Jakarta (ANTARA) - Bahasan terkait koperasi di Indonesia, khususnya Koperasi Simpan Pinjam (KSP) serta Koperasi Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah (KSPPS), tak pernah lepas dari pengawasannya.

Pengawasan koperasi tidak boleh menghilangkan prinsip, nilai dan jati diri koperasi yang menjadi ruh dasar berkoperasi.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah akan segera membahas Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK) alias Omnibus Law Keuangan.

RUU inisiatif DPR ini menjadi bahan kajian menarik bagi praktisi koperasi bahwa RUU ini dinilai bisa merusak prinsip, nilai, dan jati diri koperasi dengan bergesernya perizinan dan pengawasan koperasi melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

RUU ini bukan mendorong penguatan koperasi, tapi malah sebaliknya, berpotensi melemahkan dan merusak sistem nilai yang dibangun koperasi yakni kekeluargaan dan kegotongroyongan.

Untuk menjaga penerapan asas kekeluargaan dan kegotongroyongan dalam berkoperasi khususnya KSP dan KSPPS sebaiknya perizinan dan pengawasan tetap di Kementerian Koperasi dan UKM (KemenkopUKM).

Dengan alasan ada delapan koperasi bermasalah lalu membabi-buta dan menggeneralisasi bahwa semua koperasi bermasalah tentu tidak bijak.

Saat ini Satgas Penanganan Koperasi Bermasalah KemenkopUKM sedang menangani delapan koperasi bermasalah yang mengalami gagal bayar terhadap anggota, yaitu KSP Intidana, KSP Indosurya Cipta, KSP Sejahtera Bersama, KSP Timur Pratama, KSP Pracico Inti Sejahtera, KSPPS Pracico Inti Utama, KSP Lima Garuda, dan Koperasi Jasa Wahana Berkah Sentosa.

Jika semua menilik jumlah KSP dan KSPPS saat ini berjumlah paling tidak 127 ribu, tentu jika dibandingkan dengan 8 koperasi bermasalah ini jauh masih lebih besar koperasi yang dalam kondisi baik-baik saja.

Sangat tidak bijak menilai bahwa KemenkopUKM tidak mampu mengawasi koperasi yang ada. Jika terdapat kelemahan maka seharusnya diperbaiki.

Ini ibarat ada tikus di rumah, tetapi dibunuh dengan tembakan yang bisa merusak perabotan rumah yang lebih mahal. Padahal harusnya bisa dibasmi cukup dengan lem tikus.

Memang diperlukan instrumen penguat pada pengawasan yang dilakukan oleh KemenkopUKM saat ini. Artinya, yang masih terdapat kelemahan perlu diperbaiki. Terhadap delapan koperasi bermasalah ini, KemenkopUKM dapat belajar apakah delapan koperasi ini menerapkan prinsip, nilai, dan jati diri berkoperasi yang sesungguhnya atau tidak.

Dengan jumlah KSP dan KSPPS yang saat ini 127 ribu dan pada RUU dinyatakan hanya koperasi besar yang akan diawasi oleh OJK, ini memberikan indikasi bahwa pembuat RUU tidak paham bahwa koperasi baik besar atau masih kecil menerapkan prinsip, nilai, dan jati diri yang sama dan harus diawasi oleh otoritas yang sama.

Pembuat RUU selalu mendalilkan di media bahwa RUU PPSK ini dibuat sebagai aksi terhadap 8 koperasi bermasalah yang telah merugikan masyarakat.

Padahal, semua tahu berapa jumlah anggota delapan koperasi bermasalah ini dibandingkan dengan jumlah anggota koperasi yang mendekati angka 30 juta orang. Artinya, masih lebih banyak masyarakat yang diuntungkan dengan berbagai benefit berkoperasi.


Landasan Berbeda

Koperasi dibangun dengan landasan yang berbeda dengan industri perbankan. Koperasi mengedepankan aspek profit dan benefit dalam satu equilibrium model (model keseimbangan), sementara perbankan mengedepankan profit semata.

Koperasi memberikan layanan kepada anggota sebagai pemilik, karena anggota adalah pengguna dan pengendali (selain fungsinya sebagai owner).

Maka koperasi sejatinya tidak boleh menyebut anggota sebagai nasabah. Koperasi menyebut konsumennya sebagai anggota.

Pelayanan kepada anggota dalam berkoperasi tidak melihat apakah anggota memiliki jaminan atau tidak. Banyak koperasi, bahkan koperasi pada level besar, tidak mensyaratkan jaminan (collateral) karena sifat koperasi yang sesungguhnya anggotalah yang memiliki koperasi ini.

Tentu ini akan menjadi bermasalah saat koperasi disatukan pengawasannya pada OJK yang menyaratkan mitigasi risiko yang tentu berbeda dengan perbankan.

Koperasi menjaga harmonisasi profit dan benefit berbeda dengan praktik perbankan yang hanya mengedepankan profit semata. Perbankan menempatkan konsumen sebagai nasabah dan tentu menempatkan pemilik harus mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya.

Jika koperasi menjadi ranah OJK maka peran koperasi dalam memberikan kesejahteraan anggota akan tereduksi dengan aturan-aturan OJK yang menyamakan koperasi sama dengan industri perbankan. Koperasi tidak akan lagi mampu menjalankan prinsip, nilai dan jati diri berkoperasi.

Dikatakan RUU PPSK ini dibuat untuk memberikan prioritas yang sama dan kesetaraan dengan lembaga keuangan lain termasuk industri perbankan.

Alasan ini harus dikoreksi karena pada sektor mikro masih banyak masyarakat yang jauh dari nilai bankable akan sulit mendapatkan akses pinjaman atau pembiayaan.

Jika nanti koperasi berada pada ranah OJK maka akan muncul istilah koperasiable, istilah yang menyamakan bahwa anggota koperasi yang bisa memperoleh fasilitas pinjaman atau pembiayaan adalah mereka yang dianggap memiliki risiko rendah dalam pengembalian pinjaman atau pembiayaan.

Penulis masih dengan jelas teringat saat Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian dan memutuskan undang-undang itu tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat.

Dan akhirnya Undang-Undang Nomor 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian berlaku untuk sementara waktu sampai dengan terbentuk undang-undang yang baru.

Dalam pertimbangannya, hakim menyatakan bahwa filosofi dalam Undang-Undang Perkoperasian ternyata tidak sesuai dengan hakikat susunan perekonomian sebagai usaha bersama dan berdasarkan asas kekeluargaan yang termuat dalam Pasal 33 ayat (1) UUD 1945.

Pengertian koperasi ternyata telah dielaborasi dalam pasal-pasal lain di dalam Undang-Undang Nomor 17/2012, sehingga di suatu sisi mereduksi atau bahkan menegasikan hak dan kewajiban anggota dengan menjadikan kewenangan pengawas terlalu luas. Hal ini kembali berpotensi terjadi jika izin dan pengawasan bergeser ke OJK.

Bergesernya izin dan pengawasan ke OJK akan membatasi hak dan kewajiban anggota karena RUU PPSK yang diawasi oleh OJK tidak bisa menjamin apakah OJK memahami prinsip, nilai, dan jati diri koperasi.

Koperasi dibangun dengan semangat kekeluargaan dan kegotong-royongan, sehingga jika indikator pengawasan koperasi disamakan dengan indikator perbankan tentu operasional koperasi yang sifatnya kekeluargaan dan kegotong-royongan akan bergeser menjadi orientasi profit semata. Sementara koperasi menerapkan prinsip profit dan benefit secara berkeseimbangan.

Bergesernya izin dan pengawasan ke OJK juga akan menjadikan koperasi akan mengutamakan skema permodalan materiil dan finansial serta mengesampingkan modal sosial yang menjadi ciri fundamental koperasi sebagai suatu entitas khas pelaku ekonomi berdasarkan UUD 1945.

Koperasi menjadi sama dan tidak berbeda dengan perbankan dan kehilangan ruh konstitusionalnya sebagai entitas pelaku ekonomi khas bagi bangsa yang berfilosofi gotong royong.

Perizinan dan pengawasan merupakan unsur utama dalam operasionalisasi koperasi yang sesuai dengan prinsip, nilai, dan jati diri berkoperasi.

Dengan menggeser izin dan pengawasan koperasi ke OJK maka norma subtansial pasal-pasal RUU PPSK yang menyatakan bahwa izin dan pengawasan bergeser ke OJK tersebut sangat berpotensi bertentangan dengan UUD 1945.

Maka jika RUU PPSK disahkan dapat dipastikan hal ini telah mencabut ruh kedaulatan rakyat, demokrasi ekonomi, serta asas kekeluargaan dan kebersamaan yang dijamin konstitusi.

Solusi

Koperasi sebagai lembaga keuangan berbeda dengan perbankan. Ia dimiliki oleh anggota dan dipergunakan oleh anggota untuk membangun kesejahteraan.

Kesejahteraan pada koperasi bukan soal meningkatnya ekonomi saja. Anggota membangun koperasi untuk meningkatkan kesejahteraan ekonominya, pendidikannya, kesehatannya, sosialnya, dan spiritualnya. Oleh karena itu, produk koperasi diselaraskan dengan kebutuhan anggotanya.

Banyak koperasi yang saat ini memiliki berbagai program sosial dan pemberdayaan anggota. Seperti Koperasi BMI misalnya, saat ini melakukan banyak kegiatan sosial seperti pembangunan rumah gratis melalui program Hibah Rumah Siap Huni (HRSH) yang sampai saat ini telah mencapai 385 unit rumah gratis.

Kegiatan sosial lainnya seperti sunatan massal, santunan dhuafa, santuan anak yatim, bantuan kursi roda, pengobatan massal, pembangunan jembatan, penyembuhan penyakit katarak, beasiswa anak yatim dan kurang mampu, sanitasi dhuafa, sanitasi rumah ibadah, dan masih banyak program lain yang dilakukan oleh Koperasi BMI.

Dalam pembiayaan pun Koperasi BMI melakukan pemberdayaan melalui pendampingan melalui divisi pemberdayaan anggota.

Kegiatan koperasi yang mengutamakan profit dan benefit secara bersamaan ini akan terjaga jika otoritas penjaga prinsip, nilai, dan jati diri koperasi adalah otoritas yang memahami koperasi berasas kekeluargaan dan kegotongroyongan.

Oleh karena itu, tidak ada alternatif lain kecuali tetap memberikan otoritas kepada KemenkopUKM sebagai lembaga yang memberikan izin dan pengawasan, tentu dengan perbaikan indikator dan instrumen sehingga meminimalisasi timbulnya koperasi bermasalah.


*) Kamaruddin Batubara, SE, ME; Presiden Direktur Koperasi BMI Grup, Penerima Anugerah Satya Lancana Wira Karya Presiden 2018, Penulis Buku Model BMI Syariah, Penerima Rekor MURI Penggagas Hibah Rumah Siap Huni Melalui Koperasi, Anggota Tim Pokja RUU Perkoperasian KemenkopUKM.
 

Copyright © ANTARA 2022