Demi kepastian hukum, Mahkamah Konstitusi perlu segera membuat renvoi terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 103/PUU-XX/2022.
Jakarta (ANTARA) - Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) I Dewa Gede Palguna menyatakan Hakim Konstitusi Guntur Hamzah terbukti melanggar Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi akibat mengubah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 103/PUU-XX/2022.

"Menyatakan hakim terduga terbukti melakukan pelanggaran terhadap Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama, dalam hal ini bagian dari penerapan prinsip integritas," ucap I Dewa Gede Palguna dalam Sidang Putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi RI Perkara No. 1/MKMK/T/02/2023, dipantau dari kanal YouTube Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, Senin.

Dengan demikian, MKMK menjatuhkan sanksi berupa teguran tertulis kepada Guntur Hamzah yang dalam perkara ini berstatus sebagai hakim terduga.

Adapun hal-hal yang memberatkan Guntur adalah perbuatannya dalam suasana publik yang masih memperdebatkan keabsahan pemberhentian mantan Hakim Konstitusi Aswanto.

Kondisi ini mengakibatkan perbuatan Guntur dipersepsikan sebagai upaya Guntur untuk menyelamatkan diri dari prasangka ketidakabsahan pengangkatannya sebagai hakim konstitusi.

Meskipun secara hukum Guntur berhak mengajukan usul perubahan terhadap putusan, kata dia, pertimbangan etik seharusnya mencegah Guntur untuk melakukan tindakan tersebut.

"Sebab hakim terduga tidak ikut memutus perkara Nomor 103/PUU-XX/2022," ucap Palguna.

Baca juga: MKMK masuki tahap konsolidasi putusan pencopotan Aswanto
Baca juga: Advokat ajukan "judicial review" terkait pemberhentian Hakim Aswanto


Selain itu, Palguna mengatakan bahwa seharusnya Guntur, yang saat itu baru menjabat sebagai hakim konstitusi, bertanya mengenai prosedur yang harus ditempuh ketika hendak mengusulkan perubahan terhadap naskah putusan.

Akan tetapi, terdapat hal-hal yang meringankan, seperti Guntur yang berterus terang sejak awal memberikan keterangan kepada Majelis Kehormatan, perbuatan Guntur yang sesungguhnya merupakan praktik lazim di Mahkamah Konstitusi sepanjang mendapatkan persetujuan majelis hakim (setidaknya hakim drafter), ketiadaan SOP, hingga lambatnya respons MK terhadap dampak dari perbuatan Guntur.

Seandainya MK merespons dengan cepat, Palguna mengatakan bahwa permasalahan ini tidak seharusnya menjadi berkepanjangan, bahkan Majelis Kehormatan pun tidak perlu dibentuk.

Oleh karena itu, selain menjatuhkan sanksi berupa teguran tertulis, Majelis Kehormatan juga memberikan rekomendasi kepada MK untuk membuat SOP bagi hakim konstitusi yang hendak mengusulkan perubahan terhadap putusan yang sedang diucapkan atau dibacakan dalam sidang pengucapan putusan yang terbuka untuk umum.

"Demi kepastian hukum, Mahkamah Konstitusi perlu segera membuat renvoi terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 103/PUU-XX/2022," ucap Palguna.

Adapun putusan yang berlaku adalah putusan yang menggunakan frasa "dengan demikian".

Putusan 103/PUU-XX/2022 merupakan putusan MK terkait uji materi Pasal 23 ayat (1) dan (2) serta Pasal 27 A ayat (2) Undang-Undang tentang MK. Putusan itu dibacakan pada tanggal 23 November 2022.

Permasalahan dalam putusan tersebut adalah perubahan substansi yang dinilai memiliki konsekuensi hukum yang jauh berbeda.

Substansi yang berubah dalam putusan ini hanya melibatkan dua kata, yakni dari kata "dengan demikian" seperti dibacakan Hakim Konstitusi Saldi Isra dalam sidang menjadi "ke depan" seperti tertulis dalam salinan putusan dan risalah persidangan.

Pewarta: Putu Indah Savitri
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2023