Jadi kita jangan pernah pegang tongkat dia
Jakarta (ANTARA) - Yayasan pemberdayaan disabilitas Precious One membagikan informasi mengenai etika berinteraksi dengan penyandang disabilitas yang tetap mengedepankan sikap penghargaan dan inklusivitas terhadap mereka.

Founder Precious One Ratnawati bercerita bahwa mulanya yayasan yang dia dirikan berfokus kepada penyediaan lapangan pekerjaan bagi teman tuli. Seiring berjalannya waktu, penyandang disabilitas dari kondisi lain pun terlibat sehingga yayasan itu turut belajar bagaimana memahami kehidupan disabilitas.

“Berjalannya waktu 18 tahun (sejak berdiri) tentunya membuat kami belajar dan memahami tentang banyak hal, terutama adalah bagaimana kita bisa memahami kehidupan teman-teman disabilitas,” kata Ratna saat media gathering di Jakarta, Kamis.

Baca juga: Telkom rayakan Hari Disabilitas Internasional lewat inklusivitas

Ketika bertemu dengan penyandang disabilitas sensori, salah satunya yaitu teman netra, Ratna mengingatkan agar senantiasa menyentuh pundak mereka terlebih dahulu jika hendak menyapa. Dengan menyentuh pundak, maka teman netra memahami dirinya tengah diajak bicara oleh seseorang.

Jika ingin membantu teman netra berjalan, biarkan mereka yang memegang dan menggandeng tangan kita terlebih dahulu. Selain itu yang tak kalah penting, Ratna mengingatkan untuk tidak memegang tongkat teman netra.

“Karena buat dia tongkat itu adalah senjata dialah. Jadi kita jangan pernah pegang tongkat dia. Itu saya dapat informasi dari teman netra sendiri,” ujar Ratna.

Ketika bersama teman netra, informasikan atau deskripsikan hal-hal apa saja yang ada di sekitar Anda sehingga dapat membantu mereka menciptakan imajinasi.

Untuk berkomunikasi dengan penyandang sensori tuli, hendaknya berbicara dengan berhadapan muka serta berbicara dengan mulut terbuka dan pelan. Jika Anda tidak bisa bahasa isyarat, Anda dapat menuliskan pesan yang hendak disampaikan. Selain itu, dapat pula memanfaatkan aplikasi live transcribe untuk mengubah audio menjadi teks.

Baca juga: Memartabatkan penyandang disabilitas

Pada diabilitas intelektual, Ratna menganjurkan sebaiknya jangan memasang wajah heran ketika bertemu dengan mereka dan alangkah baiknya beri mereka senyuman. Kemudian jangan tinggalkan mereka sendirian serta libatkan mereka jika ada kegiatan dan ajak komunikasi jika kondisinya memungkinkan.

“Kemudian beri apresiasi dan motivasi. Kasih jempol. Mungkin dia bahasanya terbatas. Bisa tetap dengan ekspresi jempol, senyum, itu dia sudah senang banget,” ujar Ratna.

Pada disabilitas autis, Ratna mengingatkan untuk tidak memberikan mereka sembarang makanan saat bertemu karena biasanya anak dengan autis harus menjalani diet tertentu. Ketika hendak berkomunikasi, sebutlah kata-kata yang umum dan panggil namanya.

Kemudian, hindari kebisingan seperti memainkan lagu dengan suara keras karena belum tentu lagu tersebut cocok bagi anak degan autis. Menurut Ratna, anak-anak autis cukup sensitif dengan suara, sentuhan, aroma yang menyengat, dan cahaya.

Selain itu, tatap mata secukupnya dan jangan menatap mereka dengan wajah aneh sehingga anak autis dapat tetap nyaman. Ketika hendak bertanya, sebaiknya jangan bertanya hingga berkali-kali dan diperlukan kesabaran untuk menunggu jawaban yang diucapkan anak autis.

“Jangan sampai kita nanya berkali-kali. Dia belum jawab, mungkin dia sedang loading atau mikir jawabannya apa di otak dia. Sabar saja kita nungguin jawaban dia,” ujar Ratna.

Baca juga: Dinsos Mataram: Anggaran untuk disabilitas 2023 naik jadi Rp400 juta

Baca juga: Peringati Hari Penyandang Disabilitas, UNIQLO gelar "Inclusion in Art"

Baca juga: Kemenkes: Hari Disabilitas Internasional momentum tegaskan solidaritas

Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2022