Jember, Jawa Timur (ANTARA) - Indonesia dikenal sebagai salah satu negara produsen dan eksportir kopi paling besar di dunia, karena beragam jenis kopi spesial yang ditawarkan dan memiliki cita rasa yang unik.

Tidak heran banyak petani yang beralih menanam kopi karena komoditas tersebut cukup menjanjikan dan menjadi salah satu komoditas andalan dalam sektor perkebunan di Indonesia.

Ketertarikan menanam kopi juga dilakukan oleh para petani Desa Sukorejo, Kecamatan Sumberwringin, Kabupaten Bondowoso, yang menanam kopi di wilayah lereng Pegunungan Ijen dan kawasan tersebut dikenal sebagai salah satu sentra penghasil kopi berkualitas unggul di Jawa Timur.

Saat ini banyak petani yang tidak hanya menjual biji kopi saja, namun mereka mengolah biji kopi tersebut menjadi bubuk kopi yang siap saji, sehingga lebih banyak digemari konsumen.

Namun, proses pengolahan kopi dari biji menjadi kopi bubuk siap saji menyisakan limbah, yakni sisa kulit kopi, dan jumlahnya pun tidak bisa dibilang sedikit karena mencapai 39 persen dari total produksi.

Selama ini limbah kulit kopi hanya dimanfaatkan sebagai pupuk oleh petani, namun dengan berkembangnya produksi kopi, maka jumlah limbah kulit kopi yang semakin meningkat berpotensi menjadi masalah.

Kulit kopi itu bersifat asam sehingga dalam jumlah banyak tentu tidak bagus bagi kondisi tanah dan air, bahkan ketika limbah kulit kopi dibuang ke sungai, maka dampaknya akan mencemari lingkungan, hingga merusak biota sungai.

Melihat fenomena itu, dosen dan peneliti dari Program Studi Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember (Unej) Dr Soni Sisbudi Harsono, M.Eng. M.Phil mencoba untuk mencari solusi dari limbah kulit kopi yang biasanya ditumpuk begitu saja di kebun atau di tepi aliran sungai.

Berdasarkan riset yang dilakukannya, limbah kulit kopi bisa diolah menjadi sumber bahan bakar alternatif terbarukan, berupa biopellet (jenis bahan bakar padat berbasis limbah biomassa berbentuk pelet yang memiliki ukuran lebih kecil dari briket).

Selama ini, ketergantungan terhadap bahan bakar minyak mengantarkan Indonesia pada krisis energi, sehingga salah satu cara untuk mengurangi ketergantungan atas energi fosil adalah dengan cara mengembangkan sumber energi alternatif terbarukan.

Biomassa menjadi salah satu sumber energi yang menjanjikan untuk mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil yang butuh ribuan tahun untuk mendapatkannya.

Harapannya biopellet dari limbah kulit kopi menjadi solusi untuk mengatasi dampak buruk limbah kulit kopi bagi lingkungan, sekaligus mendorong kemandirian warga desa sentra kopi yang berada di beberapa daerah dalam memenuhi kebutuhan bahan bakar mengingat harga bahan bakar minyak (BBM) yang sudah naik.

Biasanya petani mengolah limbah kulit kopi menjadi pupuk, namun untuk mengolah kulit kopi menjadi pupuk perlu waktu karena perlu tahapan dekomposisi, sehingga paling tidak tiga sampai empat bulan baru limbah kulit kopi baru bisa diolah menjadi pupuk.

Bayangkan jika limbah kulit kopi dalam jumlah banyak berada di satu lokasi dalam jangka lama, maka akan mengganggu ekosistem di wilayah tersebut dan belum lagi dengan polusi bau busuk sangat mengganggu warga, bahkan bisa mengganggu kesehatan.

Maka perlu ada solusi yang tepat untuk mengolah limbah kulit kopi tersebut, seperti pemanfaatan limbah kulit kopi menjadi biopellet sebagai bakar alternatif terbarukan. Alternatif ini dipilih karena proses pembuatannya mudah dan murah.

Secara garis besar cara membuat biopellet limbah kulit kopi sangat mudah, yakni kulit kopi dijemur hingga kadar airnya berkurang hanya menjadi 12 persen, kulit kopi yang sudah kering kemudian ditumbuk dan dihaluskan hingga mirip seperti tepung.

Lalu siapkan tepung tapioka yang sudah dilarutkan dengan air secukupnya untuk dibuat sebagai lem kanji, kemudian aduk bahan-bahan tersebut hingga tercampur rata dan siap untuk dicetak menjadi biopellet.

Untuk mendapatkan takaran yang tepat, komposisi yang ideal adalah tepung kulit kopi 90 persen ditambah 10 persen lem kanji. Jika bahan sudah siap, maka masukkan ke alat pencetak biopellet hingga menghasilkan bahan bakar briket berbentuk silinder kecil.

Biopellet itu masih perlu dijemur di ruang terbuka dengan memanfaatkan panas matahari selama kurang lebih dua hari hingga benar-benar kering. Jika sudah benar-benar kering, maka biopellet siap digunakan sebagai bahan bakar dan keuntungan lainnya, biopellet mudah disimpan dan tahan lama selama penyimpanannya sesuai aturan.

Untuk menghasilkan 1 kilogram biopellet hanya memerlukan biaya produksi Rp2.500, sehingga sangat murah dan setiap 1 kilogram biopellet bisa untuk memasak nasi satu kilogram, atau memasak air dan masak lauk pauk selama delapan jam.

Dari hasil hitung-hitungan yang dilakukan doktor teknik pertanian lulusan Humboldt University Berlin Jerman itu, dengan memakai biopellet akan ada penghematan 25 persen daripada menggunakan kompor dengan sumber BBM berupa elpiji.

Tidak hanya itu, keuntungan lainnya, yakni cara memakai biopellet sebagai bahan bakar juga cukup mudah, seperti menggunakan arang sebagai bahan bakarnya, sehingga masyarakat awam bisa memakainya dengan aman.


Kemandirian energi

Sony bersama tim akademisi lainnya menyosialisasikan program bahan bakar alternatif dari limbah kulit kopi tersebut di Desa Sukorejo, Kecamatan Sumberwringin, Kabupaten Bondowoso, yang sebagian besar warga desa setempat adalah petani kopi.

Potensi biopellet sebagai bahan bakar alternatif itu terbuka lebar mengingat bahannya berlimpah di desa, apalagi banyak desa-desa penghasil kopi terbaik di Indonesia dan diharapkan program pengolahan limbah kulit kopi itu membantu mewujudkan desa mandiri energi sehingga membantu kesejahteraan masyarakat desa.

Pembuatan biopellet tidak hanya dengan bahan limbah kulit kopi, tapi bisa memakai limbah organik lainnya, seperti daun dan batang tanaman lainnya yang banyak ada di perdesaan.

Inovasi biopellet karya Sony dan timnya juga mendapatkan pendanaan dari Direktorat Riset, Teknologi dan Pengabdian pada Masyarakat Dikti Kemdikbudristek, sehingga diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat untuk mencoba energi alternatif yang ramah lingkungan.

Solusi mengatasi limbah kulit kopi yang ditawarkan oleh dosen dan peneliti FTP Universitas Jember disambut baik oleh warga Desa Sukorejo di Kabupaten Bondowoso, yang mendukung program untuk mewujudkan kemandirian energi di desanya.

Kepala Desa Sukorejo Sumarni menyampaikan bahwa dalam setiap panen raya kopi di desanya bisa menghasilkan limbah kulit kopi hingga 2 ribu ton dan biasanya limbah tersebut hanya diolah menjadi pupuk, sehingga keberadaannya mengganggu.

Dengan pelatihan pembuatan biopellet dan kompor biomassa yang dilakukan oleh tim peneliti FTP Unej diharapkan dapat mengurangi limbah sekaligus mengurangi ketergantungan warga terhadap minyak tanah atau elpiji untuk memasak kebutuhan sehari-hari.

Diharapkan di Desa Sukorejo akan terwujud kemandirian energi yang didapat dari limbah kulit kopi yang tersedia cukup melimpah dan dapat menjadi usaha bagi warga untuk meningkatkan kesejahteraannya.

 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2022