Pidana mati ditempatkan sebagai pidana yang bersifat khusus.
Jakarta (ANTARA) - Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada Marcus Priyo Gunarto mengatakan bahwa pidana mati percobaan merupakan jalan tengah atas pertentangan antara pihak yang menolak pidana mati dengan pihak yang mendukung pidana mati.

"Ini jalan keluar yang dicoba diambil oleh para perancang RKUHP (Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) untuk mengambil jalan tengah antara pertentangan retensionis dan abolisionis," kata Marcus dalam acara Sosialisasi RUU KUHP dalam kanal YouTube Ditjen IKP Kominfo, dipantau dari Jakarta, Selasa.

Marcus lantas menjelaskan bahwa retensionis adalah pihak yang ingin mempertahankan pidana mati sebagai pidana alternatif untuk melindungi masyarakat dari perbuatan-perbuatan orang yang membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Adapun abolisionis adalah kelompok yang ingin menghapuskan pidana mati karena berpandangan negara tidak memiliki hak atas nyawa seseorang, dan masyarakat tidak menyerahkan nyawanya kepada negara. Akan tetapi, hanya menyerahkan sebagian dari hak-hak privat mereka untuk dikelola supaya keseluruhan anggota masyarakat dapat hidup dengan tenteram.

Terkait dengan pidana mati percobaan, Marcus mengutarakan bahwa hukuman pidana tersebut memungkinkan seseorang yang telah dijatuhi pidana mati untuk menunjukkan perubahan perilaku sehingga pidana tersebut dapat berubah menjadi pidana seumur hidup.

"Jadi, hakim itu menjatuhkan pidana mati. Jika dalam waktu 10 tahun dia menunjukkan perubahan perilaku, pidana mati itu bisa diubah menjadi pidana seumur hidup. Ini bentuk jalan tengahnya, seperti itu," kata Marcus.

Bahkan, lanjut dia, pidana seumur hidup itu pun bisa menjadi pidana sementara waktu ketika terdapat perubahan perilaku saat menjalani hukuman.

"Kita mencoba mencari jalan tengah. Pidana mati ditempatkan sebagai pidana yang bersifat khusus," kata Marcus.

Pewarta: Putu Indah Savitri
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2022