Jakarta (ANTARA News) - Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) mengusulkan agar organisasi petani baik itu koperasi maupun kelompok tani dapat kembali dilibatkan dalam distribusi pupuk guna mengatasi kelangkaan pupuk. "Pupuk ini disubsidi dengan uang rakyat dan jangan jalan ke mana-mana. Jangan jatuh ke tangan orang lain. Ini bisa menjadi kejahatan terhadap petani," kata Ketua Umum Dekopin Adi Sasono kepada pers usai membuka Seminar Internasional "Strengthening of Business Sector in Cooperative" di Jakarta, Sabtu. Menurut dia, selama puluhan tahun koperasi terlibat dalam distribusi pupuk, para petani tidak merasakan adanya masalah. Masalah, lanjutnya, justru muncul ketika koperasi tidak lagi dilibatkan dalam distribusi pupuk. "Dulu bisa beres selama 30 tahun karena koperasi yang mengatur," katanya dan menambahkan masalah serupa juga terjadi dengan beras impor yang justru semakin sering dilakukan pemerintah. "Selama puluhan tahun kita tidak ada masalah pupuk, juga beras impor. Tapi begitu koperasi disingkirkan, selama beberapa tahun ini langsung pupuk kacau," katanya. Diakuinya ada juga koperasi yang tidak baik dan ini juga terjadi di semua badan usaha lainnya seperti PT, namun tidak berarti kalau ada yang jelek semuanya jadi jelek. Untuk soal pupuk ini, lanjutnya, Dekopin sudah mengusulkan hingga sekitar 600 lebih koperasi untuk dilibatkan dalam sistem distribusi tertutup. Namun sampai sejauh ini dukungan dari pemerintah daerah kurang kuat. Dalam sistem distribusi tertutup itu, katanya, penyaluran pupuk berdasarkan Rencana Definitif Kegiatan Kelompok (RDKK) langsung ke petani. "Kalau tidak ada koperasi masalah ini tidak akan selesai-selesai," katanya. Sementara mengenai larangan ekspor pupuk, mantan Menkop ini menilai kebijakan tersebut hanya bersifat ad hoc karena harga pupuk internasional yang juga tidak murah. Ia juga mengkritik sikap pemerintah yang setengah hati memperjuangkan ekonomi rakyat dan justru hanya membuat kebijakan yang mempersulit mereka yang berpendapatan rendah. Adi mencontohkan soal tidak lagi dikeluarkannya ijin bagi pendirian lembaga penjaminan kredit yang baru. "Rakyat yang mau pinjam harus pakai agunan, padahal rakyat tidak punya apa-apa. Ini peraturan macam apa?," katanya bertanya. Untuk memproduksi beras saja, lanjutnya, modal seluruh petani bisa mencapai Rp90 triliun, sementara hasil yang bisa dinikmati petani hanya sekitar Rp300 miliar. (*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2006