Jakarta (ANTARA) - Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menilai program penanggulangan bencana (PB) belum menjadi prioritas di daerah.

Deputi Bidang Sistem dan Strategi BNPB Raditya Jati dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu, mengungkap perlunya integrasi sistem evaluasi penyelenggaraan PB, dan berbagai permasalahan kelembagaan PB di daerah.

“Semangat resiliensi berkelanjutan dari komitmen global harus dapat diimplementasikan sampai tingkat lokal sesuai arahan Presiden RI saat penyelenggaraan Global Platform for Disaster Risk Reduction (GPDRR) 2022”, ujar Raditya.

Saat membahas isu kebencanaan di tingkat daerah di kantor Ditjen Bina Pembangunan Daerah, Jakarta Selatan, pada Selasa (1/11), Raditya juga mengungkapkan local wisdom, atau kearifan lok dalam pengelolaan risiko bencana yang ada di setiap daerah menjadi aset penting untuk membangun kapasitas PB di daerah serta mendorong penganggaran untuk upaya pada fase prabencana, bukan hanya pada tanggap darurat bencana.

Baca juga: BPBD OKU Sumsel ingatkan warga waspadai bencana banjir

Baca juga: BPJAMSOSTEK beri santunan Rp244,8 juta petugas penanggulangan bencana


Sementara itu, Direktur Pengembangan Strategi BNPB Agus Wibowo dalam kesempatan audiensi menyampaikan harapannya agar Dokumen Rencana Induk Penanggulangan Bencana (RIPB) yang telah ditetapkan menjadi Perpres No.87/2020 dapat dimuat dalam dokumen perencanaan pembangunan tingkat pusat dan perencanaan daerah RPJPD dan RPJMD.

Hal tersebut dimaksudkan agar pemerintah daerah mendapatkan alokasi anggaran untuk implementasinya.

“Kita sudah memiliki pedoman untuk integrasinya. Pedoman ini akan kita sosialisasikan kepada 34 provinsi. Kami berharap nanti dari Kemendagri juga dapat mendukung," ujar Agus.

Di sisi lain, Direktur Pemetaan dan Evaluasi Risiko Bencana BNPB, Udrekh menyampaikan tantangan yang dihadapi sampai saat ini yaitu masih ada 100 lebih daerah yang belum memiliki peta kawasan rawan bencana (KRB) akibat tidak adanya anggaran.

“Saat ini kita juga berupaya untuk mengeluarkan indeks risiko bencana Indonesia (IRBI) yang biasa dikeluarkan di awal tahun, rencananya akan dikeluarkan di akhir tahun agar dapat dimanfaatkan untuk mendukung kinerja pemerintah daerah,” kata Udrekh.

Dalam kesempatan yang sama, Sekretaris Ditjen Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri, Sri Purwaningsih dalam tanggapannya menyampaikan urusan kebencanaan di daerah masih sering ditemui. Seperti pemahaman substansi PB yang masih kurang, ketidakpahaman terkait kewenangan urusan pemerintahan daerah, dan banyak BPBD yang masih sekedar menjalankan tugas business as usual.

“Perlu ada penguatan untuk pemerintah daerah, khususnya untuk BPBD dalam implementasi tugas dalam langkah yang nyata," ungkap Purwaningsih.

Pada akhir kegiatan, BNPB dan Kemendagri sepakat untuk saling berkolaborasi dalam penguatan implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM), integrasi sistem evaluasi untuk penyelenggaraan PB di daerah, dan penguatan tata kelola dan substansi kebencanaan untuk pemerintah daerah.

Dijelaskan, kesepakatan tersebut menuntut saling berkolaborasi dalam penguatan implementasi SPM, integrasi sistem evaluasi untuk penyelenggaraan PB di daerah, dan penguatan tata kelola dan substansi kebencanaan untuk pemerintah daerah.

Dari hasil pertemuan itu, kedua belah pihak menyetujui tindak lanjut pertemuan dengan penyelenggaraan diskusi-diskusi teknis untuk koordinasi lanjutan untuk memantapkan kolaborasi yang diusulkan.

“Sesuai UU 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah, untuk menyadarkan dan menguatkan kebencanaan pemerintah daerah, BNPB tidak bisa sendirian, perlu bantuan Kemendagri untuk aspek pemerintahan yang dilengkapi oleh BNPB aspek teknisnya," ujarnya.*

Baca juga: Mendidik generasi melek bencana

Baca juga: Standar minimum INEE jadi panduan dalam pengurangan risiko bencana

Pewarta: Devi Nindy Sari Ramadhan
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2022