Mataram (ANTARA News) - Pengamat hukum dan politik Universitas Mataram (Unram), H. Satriawan Sahak, menilai penghukuman 10 tahun penjara bagi Eurico Guterres, mantan Wakil Panglima Pejuang Pro Integrasi (PPI), sarat dengan kepentingan politik, tak murni persoalan hukum. "Eurico merupakan sasaran empuk dijadikan 'tumbal' guna menghadapi tudingan masyarakat internasional atas tuduhan pelanggaran HAM berat di Timor-Timur sebelum terpisah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)," katanya kepada ANTARA di Mataram, Jumat. Dari hasil pengamatan sebagaimana pemberitaan media massa selama ini, Eurico yang telah berjuang untuk mempertahankan martabat bangsa Indonesia dibumi bekas jajahan Portugis itu, kini telah dijadikan "tumbal". Penghukuman Mahkaman Agung melalui putusan 10 tahun penjara karena terbukti "ikut terlibat" dalam pelanggaran HAM berat di Timor Timur merupakan bukti dia dijadikan sebagai tumbal. Putusan yang menyatakan dia ikut telibat menunjukkan bahwa terpidana Eurico bukan seorang diri, masih ada pelaku lain tetapi mengapa pelaku-pelaku lain itu bebas, sementara dia harus dijebloskan ke LP Cipinang. Status "Wakil Panglima" PPI tidak seharusnya menanggung semua beban kesalahan orang lain, khususnya mereka yang bertanggungjawab atas keamanan di Timor Timur pada massa itu. Tanggung jawab keamanan pada saat itu, tentunya tidak berada pada ditangan kekuasaan seorang Eurico Guterres. "Eurico hanyalah orang sipil, tamatan STM yang terpanggil dan didaulat masyarakat menjadi Wakil Panglima Pejuang Pro-Integrasi guna menghadapi tekanan kelompok pro kemerdekaan yang didukung dunia internasional saat itu," katanya. Dijelaskan, munculnya sosok Eurico sebagai orang Wakil Panglima PPI tidak terlepas dari kebijakan mantan Presiden BJ Habibie yang memberikan opsi "reperendum" kepada masyarakat Timor Timur pada tanggal 27 Januari 1999. Kebijakan reperendum (Jajak pendapat) menyadarkan anak-anak pejuang integrasi "bangkit" melawan tekanan kelompok-kelompok pro kemerdekaan, yang mulai merajalela menguasai kota-kota di Timor Timur, bahkan telah menyusup dalam pemerintahan dengan terbentuknya pemerintahan bayangan pro kemerdekaan. Situasi mencekam yang menyebabkan putra-putri pejuang integrasi "tiarap", secara tiba-tiba tersentak bangkit saat mendengarkan pengumuman kebijakan Presiden Habibie atas opsi reperendum. Kelompok pro kemerdekaan yang sempat merajalela tidak berani menghadapi bangkitnya putra putri pejuang integrasi, karena di 13 kabupaten se-Timor Timur terbentuk kelompok perjuangan, yang kemudian oleh pers barat disebut kelompok "milisi". Gebrakan "milisi" Besi Merah Putih (BMP) di Kabupaten Liquisa menarik dan menjadi sorotan pers barat, karena mereka mampu meredam aktivitas kelompok pro kemerdekaan yang telah merajalela menguasai Kota Liquisa. Terbentuknya milisi BMP di Kabupaten Liquisa tersebut diikuti oleh putra putri pejuang integrasi di kabupaten lainnya, termasuk kelompok Aitarak di Kabupaten Dili dibawah komando Eurico Guterres. Selanjutnya dilakukan apel besar di Kecamatan Atabae, Kabupaten Bobonaro -- yang menjadi basis pejuang-pejuang integrasi -- dan mendaulat serta mengukuhkan mantan Bupati Bobonaro, Tavares sebagai Panglima dan Eurico Guterres sebagai Wakil Panglima PPI. Perjuangan putra-putri pejuang integrasi mengalami tekanan psikologis karena kedatangan misi internasional UNAMET melaksanakan jajak pendapat, karena memberi peluang kelompok pro kemerdekaan bangkit. "Hal itu telah memicu rentannya kemungkinan konflik antara dua kelompok pro integrasi dan pro kemerdekaan, jadi situasi yang dihadapi Eurico Guterres bersama dengan anak buahnya berat karena tetap konsisten mempertahankan martabat bangsa Indonesia serta membela bendera Merah Putih," katanya. Kekeliruan besar Mengenai tudingan Eurico Guteres harus mempertanggungjawabkan peristiwa bentrokan yang terjadi di kediaman Manuel Carrascalao, kakak kandung mantan Gubernur Timor Timur, Satriawan menyatakan aparat keamanan setempat yang seharusnya lebih bertanggungjawab. "Suatu kekeliruan besar bila peristiwa tersebut dibebankan sepenuhnya kepada Eurico yang kemudian menjadi dasar menyeretnya menjadi terpidana dengan hukuman 10 tahun penjara," tambahnya. Pemerintah Indonesia harus mewaspadai kemungkinan "strategi" pihak asing yang campur tangan dalam penghukuman Eurico Guteres sebagai orang yang ikut bertanggungjawab atas pelanggaran HAM berat di Timor Timur sekarang Timor Leste. Menurut dia, ada kemungkinan pihak-pihak asing dengan dihukumnya Eurico selama 10 tahun, akan menimbulkan rasa kekecewaan, sehingga mereka (Eurico Cs) akan "bernyanyi" guna mengungkap kejadian yang sebenarnya di Timor Timur. Sebab indikasi ke arah itu sudah terlihat dari "bujuk rayu" yang dilakukan berbagai pihak agar Eurico kembali ke Timor Timur, bahkan dia harus rela berpisah dengan anak istrinya, yang dibawa paksa ke Dili. "Tekanan bathin yang dihadapi Eurico Guteres dalam perjuangannya membela martabat bangsa Indonesia cukup berat, dan dia masih harus merelakan dirinya di penjara, meskipun mengalami siksaan bathin," demikian Satriawan Sahak. (*)

Copyright © ANTARA 2006