Ogbogu (ANTARA) - Usai menyaksikan keempat anaknya yang masih kecil melahap sedikit kacang langsung dari pancinya, Gideon George berniat tidur meski perutnya kosong.

Petani Nigeria itu sedang mengungsi di sebuah gedung sekolah, di mana keluarganya tinggal sementara karena rumah mereka terendam banjir.

George mengatakan anak-anaknya begitu lapar sehingga dia tak tega untuk ikut menyantap makanan itu.

Lagi pula, tak ada lagi makanan tersisa malam itu di sekolah yang berada di Rivers, satu dari 32 negara bagian di Nigeria yang terdampak oleh banjir yang merusak.

"Mereka makan seperti orang kelaparan, jadi seorang ayah seperti saya tidak tega ikut makan bersama mereka," katanya.

Banjir itu, menurut pemerintah disebabkan oleh hujan lebat dan luapan air dari bendungan di negara tetangga Kamerun, telah menewaskan lebih dari 600 orang.

Bencana itu juga membuat 1,4 juta orang mengungsi, dan merusak atau menghancurkan 440.000 hektare lahan pertanian di seluruh Nigeria.

Para ahli mengatakan perubahan iklim menjadi salah satu penyebab.

Infrastruktur yang rusak dan perencanaan yang buruk, termasuk kegagalan Nigeria menyelesaikan pembangunan bendungan untuk menahan luapan air dari Kamerun, turut memperparah bencana itu.

Bagi George, mimpi buruknya dimulai pada 8 Oktober pukul 02.00 dini hari, ketika sang istri membangunkannya karena air masuk ke dalam rumah dengan cepat.

Tak ada yang bisa dilakukannya saat itu kecuali menggendong dua anaknya. Istrinya membawa dua anaknya yang lain dan mereka pun lari menyelamatkan diri.

"Banjir yang kami lihat, sejak lahir saya belum pernah melihat banjir seperti itu," katanya.

Dia menambahkan bahwa banjir menghanyutkan ular dan hewan lain, juga botol dan batang kayu yang melukai kakinya ketika berlari.

Gedung sekolah di Desa Ogbogu itu kini menampung sekitar 600 pengungsi.

Makanan mereka bergantung kepada donasi masyarakat sekitar, perusahaan-perusahaan minyak yang beroperasi di sana, dan pemerintah setempat.

Namun, stok makanan tidak selalu cukup buat semua orang.

Mereka begitu sulit, sampai-sampai memasak hanya dengan sekam setelah menggiling ubi kayu untuk dijadikan garri, sejenis makanan pokok.

"Ini bukan garri sungguhan," kata seorang petani bernama Iheukwumere Udah.

Di desa sebelah, Obagi, petani Anthony Nnadi sedang berada di rumahnya, menerobos air setinggi paha saat berusaha menyelamatkan barang-barang.

Dia mengaku tak tahu apa yang akan dilakukannya lagi tetapi tak bisa meninggalkan rumahnya.

"Air ini membuat saya bingung. Saya selalu lupa apa yang harus saya lakukan karena jantung saya bermasalah," katanya, ketika sandal dan botol minuman mengambang di kamarnya.

Nnadi mengatakan keluarganya telah terpencar lantaran banjir itu.

Beberapa dari delapan anaknya terjebak di sejumlah kawasan di negara bagian itu. Mereka tidak bisa pulang karena sejumlah jalan menjadi sungai.

Dia dan anggota keluarganya yang lain terpaksa tidur di luar karena tak ada lagi ruang di tempat-tempat penampungan, kata dia.

Di Ogbogu, George mengatakan dia bersyukur dirinya, istrinya, dan anak-anaknya masih hidup.

Namun, dia merasa gundah dengan masa depan mereka karena banjir tidak hanya merendam rumahnya tetapi juga ladang yang menjadi mata pencahariannya.

"Bahkan jika banjir ini sudah berlalu, saya tahu tak ada lagi uang yang bisa dipakai untuk membeli makanan. Jadi, saya paham akan ada perang di depan saya," demikian George.

Sumber: Reuters

Baca juga: Rumah-rumah dan mobil mantan Menteri Perminyakan Nigeria disita

Baca juga: Korban tewas kapal terbalik di Nigeria naik jadi 76 orang

Penerjemah: Anton Santoso
Editor: Bayu Prasetyo
Copyright © ANTARA 2022