Kementerian Kesehatan dapat bersinergi dan berkolaborasi secara intensif dan Kementerian Sosial
Jakarta (ANTARA) - Tim peneliti Stop TB Partnership Indonesia (STPI) menekankan pentingnya pemberian perlindungan sosial bagi orang dengan Tuberkulosis Resisten Obat (TBC-RO) dan rumah tangga yang terdampak melalui program-program pemerintah yang sistematis.

"Kementerian Kesehatan dapat bersinergi dan berkolaborasi secara intensif dan Kementerian Sosial, khususnya dalam pemberian perlindungan sosial bagi orang yang terdampak TBC-RO, yang meliputi integrasi basis data, teknis persiapan, pelaksanaan dan monitoring evaluasi," kata anggota tim peneliti STPI Uga Gunawan dalam media briefing yang digelar virtual diikuti di Jakarta pada Selasa.

Ia menjelaskan bahwa saat ini, pemerintah sudah memiliki Program Indonesia Sehat melalui Kartu Indonesia Sehat atau BPJS Kesehatan yang membantu pasien-pasien TBC-RO pada aspek pemenuhan layanan kesehatan.

Namun menurut dia, penanganan TBC-RO merupakan hal yang sangat kompleks. Tidak sekadar soal pemenuhan layanan kesehatan, tapi juga perlu ditunjang dengan berbagai pemenuhan kebutuhan sehari-hari.

Sebab, STPI menemukan bahwa 77 persen orang dengan TBC-RO berada dalam kategori miskin, yakni berpenghasilan di bawah Rp2 juta (54 persen) dan Rp2-3 juta (23 persen).

Baca juga: STPI sebut TBC-RO persoalan multidimensi

Baca juga: Sudin Kesehatan Jakbar sosialisasikan hunian sehat agar terhindar TBC


Pengeluaran rumah tangga orang dengan TBC-RO pun bertambah setidaknya 20 persen setiap bulan karena harus melakukan pengobatan.

Sayangnya, kebanyakan dari mereka justru kehilangan pekerjaan karena mengalami kondisi katastropik yang mengharuskan mereka menjalani perawatan serta pemulihan berkepanjangan, yakni 9-24 bulan.

Sehingga, menurut Uga, STPI mengusulkan bahwa perlindungan sosial juga dapat dilakukan melalui skema conditional cash transfer (CCT) dengan memanfaatkan program-program pemerintah yang ada seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Program Sembako, Program Kewirausahaan Sosial (ProKus), dan Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni (RS-RTLH).

Selain itu, lanjut dia, perlindungan sosial juga dapat dilakukan dengan skema CCT baru yang khusus dibuat untuk orang terdampak TBC-RO.

Ia menjelaskan bahwa untuk memberikan dukungan kebutuhan orang dengan TBC-RO dapat dilakukan dalam bentuk biaya langsung non-pengobatan yakni untuk transportasi dan konsumsi selama pengobatan, biaya langsung untuk pengobatan dan biaya tidak langsung untuk menggantikan hilangnya penghasilan.

Baca juga: Jakarta Barat perkuat pelacakan wilayah cegah penyebaran TBC

"Berdasarkan penelitian dan best practice yang kami temukan, program CCT yang diberikan kepada pasien TBC ternyata dapat mendorong pasien memiliki peluang sembuh yang lebih besar dibandingkan dengan pasien TBC yang tidak menerima bantuan apapun," imbuh Uga.

Oleh karena itu, ia mengatakan di sinilah pentingnya penguatan sinergi dan kolaborasi termasuk dari kementerian-kementerian terkait.

"Kementerian Kesehatan memiliki data pasien TBC se-Indonesia dan di Kementerian Sosial memiliki DTKS atau Data Terpadu Kesejahteraan Sosial. Kami melihat ini dapat menjadi sebuah langkah dan kita dapat mengintegrasikan (data) untuk pemberian bantuan kepada pasien TBC-RO," ujarnya.

Ia melanjutkan, STPI pun mengusulkan bahwa isi Peraturan Menteri Sosial (Permensos) setidaknya memuat pemberian perlindungan sosial bagi orang terdampak TBC-RO yang dilaksanakan setiap bulan dalam bentuk program berbasis CCT.

Kemudian, penguatan pendamping program perlindungan sosial dalam hal TBC-RO dan tata cara verifikasi kondisionalitas peserta penerima jaminan sosial. Selain itu, pembinaan, pengawasan, dan evaluasi program perlindungan bagi orang terdampak TBC-RO dilakukan berjenjang mulai dari Dinas Sosial dan Dinas Kesehatan di tingkat daerah hingga Kementerian Sosial dan Kementerian Kesehatan di tingkat nasional.

Baca juga: Dokter: Skrining penyakit tuberkulosis perlu terus digencarkan

Baca juga: Dokter: Penderita TBC harus disiplin minum obat secara teratur

Pewarta: Suci Nurhaliza
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2022