Biasanya 35 persen lokal, 65 persen impor tapi sekarang sudah 45 persen lokal dan 55 persen impor
Jakarta (ANTARA) - Asosiasi Mainan Indonesia (AMI) mengaku masih terseok untuk mengejar pangsa pasar mainan di dalam negeri karena terhambat beban biaya produksi dan regulasi.

Ketua AMI Sutjiadi Lukas di Jakarta, Jumat, mengungkapkan potensi mainan produksi Indonesia sebenarnya cukup prospektif namun masih terhalang harga yang tinggi dibanding produk mainan asal China. Hal itu lantaran kebijakan penggunaan komponen dalam negeri yang cukup memberatkan dari sisi biaya produksi.

"Industri lokal kan perlu komponen. Baut di Indonesia harganya Rp50, di China paling mahal Rp10 sudah sampai gudang kita. Belum lagi karena baut itu turunan baja, kita kena larangan terbatas (lartas), jadi kita harus minta izin dulu. Ini yang menyulitkan sedangkan permintaan banyak," katanya.

Di sisi lain, Lukas mengeluhkan peraturan soal pelaksanaan pengajuan Standar Nasional Indonesia (SNI) mainan impor yang memberatkan pengusaha.

Dalam aturan tersebut, pengajuan SNI melalui lembaga sertifikasi mewajibkan pengambilan sampel atau contoh mainan harus menggunakan tenaga kerja Indonesia.

"Harus orang Indonesia yang ambil sampel ke China. Kalau dulu tidak perlu, dulu cukup lembaga penguji minta mitra di China ambil sampel, lalu kirim dan diuji di Indonesia. Sekarang tidak boleh, harus orang Indonesia yang berangkat. Tiket pesawat dulu Rp100 juta, sekarang Rp50 juta. Dan itu dibebankan ke kita (pengusaha). Belum lagi karantinanya," ungkapnya.

Padahal, menurut Lukas, impor mainan masih dibutuhkan agar industri di dalam negeri bisa terus memperbarui tren mainan global. Impor juga dinilai bisa mendorong adanya alih teknologi.

"Kalau secara teknologi, kita sudah oke karena sudah banyak yang 4.0, mulai lari juga ke kelas premium, dari bahan, pengemasan, dan fungsi. Dulu kita tidak ada mobil remote control, sekarang ada," katanya.

Lukas menyebutkan saat ini industri mainan dalam negeri perlahan terus meningkatkan kualitas dan mulai memenuhi pangsa pasar lokal.

"Biasanya 35 persen lokal, 65 persen impor tapi sekarang sudah 45 persen lokal dan 55 persen impor," ujarnya.

Lebih lanjut, Lukas terus mendorong peningkatan pangsa pasar mainan lokal di dalam negeri. Selain budaya konsumtif masyarakat Indonesia, menurutnya salah satu faktor pendukung target tersebut yaitu potensi lahirnya 4,5 juta bayi per tahun.

"Kalau 4,5 juta anak lahir, setiap bulan minimal perlu dua mainan, dikali hingga usia 5 tahun, pangsa pasarnya masih cukup besar. Industri mainan tidak perlu mati, bisa di-upgrade dari importir menjadi produsen," kata Lukas.


Baca juga: Tren positif industri mainan, produsen lokal siap masuk ke mancanegara
Baca juga: Ekspor signifikan, Kemenperin pacu inovasi industri mainan anak
Baca juga: Industri mainan siap jadi proyek percontohan industri 4.0

Pewarta: Ade irma Junida
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2022