Jakarta (ANTARA) - Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menilai terdapat motif politis dalam pemberhentian hakim konstitusi Aswanto terkait adanya inisiatif DPR untuk merevisi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK).

"Ada motif politik yang perlu diperhatikan saat ini. Ada RUU inisiatif DPR yang merevisi sekali lagi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi," kata Bivitri dalam webinar "Membaca Kembali Urgensi Kemandirian MK sebagai Penjaga Konstitusi Pasca Pemberhentian Hakim Konstitusi oleh DPR" seperti dipantau dari kanal YouTube Kanal Pengetahuan FH UGM dari Jakarta, Selasa.

Bivitri menilai keputusan DPR memberhentikan Arwanto dengan alasan menganulir produk DPR bukan bentuk check and balance. Menurut dia, check and balance berbeda dengan intervensi.

"Apa dasar pencopotannya, kapan dilakukan, dan oleh siapa, serta melalui prosedur apa? Ketika itu (pencopotan hakim) sifatnya politik, yang mana dasarnya bukan perilaku hakim tetapi putusan hakim, maka itu bukan dalam konteks check and balance," tambahnya.

Baca juga: Aswanto-Wahiduddin ucapkan sumpah Hakim Konstitusi di depan Presiden Jokowi

Jabatan sebagai seorang hakim konstitusi bisa dicopot sebelum masa jabatan hakim tersebut berakhir jika memang terdapat perilaku yang melanggar kode etik, katanya. Selain itu, penyelesaiannya juga harus menggunakan prosedur etik.

Dia mencontohkan misalnya ada hakim yang tertangkap tangan menggunakan narkoba, maka perilaku hakim tersebut tak terbantahkan dan harus dicopot.

"Kalau dalam konteks seperti itu, maka bisa dicopot di tengah jalan karena perilaku; tapi kalau karena mereka menganulir produk DPR, itu yang tidak bisa (dicopot)," jelasnya.

Dalam kesempatan tersebut, dia juga menjelaskan pentingnya hakim tidak terpengaruh oleh berbagai tekanan eksternal ketika membuat sebuah putusan. Ketika negara hukum diruntuhkan oleh kekuasaan yang terlalu besar, maka memang kecenderungannya akan meruntuhkan kekuasaan kehakiman atau lembaga yudikatif terlebih dahulu, katanya.

"Karena mereka yang bisa mengganggu kekuasaan yang terlalu berlebihan. Bisa dilihat bagaimana di banyak negara seperti Pakistan, itu seluruh hakimnya dicopot oleh perdana menteri ketika ingin memperluas kekuasaannya," ujar Bivitri.

Baca juga: Pakar sebut ada salah persepsi terkait pemberhentian Aswanto oleh DPR
 

Pewarta: Putu Indah Savitri
Editor: Fransiska Ninditya
Copyright © ANTARA 2022