Uthai Sawan, Thailand (ANTARA) - Ratusan orang berkumpul di wihara-wihara di bagian timur laut Thailand pada Sabtu untuk mengenang dan mendoakan nyawa lebih dari 30 anak-anak yang terbunuh dalam penembakan massal di sebuah pusat penitipan anak.

Sebagian besar anak-anak yang berusia 2 hingga 5 tahun, ditebas hingga tewas dalam insiden pada Kamis (6/10), sementara orang dewasa ditembak, kata polisi.

Di Wihara Si Uthai di Desa Uthai Sawan, kerabat dan keluarga korban bergabung dengan masyarakat untuk mengenang mereka yang dibunuh oleh seorang mantan polisi Bangkok, yang telah diskors dari tugasnya setelah mengaku menggunakan metamfetamin.

Mereka menyalakan lilin di depan peti mati dengan karangan bunga dan bingkai foto para korban, termasuk balita Pattarawat Jamnongnid. Di peti matinya ada mainan dinosaurus dan sebotol susu.

Ibunya, pekerja pabrik berusia 40 tahun, Daoreung Jamnongnid, mengatakan anak tunggalnya bersemangat dan banyak bicara.

Pada usia dua tahun 10 bulan, Pattarawat adalah korban termuda dalam insiden mematikan tersebut.

"Dia sangat pintar. Dia suka menonton film dokumenter bersama ayahnya," kata Daoreung, yang mengatakan bahwa anaknya sudah menguasai alfabet.

Korban terakhir mantan polisi itu adalah istri dan anaknya yang dia tembak di rumah, sebelum akhirnya dia menembak dirinya sendiri.

Polisi mengidentifikasi pelaku sebagai Panya Khamrap (34), mantan sersan polisi yang sedang menghadapi persidangan atas tuduhan narkoba.

Tidak jelas apakah Panya masih menggunakan narkoba, meskipun polisi mengatakan hasil autopsi tidak menemukan bukti penggunaan narkoba pada saat kematiannya.



Polisi sedang mewawancarai 180 orang, kata wakil kepala polisi Surachet Hakpan.

Ketika ditanya tentang motif si pembunuh, dia mengatakan kepada wartawan bahwa itu "karena stres yang terus-menerus ... keluarganya, uangnya, dan kasus hukumnya. Jadi dia bertindak agresif".

Kittisak Polprakan (29) yang menyaksikan pembunuhan itu, menggambarkan Panya sebagai orang yang tenang ketika dia keluar dari pusat penitipan anak, setelah menyerang 22 anak-anak dengan pisau melengkung yang besar.

"Situasinya sangat sepi. Tidak ada suara, tidak ada teriakan, tidak ada apa-apa. Hanya dia yang keluar."

Pada Sabtu, polisi terlihat menanyai warga di dekat rumah penyerang yang berjarak sekitar 3 kilometer dari pusat penitipan anak.

Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha prihatin dengan trauma yang dialami masyarakat setelah tragedi itu.

"Perdana menteri meminta semua orang untuk saling mendukung dan melewati masa berkabung ini bersama-sama," kata juru bicara Prayuth, Anucha Burapachaisri, pada Sabtu.

Tiga anak laki-laki dan dua perempuan selamat dari serangan itu, dan semuanya, kecuali satu orang, berada di rumah sakit, kata polisi.

Raja Maha Vajiralongkorn mengunjungi rumah sakit tempat para korban luka dibawa pada Jumat malam. Dia mengaku sangat sedih dan menyatakan dukacita atas apa yang disebutnya sebagai "insiden jahat".

"Tidak ada kata lain untuk menggambarkan perasaan ini," kata dia.

“Saya ingin memberikan dukungan moril kepada kalian semua untuk menjadi kuat, agar jiwa anak-anak tersebut dapat merasakan kelegaan bahwa keluarganya akan tetap kuat dan dapat melangkah maju.”

Di depan pusat penitipan anak, orang-orang meninggalkan bunga mainan dan truk mainan, sebagai persembahan kepada arwah mereka yang terbunuh.

Selamat Tinggal Terakhir

Di wihara Wat Rat Samakee, persiapan sedang dilakukan untuk pemakaman dan ratusan orang berpakaian hitam.

Emosi terasa sangat kuat pada hari itu karena kerabat korban menangis ketika biksu melantunkan doa.

Penduduk desa duduk di karpet dengan tangan tergenggam di depan jajaran peti mati yang dihiasi bunga dan potret anak-anak yang tersenyum, yang tewas akibat amukan mantan polisi itu.

Seorang wanita yang kehilangan dua keponakannya yang berusia 3 tahun, terlihat menangis sambil berlutut. Telapak tangannya menempel di salah satu peti mati mereka.

Televisi Channel 8 pada Sabtu menyiarkan langsung kremasi si pembunuh di sebuah wihara di provinsi tetangga Udon Thani, yang hanya dihadiri oleh beberapa orang.

Seorang perempuan yang diidentifikasi sebagai ibu pelaku menangis dan mengucapkan kata-kata terakhir di depan peti mati putih.

"Di kehidupan selanjutnya, semoga kamu terlahir kembali sebagai orang baik, bukan orang jahat," kata perempuan itu.

Perempuan yang menyebut dirinya sebagai "Nenek Duang" itu meminta media untuk menyampaikan kesedihannya kepada mereka yang terbunuh.

"Saya sedang memikirkan mereka. Hatiku hampir hancur," kata dia.

Sumber: Reuters

Baca juga: Sekjen PBB prihatin atas insiden penembakan massal di Thailand
Baca juga: Donor darah dibutuhkan pascapenembakan massal di Thailand
Baca juga: Tidak ada WNI menjadi korban penembakan massal di Thailand

 

Penerjemah: Yashinta Difa Pramudyani
Editor: Anton Santoso
Copyright © ANTARA 2022