Yogyakarta (ANTARA) - Stunting atau gangguan pertumbuhan pada anak, yakni tinggi badan anak lebih rendah atau pendek (kerdil) dari standar usianya akibat masalah kurang gizi kronis, tak hanya dialami anak-anak di perdesaan, tetapi juga di perkotaan, salah satunya di Kelurahan Kricak, Kecamatan Tegalrejo, Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Sebanyak 22 anak di bawah usia dua tahun di wilayah itu terdiagnosis stunting.

Perwakilan Human Initiative Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Pipit Nur Rahma mengatakan ada tiga alasan terjadinya kondisi ini di kota yang sebenarnya tak kekurangan dari segi keanekaragaman pangan, salah satunya kecenderungan orang tua memenuhi asupan makanan anak seadanya dan serba instan.

 Sebagian besar orang tua memberikan makanan cepat saji yang diolah dengan cara digoreng tanpa memikirkan ada tidaknya zat gizi di dalamnya. Belum lagi, makanan ini mudah didapatkan di rumah makan yang tersebar di berbagai lokasi.

Selain makanan, pola asuh anak juga tidak maksimal lantaran orang tua sibuk bekerja. Ini salah satunya dilatarbelakangi kondisi ekonomi mereka. Akibatnya, orang tua menyerahkan pengasuhan anak pada kerabat, seperti kakek dan nenek si anak atau paman dan bibi.

Alasan ketiga, yakni faktor sanitasi. Beberapa keluarga tinggal di area berdekatan dengan bantaran sungai sehingga melakukan berbagai aktivitas rumah tangga di sungai tersebut tanpa memperhatikan sanitasi yang baik.

Berangkat dari kondisi ini, intervensi pun dilakukan Pipit dan tim berkolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk pemerintah melalui program Bunda Mengajar yang berfokus pada pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan, termasuk gizi, perilaku hidup bersih dan penyediaan akses pangan bagi keluarga.

Para orang tua diberikan pendampingan dalam memberikan makanan sehat pada anak mereka selama tiga bulan, kemudian pelatihan dan edukasi mengenai 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), gizi seimbang, pengukuran antropometri dan pengisian buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA)

Edukasi ini diberikan, salah satunya dengan menghadirkan narasumber kompeten di bidang kesehatan, seperti dari Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Sardjito.

Upaya ini diharapkan dapat mengubah perilaku orang tua, khususnya dalam pemberian asupan makanan pada anak mereka.

Selain itu, bertujuan juga meningkatkan peran serta keterlibatan perempuan dalam program sosial serta kerja sama multipihak dalam pengembangan kapasitas kader.

Perubahan perilaku termasuk dalam pemberian asupan makanan membutuhkan waktu, setidaknya setelah pendampingan selama tiga bulan. Kini, hasilnya mulai terlihat yang dimulai dari mandirinya orang tua menyiapkan makanan bergizi seimbang untuk anak mereka.

Kemudian, khusus orang tua dengan anak stunting, diberikan pendampingan khusus, salah satunya berupa bantuan pemberian makanan tambahan (PMT). Namun, dalam pelaksanaannya tak mudah. Pipit mendapatkan laporan dari para kader bahwa ada penolakan dari orang tua dengan alasan mereka tak membutuhkannya. Karena itu diperlukan penanganan khusus dalam hal ini.

Pemerintah setempat ambil bagian dalam PMT ini. Lurah Kricak May Christianti Sudarmono  mengalokasikan dana Rp130 juta untuk menyediakan PMT yang sudah berjalan 270 hari itu dan diperkirakan berakhir pada pertengahan Desember 2022. Para orang tua dengan anak stunting mendapatkan bantuan PMT setiap hari senilai Rp14.000.

Menu makanan untuk PMT sebelumnya dikonsultasikan dengan pakar gizi dari puskesmas. Selain itu, pemerintah juga menggandeng pembudidaya lele di RW 01 untuk membagikan hasil panennya pada 22 anak sasaran serta pemberian sayuran dari hasil panen Kelompok Tani Ngremboko.

Kemudian, setiap dua pekan dilakukan evaluasi untuk mengetahui perubahan pada anak setelah pemberian PMT.

May Christianti tak hanya fokus pada penanganan kasus, tetapi juga berupaya melakukan pencegahan, antara lain bekerja sama dengan dinas pertanian setempat untuk mengadakan pelatihan pengolahan pangan beragam, bergizi, seimbang dan aman (B2SA), berbagai pelatihan tentang parenting serta peningkatan makanan supaya anak-anak lebih tertarik dengan gizi yang lebih baik.

Kemudian, dia dan tim juga memberikan tablet penambah darah pada remaja putri yang sudah mengalami menstruasi. Ini dilakukan demi tercapainya target pemerintah agar nol kasus stunting pada tahun 2024.

Pakar gizi dari Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, MSi (kiri) bersama Sustainable Development Director Danone Indonesia, Karyanto Wibowo saat menghadiri salah satu rangkaian kegiatan “Perjalanan Aksi Bersama Cegah Stunting” bertajuk “Kolaborasi dan Inovasi Dukung Anak Indonesia Jadi Generasi Maju” di TK PKK Budi Rahayu di Kecamatan Mergangsan, Yogyakarta, Rabu (9/11/2022). (ANTARA/Lia Wanadriani Santosa)
Pentingnya kolaborasi

Pakar gizi dari Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof. Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, MSi. mengingatkan permasalahan stunting tidaklah berdiri sendiri, sebab lingkungan terdekat anak merupakan faktor yang turut memberi pengaruh besar pada persoalan ini di Indonesia.

Ada berbagai faktor risiko yang dapat menyebabkan stunting pada anak, antara lain, perempuan hamil kurang memperhatikan status gizinya, praktik menyusui atau ASI tidak eksklusif selama enam bulan pertama, praktik pemberian makanan pendamping ASI (MPASI) yang tidak tepat, pemantauan tumbuh kembang anak yang tidak rutin.

Selain itu, ada faktor status sosial ekonomi rumah tangga, ketahanan pangan keluarga, minimnya akses air bersih, buruknya fasilitas sanitasi, dan kurangnya kebersihan lingkungan yang juga menjadi faktor risiko stunting.

Permasalahan stunting harus menjadi perhatian berbagai pihak karena bisa berdampak terhadap perkembangan kognitif anak, sehingga tumbuh kembangnya tidak optimal dan dapat mengalami penurunan IQ.

Selain itu, stunting juga dapat berdampak buruk bagi negara di masa depan. Dalam hitung-hitungan ekonomi, potensi kerugian ekonomi dari permasalahan gagal tumbuh ini dapat menimbulkan kerugian ekonomi bagi negara sebesar 2-3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) per tahun , atau sekitar Rp500 triliun per tahun, dengan asumsi PDB Indonesia tahun 2021 sebesar Rp16.970 triliun.

Hal tersebut dapat terjadi karena anak yang mengalami kondisi stunting berpeluang mendapatkan penghasilan 20 persen lebih rendah dibandingkan anak yang tidak mengalami stunting ketika dewasa nanti.

Saat ini, angka prevalensi stunting di Indonesia ditargetkan bisa mencapai 14 persen pada 2024, sesuai dengan ketetapan pemerintah melalui Peraturan Presiden No 72 tentang Percepatan Penurunan Stunting.

Demi tercapainya hal ini, maka dibutuhkan kolaborasi dari berbagai pihak untuk menanggulangi serta mencegah stunting dan ini diakui Kepala Bidang Perekonomian Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Yogyakarta Lusiningsih. Dia berupaya agar angka stunting di Kota Yogyakarta terus menurun.

Kolaborasi ini salah satunya melalui gerakan “Bersama Cegah Stunting” dari Danone Indonesia. Dia berharap lebih banyak pemangku kepentingan dan pelaku industri lainnya yang terus aktif melakukan kemitraan strategis dan sinergis untuk mendukung Program Percepatan Penurunan Stunting dan mendukung terciptanya anak generasi maju di Indonesia.

Gerakan “Bersama Cegah Stunting” yang dikembangkan bersama multi stakeholder ini telah menjangkau lebih dari 4,5 juta penerima manfaat. Adapun gerakan ini mengintergrasikan program-program pencegahan stunting yang menyasar edukasi gizi, pola asuh dan pola hidup sehat di keluarga maupun sekolah, seperti Isi Piringku, Generasi Sehat Indonesia (GESID), Bunda Mengajar, Ayo Minum Air (AMIR), Tanggap Gizi dan Kesehatan Anak Stunting (TANGKAS) dan Water Access Sanitation and Hygiene atau Akses Air Bersih dan Sanitasi Higiene (WASH).

Program WASH salah satunya dilakukan di Dusun Bedakan, Desa Tlogomulyo, Wonosobo, Jawa Tengah, yang bertujuan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui perbaikan akses air bersih, sanitasi layak serta perubahan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). Melalui program ini dihadirkan sarana penyediaan air minum dan sanitasi (KPSPAMS) sehingga warga tak perlu lagi berjalan sejauh 400 meter dari permukiman mereka demi mendapatkan air bersih.

Selain itu, ada Warung Anak Sehat (WAS), salah satunya di SDN Kotagede 3 Yogyakarta. External Communications Manager Danone SN Indonesia Chika Nur Rachma Koeswandi mengatakan program WAS digagas sejak tahun 2011 di beberapa kota selain Yogyakarta yakni Ambon, Bandung dan Bogor. Program ini memberikan pelatihan pada para ibu kantin agar lebih mandiri dan berdaya secara ekonomi serta edukasi pada guru, orangtua dan siswa terkait pola makan sehat.

Melalui program ini, nantinya diharapkan para ibu kantin dapat menjual pangan-pangan lokal tanpa melupakan pemenuhan gizi anak. Di SDN Kotagede 3 Yogyakarta misalnya, makanan kantin yang tersedia seperti getuk, kipo, mata kebo dan klepon.

“Anak-anak jajan makanan sehat di kantin sehingga terbiasa. Diharapkan gizi anak tercukupi dengan makanan di kantin,” kata Kepala Sekolah SDN Kotagede 3 Yogyakarta Rumgayatri.

Program lainnya, yakni Aksi Cegah Stunting (ACS) yang merupakan penguatan sistem rujukan di poros posyandu, puskesmas dan RSUD untuk deteksi dan tatalaksana anak dengan kondisi gagal tumbuh, gizi kurang, dan gizi buruk yang mengarah pada kondisi stunting.

Sustainable Development Director Danone Indonesia, Karyanto Wibowo menyampaikan berbagai program inisiatif tersebut dilakukan dengan menerapkan tiga area fokus, yaitu pola makan, pola asuh dan sanitasi mengingat permasalahan stunting juga dipengaruhi aspek perilaku, terutama terkait pola makan, pola asuh dan sanitasi yang kurang baik.


 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2022