Jakarta (ANTARA) - Aktivis tuli sekaligus tutor parakerja Muhammad Andika Panji mengajak masyarakat untuk mengenali dan memahami tentang budaya tuli, mulai dari panggilan isyarat hingga kebutuhan visualisasi bagi teman tuli dalam berkomunikasi.

“Tuli ini adalah sebuah identitas dan budaya bagi kami. Masyarakat tuli lebih nyaman untuk dipanggil ‘tuli’, tapi kebanyakan ada beberapa yang masih menggunakan kata tunarungu,” kata Panji melalui penerjemah bahasa isyarat dalam media gathering di Jakarta, Kamis.

Dia menjelaskan bahwa penggunaan kata tunarungu merupakan perspektif medis atau kedokteran. Dia juga mengatakan bahwa kata tuli hingga saat ini memang belum digunakan secara resmi di dalam Undang-Undang sehingga komunitas tuli masih memperjuangkan kata tersebut untuk masuk di dalam Undang-Undang.

Panji pun berharap masyarakat bisa menghormati, mengakui, dan melindungi teman-teman disabilitas, termasuk juga teman tuli.

Baca juga: KSP tampung aspirasi penyetaraan hak penyandang disabilitas ganda

Baca juga: Isyarat Andhika untuk kesetaraan informasi di ASEAN Para Games


“Saat saya sudah jadi advokat, itu mungkin bisa jadi bahan untuk mengadvokasi pemerintah dan yang lain karena itu termasuk ke dalam hal teman-teman tuli juga untuk dalam penyebutannya,” kata Panji yang merupakan lulusan Fakultas Hukum itu.

Dia juga mengingatkan bahwa disabilitas tuli sebetulnya bervariasi. Beberapa teman tuli yang total menggunakan bahasa isyarat sebagai cara berkomunikasi. Beberapa yang lain ada pula tuli separuh, tuli yang menggunakan implan, serta tuli yang bisa berbicara secara verbal.

Panji menjelaskan bahwa bahasa isyarat yang digunakan masyarakat tuli di Indonesia yaitu Bahasa Isyarat Indonesia (Bisindo). Bahasa isyarat ini, kata dia, dibuat dengan melibatkan komunitas tuli secara langsung dan berdasarkan riset.

Sementara itu, ada pula Sistem Isyarat Bahasa Indonesia (SIBI). Menurut Panji, perumusan SIBI tanpa melibatkan komunitas tuli dan hanya mengadaptasi dari Bahasa Isyarat Amerika (ASL) atau Bahasa Inggris Bertanda Tepat (SEE-II).

Ketika masyarakat umum hendak mempelajari bahasa isyarat, Panji mengatakan sebaiknya mempelajarinya secara langsung dengan komunitas tuli dan bukan dengan orang dengan pendengaran normal untuk menghindari kesalahpahaman.

“Kenapa, sih, kalau belajar harus belajar sama teman-teman tuli langsung? Karena termasuk ke dalam budaya tuli, dan bahasa ibunya dari teman tuli,” ujar Panji.

Dalam budaya tuli, Panji mengatakan jangan heran ketika komunitas tuli mengobrol saat makan karena mereka tidak menggunakan gerakan mulut dalam berbahasa isyarat. Dalam budaya tuli pula, Panji mengatakan, biasanya seseorang memiliki panggilan isyarat tertentu yang menjadi ciri khasnya.

Ketika memanggil teman tuli dalam jarak dekat, hendaknya tepuk bahunya terlebih dahulu. Apabila telah mengenal dekat dengan teman tuli, diperkenankan memanggil dengan isyarat cahaya dari ponsel ketika dalam jarak yang cukup jauh.

Apabila lawan bicara belum bisa menguasai bahasa isyarat, diperbolehkan berkomunikasi dengan menggunakan teks atau panggilan video untuk jarak jauh. Yang perlu diingat, ujar Panji, berkomunikasilah di tempat dengan penerangan yang cukup sebab teman tuli sangat kuat dengan visual dan membutuhkan visualisasi yang memadai.

Ketika dalam kondisi pertemuan besar, seperti rapat, komunitas tuli membutuhkan posisi yang memungkinkan mereka untuk berhadap-hadapan. Mengingat hal itu, penggunaan meja berbentuk ‘letter o’ atau ‘letter u’ lebih disarankan.*

Baca juga: Troy Kotsur jadi pria tuli pertama yang menang piala Oscar

Baca juga: Ahli: Imunisasi rubella rendah bisa naikkan risiko bayi lahir tuli

Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2022