Jakarta (ANTARA News) - Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, pemerintah tidak setuju peringatan hari Buruh Internasional yang jatuh pada tanggal 1 Mei ditetapkan sebagai hari libur nasional. "Di Indonesia ini begitu banyak profesi seperti buruh, petani, wartawan dan sebagainya yang jumlahnya bisa ratusan, kalau kita setuju libur (hari buruh) kan banyak liburnya nanti, terus kapan bekerjanya. Karena itu kita tak setuju," kata Wapres Jusuf Kalla di Jakarta, Senin, menanggapi desakan pekerja untuk menetapkan peringatan hari Buruh Internasional 1 Mei sebagai hari libur nasional. Menurut Wapres, setidaknya dalam satu tahun di Indonesia telah terdapat 12 hari libur nasional menyangkut keagamaan seperti hari raya dan sebagainya, serta hari libur nasional kenegaraan. Sementara itu, tambahnya di negara-negara sosialis seperti di Rusia atau Cina memang tidak ada hari-hari libur nasional karena menyangkut keagamaan. "Karena tak ada hari raya agama, maka mereka pakai hari libur buruh itu digunakan sebagai libur nasional. Sekarang ini mereka libur satu minggu," kata Wapres. Sedangkan, menyangkut rencana merevisi UU Ketenagakerjaan no 13 tahun 2003, Wapres menegaskan bahwa hingga saat ini pemerintah dan pimpinan Serikat Pekerja maupun para pengusaha telah sepakat untuk melakukan kajian atas UU Ketenagakerjaan tersebut. "Pemerintah dengan pimpinana Serikat Pekerja, buruh dan pengusaha menyetujui hal ini untuk dikaji, tentunya dengan melibatkan lima universitas tersebut. Ini dikaji dulu apa yang perlu dan apa yang tidak," kata Wapres Jusuf Kalla. Menurut Wapres, hasil kajian tersebut diharapkan akan selesai dalam kurun waktu dua bulan. Namun Wapres tidak menjelaskan sejak kapan kajian tersebut mulai dilaksanakan. Mengenai soal pesangon jika terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), tambah Wapres, saat ini memang ada anggapan apa saja kalau berhubungan dengan soal PHK maka pekerja yang di-PHK harus mendapatkan pesangon. Padahal, tambahnya ada juga PHK yang dilakukan perusahaan terhadap karyawan atau pekerja yang melakukan tindak pidana atau melakukan pelanggaran. "Namanya juga kajian, kita lihat dulu hasilnya nanti apa. Kalau hasil kajian mengatakan sudah baik ya tak perlu revisi. Kalau hasil kajian memang perlu ada yang diubah ya kita lihat nanti hasilnya," kata Wapres. Ketika ditanyakan adanya berita anggota DPR yang telah menyatakan setuju untuk tidak melakukan revisi terhadap UU no 13 tahun 2003, Wapres mengatakan bahwa yang bisa mengambil keputusan untuk DPR adalah sidang-sidang atau rapat-rapat DPR. "Setahu kita DPR baru ambil sikap pada saat rapat-rapat, kalau pribadi-pribadi itu bukan keputusan DPR," kata Waptes.(*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2006