Bali (ANTARA) - Mengenakan pakaian berwarna hitam dan kain bermotif kotak-kotak hitam putih, ratusan pecalang bersiaga di sejumlah ruas jalan di Nusa Dua, Bali.

Berasal dari kata "celang" dalam bahasa Bali, pecalang berarti orang yang memiliki indera tajam. Bersama TNI dan Polri, "polisi adat" pulau dewata ini dilibatkan untuk memastikan keamanan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Kelompok 20 (G20) yang digelar 15-16 November dan dihadiri para pemimpin negara-negara penting dunia.

Salah satunya adalah I Nyoman Astika yang berusia 34 tahun. Bersama enam rekannya pada Selasa (15/11) sore yang mendung selepas gerimis, dirinya berjaga di ruas jalan Desa Bualo, salah satu desa terdekat dengan lokasi pelaksanaan KTT G20.

"Sehari-hari kami mengamankan desa adat, namun kali ini kami dengan bangga membantu agar KTT G20 berjalan lancar," ujar Astika kepada Xinhua pada Selasa.

Sesekali mereka mengatur arus lalu lintas. Terkadang, mereka dengan ramah menjadi penunjuk jalur alternatif bagi warga ketika terjadi penutupan jalan.
 
   "Tanpa berpikir panjang, kami bertujuh langsung mendorong mobil tersebut ke pinggir jalan sebelum kemacetan bertambah panjang," tutur Astika.   "Kami menjadi pecalang karena peduli dengan desa adat kami, demi keamanan Bali dan Indonesia," tutur Sata yang telah menjadi pecalang selama 28 tahun.


Para pecalang tersebut bertugas sejak pukul 07.00 hingga 21.00. Astika bertugas selama sif pertama, yang dimulai pukul 07.00 hingga 14.00, kemudian melanjutkan rutinitasnya sebagai pegawai hotel.

Sementara I Wayah Sata (58) memilih shift kedua, yang dimulai pukul 14.00 hingga 21.00, setelah dirinya merampungkan pekerjaan sebagai pengawas sekolah di Dinas Pendidikan Kepemudaan dan Olahraga Kabupaten Badung.

Mereka berjaga sejak 7 November, sebelum puncak KTT G20 dimulai hingga 18 November ketika para pemimpin itu kembali ke negara masing-masing.

Selama bertugas, mereka mengenakan kostum berupa udeng (kain ikat) di kepala, pakaian hitam, dan saput atau kain bermotif kotak-kotak yang menutupi pinggang hingga lutut. Saput itu pada umumnya berwarna tridatu (merah-putih-hitam), atau poleng (hitam-putih).
 
   Pecalang ikut mengamankan jalannya KTT G20 di Bali. (Xinhua)


"Kami menjadi pecalang karena peduli dengan desa adat kami, demi keamanan Bali dan Indonesia," tutur Sata yang telah menjadi pecalang selama 28 tahun.   Pecalang lainnya, Astika dan Sata, memiliki harapan besar agar ajang internasional ini berdampak positif dalam menggeliatkan sektor pariwisata di Bali. Sehingga masyarakat dunia bisa melihat Indonesia, khususnya Bali, sebagai destinasi wisata yang aman dan menarik untuk dikunjungi.

Terlepas itu, lanjut Sata, jika keamanan terkendali maka pertemuan para pemimpin yang merumuskan solusi atas berbagai persoalan dunia itu akan berjalan lancar. "Ini juga demi kepentingan warga dunia," imbuhnya.

Manggala Utama atau Ketua Persatuan Bantuan Keamanan Desa Adat Bali, I Made Mudra mengatakan mulanya pecalang hanya bertugas pada kegiatan adat atau keamanan saja. Seperti ngaben massal, ngenteg linggih (penyucian situs suci umat Hindu), atau Nyepi.

Seiring perkembangan zaman, mereka dilibatkan untuk membantu personel Polri dan TNI mengamankan wilayah masing-masing untuk agenda-agenda besar. Salah satunya adalah KTT G20.

"Karena merekalah yang siap berkomunikasi dengan warga untuk memperlancar jalannya KTT G20, misalnya menjadi penunjuk jalur alternatif ketika banyak jalan yang harus ditutup," ujar Mudra.
 
   Pecalang berkumpul dengan petugas pengamanan lainnya. (Xinhua)


"Mereka bisa melihat pemimpin negara mereka beraktivitas dengan aman di Bali. Bali adalah pulau yang indah," kata Sata.

Jika Bali dan Indonesia aman, imbuh Sata, maka pariwisata akan berjalan lancar dan masyarakat sejahtera.


 

Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2022