perbedaan data tersebut berdampak pada masyarakat yang tak memiliki akses terkait penyuluhan kesehatan.

Hal itu dialami oleh balita kembar di Desa Cibarani, Kecamatan Cisata, Kabupaten Pandeglang, Banten. Khaerul dan Khairil, begitulah nama kedua balita tersebut. Mereka tinggal di wilayah yang jarak ke puskesmas terdekat harus ditempuh selama satu jam.

Seorang ibu dari balita di Pandeglang, Wiwin, mengatakan ia jarang membawa kedua anaknya ke puskesmas akibat jarak yang jauh. Akibatnya, tumbuh kembang dan asupan gizi Khaerul dan Khairil tak pernah terpantau. Kedua balita tersebut bahkan belum vaksin lengkap.

"Karena tidak cukup konsumsi sehari-harinya, anak saya diberi masing-masing 4 botol dot setiap harinya Kental Manis untuk susu mereka,"jelas Wiwin.

Wiwin pun mengaku jika tidak paham terkait kebutuhan gizi yang diperlukan oleh dua balita berusia satu setengah tahun tersebut.

Selain itu, dari penuturan Wiwin, ia menjelaskan bahwa tidak ada kader puskesmas maupun Posyandu yang mendatanginya untuk penyuluhan stunting. Khaerul dan Khairil menjadi salah satu contoh deteksi stunting yang masih belum maksimal hingga ke lapisan bawah.

Sekretaris Utama Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Tavip Agus Rayanto, mengatakan pihaknya berinisiatif mengoreksi melalui data Pendataan Keluarga.

BKKBN sendiri sudah melakukan pendataan keluarga tahun 2021 yang diakui oleh kementerian deviasinya rendah, artinya tingkat kecocokannya tinggi.

Baca juga: Kopmas minta pemerintah edukasi masyarakat tentang kental manis

Baca juga: KOPMAS: Solusi persoalan stunting adalah penguatan keluarga

Pewarta: Indriani
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2022