Jakarta (ANTARA) - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) memandang hukuman mati berpotensi menyasar kepada orang-orang rentan dan tidak bersalah.

"Pemantauan Komnas Perempuan menyimpulkan hukuman mati berpotensi menyasar kepada orang-orang rentan dan tidak bersalah," kata Anggota Komnas Perempuan Tiasri Wiandani dalam Peringatan Hari Anti Hukuman Mati se-Dunia, di Jakarta, Senin.

Pidana hukuman mati paling sering diterapkan untuk kasus-kasus narkotika. Terpidana mati, menurut dia, banyak yang merupakan korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO).

Tiasri Wiandani mencontohkan buruh migran korban dari sindikat narkotika sekaligus korban tindak pidana perdagangan orang, yakni Marry Jane Veloso dan Merri Utami.

Menurut Tiasri, hukuman mati bertentangan dengan upaya pembaruan hukum pidana sebagai wujud implementasi bahwa hukum bukan untuk pembalasan.

Dikatakannya, hukuman mati merupakan bentuk diskriminasi dan kekerasan berbasis gender berlapis terhadap perempuan yang berkaitan dengan sejumlah isu lain, seperti feminisasi kemiskinan, feminisasi migrasi, stigma sosial, perdagangan orang, kejahatan narkotika, sistem hukum yang tidak berpihak pada perempuan korban, pelanggaran hak atas peradilan yang adil, dan hak untuk bebas dari penyiksaan.

Pihaknya pun meminta pemerintah untuk menghapus hukuman pidana mati bagi terpidana dalam deret tunggu, menghapus pidana mati dalam pembahasan RKUHP, RUU Narkotika, dan produk hukum nasional lainnya.

Komnas Perempuan juga meminta pemerintah dan DPR RI untuk melakukan moratorium pelaksanaan hukuman mati di Indonesia.

"Dan meninjau ulang kasus-kasus terpidana mati terkait dengan pemenuhan hak atas peradilan yang bijak dan adil," kata Tiasri.

Baca juga: Komnas Perempuan: Lelaki-perempuan setara jangan ada pemaksaan busana

Pewarta: Anita Permata Dewi
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2022