Sanur (ANTARA News) - Persaingan ketat antara kubu Zaenal Ma`arif dan Bursah Zarnubi membuat muktamar islah Partai Bintang Reformasi (PBR) di Bali, Senin, berlangsung panas, bahkan terancam "deadlock". Rapat komisi A yang membahas Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) serta tata tertib pemilihan ketua umum seperti diperkirakan sebelumnya berlangsung alot. Baik kubu Zaenal dan Bursah berupaya keras mempengaruhi keputusan yang akan diambil karena AD/ART dan tata tertib pemilihan karena pihak yang bisa menguasai dua hal itu akan memiliki peluang lebih besar untuk terpilih sebagai ketua umum. Dengan alasan agar muktamar dapat berlangsung secara lebih demoktaris, kubu Zaenal mengusung mekanisme ?one man one vote? atau satu orang satu suara, sementara kubu Burzah memperjuangkan ?one delegation one vote? atau satu delegasi satu suara dengan dalih agar tidak terjadi perpecahan. Muktamar islah diikuti 436 dewan pimpinan cabang (DPC) dengan masing-masing mengirim dua utusan dan 33 dewan pimpinan wilayah (DPW) masing-masing lima utusan, Sementara dua badan otonom PBR yakni Suara Perempuan Reformasi (Serasi) dan Pemuda Reformasi Indonesia (PRI) masing-masing satu utusan. Jika sistem satu orang satu suara maka suara yang akan diperebutkan sebanyak 1.041 suara, Sedangkan jika sistem delegasi maka suara akan kurang dari setengahnya. Karena kedua kubu sama-sama ngotot, maka rapat komisi A yang dipimpin M. Raden Syafii dan Iskadir Chottob gagal menghasilkan keputusan menyangkut AD/ART dan tata tertib pemilihan. Akhirnya keputusan diserahkan pada rapat pleno yang belum juga berlangsung hingga berita ini diturunkan. Bahkan, rapat komisi A sempat diwarnai kericuhan akibat adanya lima peserta "gelap", yakni empat orang dari Sumatera Utara dan satu orang dari Jawa Timur yang akhirnya diusir dari ruang rapat. Bayang-bayang deadlock mencemaskan sejumlah peserta muktamar. Mereka khawatir mukatamar yang telah molor sehari dari jadwal dan berpeluang molor sehari lagi tidak akan menghasilkan ketua umum pengganti Zainuddin MZ. "Kita khawatir muktamar ini akan gagal memilih ketua umum sehingga keputusannya akan ditentukan di Jakarta, bahkan oleh pihak-pihak di luar PBR," kata peserta dari Papua.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2006