23,6 persen dari masyarakat di negara-negara miskin yang baru menerima satu dosis vaksin.
Denpasar (ANTARA) - Koordinator Kelompok Kerja C20 Bidang Akses Vaksin dan Kesehatan Global Agung Prakoso mengatakan kelompok masyarakat sipil memiliki keterlibatan yang cukup nyata dalam mengatasi isu ketimpangan vaksin lantaran belajar dari pengalaman pandemi.

"Kami memiliki anggota yang terlibat aktif dalam kegiatan vaksinasi untuk masyarakat adat, vaksinasi untuk disabilitas, hingga vaksinasi untuk kelompok rentan, seperti orang dengan HIV/AIDS ataupun tuberkulosis," kata Agung Prakoso dalam dalam diskusi bertajuk Civil-20 Health Conference on Vaccine Equity 'Ensuring G20 Real Commitment di Denpasar, Bali, Sabtu.

Dalam inisiatif arsitektur kesehatan global, menteri kesehatan negara-negara anggota G20 menyepakati pembentukan pandemic fund atau dana pandemi dengan dana yang terhimpun saat ini mencapai 1,4 miliar dolar AS. Dana itu bersumber dari tiga filantropi dan 20 negara donor.

Agung menuturkan bahwa kelompok masyarakat sipil memiliki kedekatan dengan masyarakat yang menjadi sasaran langsung program arsitektur kesehatan global.

Lebih lanjut dia mengatakan bahwa pengembangan riset dan manufaktur vaksin serta alat diagnostik perlu membangun jejaring manufaktur di negara-negara selatan.

Pusat manufaktur yang semula berada di wilayah utama mulai berpindah ke arah selatan untuk mewujudkan pemerataan dan keadilan terhadap akses vaksin, alat-alat kesehatan, diagnostik, hingga perawatan.

"Ini diwujudkan dalam bentuk south operation enam negara yang akan membentuk jejaring, yaitu Argentina, India, Brasil, Tiongkok, Afrika Selatan, dan Indonesia," kata Agung.

Pada awal November 2022, ada 12,9 miliar vaksin yang sudah disuntikkan kepada penduduk dunia dengan kecepatan sekitar 2,17 juta vaksin yang disuntikkan setiap hari.

Meski demikian, kata dia, masih ada 23,6 persen dari masyarakat di negara-negara miskin yang baru menerima satu dosis vaksin. Kondisi itu masih menjadi masalah secara umum.

Peneliti Third World Network (TWN) Lutfiyah Hanim mengatakan bahwa negara berkembang dan negara kecil saat ini menghadapi kekayaan intelektual yang membuat fasilitas manufaktur untuk pembuatan vaksin ataupun alat-alat kesehatan tidak dapat berkembang pesat.

Menurut dia, negara-negara berkembang punya fasilitasi dan memiliki kapasitas produksi, misalnya Indonesia juga memiliki kapasitas produksi vaksin, Tiongkok, India, itu juga memiliki kapasitas produksi. bahkan negara-negara kecil seperti Bangladesh, Amerika Latin itu mereka memiliki kapasitas produksi juga.

"Akan tetapi, manufaktur tidak bisa berproduksi maksimal karena obat, vaksin, dan lain sebagainya itu dia dilindungi oleh kekayaan intelektual," kata Hanim.

C20 mendorong pelepasan kewajiban dalam melindungi hak kekayaan intelektual agar menciptakan keadilan dan pemerataan akses vaksin. Namun, negara-negara maju masih menolak proposal TRIPS Waiver itu dan menginginkan negara-negara berkembang menggunakan lisensi wajib yang harus ada undang-undang atau peraturan di setiap negara.

"Lisensi wajib hanya untuk paten saja, sementara obat-obatan tersebut atau diagnostik itu dilindungi oleh banyak kekayaan intelektual, ada hak cipta, rahasia dagang. Tidak setiap negara memiliki aturan-aturan itu," pungkas Hanim.

Baca juga: C20: Monopoli kekayaan intelektual hambat perluasan manufaktur vaksin
Baca juga: Airlangga puji C20 berhasil capai konsensus dan keluarkan komunike

Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2022