Jakarta (ANTARA) - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengungkapkan perikanan budidaya melalui keramba apung dan kerang menjadi alternatif pangan bagi masyarakat pesisir yang bermukim di pulau-pulau kecil saat menghadapi bencana hidrometeorologi.

Manajer Kampanye Pesisir, Laut, dan Pulau-Pulau Kecil Walhi Nasional Parid Ridwanuddin mengatakan alternatif pangan itu merupakan sumber pangan masyarakat pesisir jika tidak bisa melaut akibat gelombang tinggi dan angin kencang.

"Itu sebetulnya bentuk mitigasi dalam konteks lokal karena mereka belajar dari pengalaman panjang," ujarnya saat dihubungi di Jakarta, Jumat.

Parid menuturkan para nelayan saat ini biasanya membaca informasi cuaca terlebih dahulu sebelum mereka memutuskan pergi melaut. Mereka berangkat jika prakiraan cuacanya bagus, tetapi jika prakiraan cuacanya buruk mereka hanya menangkap ikan di wilayah-wilayah yang dekat.

Baca juga: BMKG imbau masyarakat pesisir waspada gelombang tinggi enam meter

Baca juga: Waspada gelombang tinggi hingga enam meter pada 26-27 September


Belakangan ini nelayan-nelayan mulai berinisiatif mengelola wilayah-wilayah perikanan budidaya, seperti keramba jaringan apung. Apabila mereka tidak bisa pergi melaut, mereka bisa mengambil ikan di keramba jaring apung untuk dikonsumsi sebagai sumber pangan.

Di beberapa tempat, mereka mulai memanfaatkan wilayah-wilayah perkarangan atau tanah yang mereka miliki di pesisir atau pulau kecil itu ditanami sumber-sumber pangan. Kalau mereka tidak bisa berangkat karena cuaca buruk, mereka sudah punya sumber pangan di depan rumah atau tanah-tanah yang mereka miliki," kata Parid.

Lebih lanjut ia menyampaikan masyarakat pesisir yang hidup di Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu, justru memanfaatkan kerang atau remis untuk diolah menjadi makanan.

Keberadaan kerang di wilayah itu membuat masyarakat setempat selalu berusaha menjaga kelestarian ekosistem pesisir dari ancaman tambang dan kerusakan.

"Incase, kalau nelayan tidak bisa pergi melaut jauh atau tidak pergi sama sekali, sumber pakan cukup dari kerang-kerang yang mereka ambil dari pantai atau pesisir. Jadi, sebetulnya masyarakat sudah punya cara-cara atau mitigasi untuk menghadapi bencana hidrometeorologi," ujar Parid.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprakirakan puncak musim hujan di sebagian wilayah Indonesia terjadi pada Desember 2022 sampai Januari 2023.

Dari total 699 zona musim atau ZOM di Indonesia, BMKG mengatakan sebanyak 175 ZOM (25,03 persen) akan memasuki musim hujan pada Oktober 2022 meliputi wilayah sebagian Sumatra, Jawa, Kalimantan, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, dan Papua.

Kemudian sebanyak 128 ZOM (18,31 persen), akan memasuki musim hujan pada November 2022 yang meliputi meliputi Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, dan Papua.

Saat ini, terdapat 60 ZOM (8,6 persen) yang sudah mengalami musim hujan meliputi Riau bagian selatan, sebagian Sumatera Selatan, Bengkulu bagian selatan, Jawa Barat bagian selatan.

Ada pula Kalimantan Barat bagian selatan, Kalimantan Tengah bagian timur, Kalimantan Selatan bagian selatan, Sulawesi Tenggara bagian utara, Maluku Utara bagian utara, sebagian Maluku dan sebagian Papua Barat.*

Baca juga: Masyarakat pesisir diimbau waspada gelombang tinggi hingga enam meter

Baca juga: BMKG minta masyarakat pesisir waspadai gelombang tinggi

Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2022