Laut ini ladang bagi Suku Bajo, mereka menjaga dan mengolah ladang ini, ... supaya ikan-ikan tetap ada hingga anak cucu mereka
Jakarta (ANTARA) - "Inilah penembak jitu!"

Taha berteriak lantang sambil mengangkat senjatanya. Dia bertelanjang dada, duduk di atas sampan kecilnya yang mengapung di perairan pesisir Pulau Wangi-Wangi Kabupaten Wakatobi.

Ditaruhnya senapan kayu hasil rakitannya di atas sampan, diambilnya dayung kayu, kedua telapak tangan Taha yang dilapisi sarung tangan berwarna hitam mengayuh dayung dengan penuh tenaga. Taha berteriak sekali lagi, "Ayoooo!". Lantas, sampan kecil Taha meluncur, melibas gelombang laut bersama angin yang mengarah ke daratan.

Namun arah Taha berlawanan. Tujuan Taha adalah tubir laut. Di sana terdapat tebing karang, perbedaan kedalaman dari laut dangkal menuju laut dalam. Di sanalah pekarangan terumbu karang, tempat berbagai macam ikan berenang-renang. Berbagai jenis dan beragam ukuran.

Yang dicari oleh Taha hanyalah ikan besar, boleh jadi kerapu, tongkol, gurita, baronang, atau bahkan tuna yang berukuran setengah badan Taha.

Ikan-ikan besar itu adalah buruannya, dan Taha adalah sang pemburu yang mengendap-endap di antara terumbu karang, menyelam dan berenang sangat perlahan agar tidak ketahuan ikan. Taha biasa berburu menuju kedalaman hingga 20 meter untuk mencari ikan, atau sekadar berjalan perlahan di atas pasir putih yang menjadi dasar lautan dangkal.

Taharudin nama lengkapnya. Dialah seorang dari sejumlah nelayan dengan keahlian menangkap ikan di bawah laut menggunakan tongkat kayu dan anak panah, keahlian yang melegenda dari Suku Bajo.

Suku Bajo adalah Manusia Laut, dilahirkan di atas laut dan sampai mati pun jenazahnya dibawa menggunakan perahu menyeberangi laut untuk dimakamkan di satu pulau khusus pemakaman.

Anak-anak Suku Bajo sudah pandai berenang dan tumbuh besar tanpa melewati hari untuk berenang di laut. Anak laki-laki Taha setiap senja selalu melompat dari dermaga menuju laut, berenang bersama kawan-kawannya.

Tumbuh besar di laut membuat manusia Bajo memiliki kemampuan tersendiri hasil tubuh yang beradaptasi. Para nelayan pemanah di Suku Bajo bisa tahan berada di bawah laut hingga 13 menit tanpa bantuan alat pernapasan untuk mencari ikan.

Peralatan yang dibawa oleh Taha untuk berburu ikan adalah kacamata bawah laut tradisional yang terbuat dari kayu, sepatu katak kreasi sendiri untuk melindungi telapak dari tajamnya karang, dan tentu saja "senapan laras panjang" andalannya yang terbuat dari kayu, besi tajam nan panjang sebagai anak panah, dan karet untuk melontarkan panah.

Taha biasa berangkat mencari ikan di pagi hari, saat air laut surut, dan pulang saat air laut mulai naik. Tidak ada waktu yang pasti untuk jam kerja Taha, hanya mengikuti kehendak laut kapan akan surut dan kapan akan pasang.

Waktu mencari ikan itu ditentukan karena air laut cenderung tenang saat surut dan mulai berarus saat pasang yang tentu saja membuat sulit berenang di kedalaman.

"Tadi saya tembak ikan sebesar ini," Taha menunjukkan ukuran dari ujung jari tangannya hingga bahu, setengah depa. "Terlepas, dia," lanjut Taha kecewa.

"Ikan ini tadi ada ratusan, berputar-putar, saya asal tembak saja, dapat," kata Taha menunjuk salah satu ikan tangkapannya, tuna berukuran separuh lengan.

Taha pilah-pilih ikan saat sudah di dalam laut. Dia hanya mau menembak ikan besar. Ikan berukuran jumbo itu pula yang jadi alasannya memilih mencari nafkah dengan memanah ikan di bawah laut ketimbang memancingnya dengan senar dan umpan dari atas perahu.

"Kalau memancing saya dapat ikan kecil, ikan besar, kalau menyelam saya bisa pilih yang besar-besar. Begitu katanya," kata istri Taha, Cindy, mencontohkan ucapan suaminya.
 
Ikan hasil tangkapan Taha berupa ikan pari totol biru, ikan kerapu, dan ikan bidadari berpita enam. ANTARA/Aditya Ramadhan


Taha melaut setiap hari. Biasanya, Taha pulang membawa lima hingga tujuh ekor ikan besar-besar. Jika sedang beruntung dia bisa menangkap tuna seberat 50 kilogram dengan cara memanahnya di dalam laut.

Dari hasil tangkapan itu, sebagian ikan diolah oleh Cindy untuk makan malam dan esok hari. Kemudian sisanya dibawa ke pasar ikan oleh Taha untuk dijual.

Cindy bercerita, rata-rata setiap hari Taha bisa menghasilkan Rp300 ribu dari hasil penjualan ikan. Jika sedang mendapat tangkapan besar, Taha bisa membawa pulang lebih dari Rp500 ribu.

"Kalau ada ikan kecil di depan kamu, tembak saja, mungkin itu memang rezekimu," kata Cindy mengisahkan kembali ucapannya kepada Taha. Akan tetapi, Taha berkeras hanya ingin menangkap ikan yang besar-besar.


Ekonomi biru

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan mencanangkan lima program prioritas berbasis ekonomi biru dengan konsep keberlanjutan. Lima program prioritas tersebut, antara lain, memperluas wilayah konservasi hingga 30 persen perairan Indonesia, penangkapan ikan terukur, budidaya ikan yang ramah lingkungan, penataan ruang laut untuk perlindungan ekosistem pesisir dan laut, serta Bulan Cinta Laut (BCL).

Sesungguhnya program ekonomi biru yang berdasar pada keberlanjutan sumber daya alam laut sudah diterapkan oleh Suku Bajo sejak dulu kala.

"Laut ini adalah ladang bagi Suku Bajo, mereka menjaga dan mengolah ladang ini, otomatis mau yang berkelanjutan, supaya ikan-ikan tetap ada hingga anak cucu mereka," kata Samran, Ketua Koperasi Produsen Nelayan Samata Padakkau, koperasi nelayan di Desa Mola Raya Kecamatan Wangi-Wangi Selatan Wakatobi.

Nelayan Suku Bajo, khususnya yang memanah ikan, sangat bergantung hidupnya dari kelestarian terumbu karang. Karena hanya di gugusan terumbu karang yang masih sehatlah terdapat banyak ikan untuk ditangkap. Meski tidak dimungkiri terdapat jejak-jejak karang yang hancur berkeping-keping di perairan Wakatobi akibat bom untuk menangkap ikan secara massal.

Selain itu, teknik menangkap ikan dengan memanah hanya yang besar-besar juga merupakan upaya pelestarian sumber daya laut agar terus berkelanjutan. Meskipun nelayan dengan keahlian memanah hanya 10 persen dari total nelayan di Desa Mola Raya, sisanya hanya menangkap ikan dengan cara memancing.

Nelayan Suku Bajo memancing tuna dan cakalang satu per satu dengan teknik dan peralatan tradisional, yang tak kalah dengan peralatan dan teknik pancing modern seperti saat ini. Jika para pemancing modern memiliki umpan ikan palsu, nelayan Suku Bajo juga membuat ikan palsu yang terbuat dari kayu.

Umpan ikan kayu itu dibuat "hidup" dengan gerakan berenang dan melompat lewat senar yang terhubung dengan layang-layang yang diterbangkan. Teknik memancing dengan layang-layang ini juga masih digunakan oleh nelayan tuna modern.
 
Peralatan Taha untuk menangkap ikan dan gurita, berupa panah dari kayu panjang, umpan gurita, dan gurita tiruan hasil kreasi sendiri. ANTARA/Aditya Ramadhan


GPS (global positioning system/sistem navigasi) Suku Bajo adalah keahliannya dalam membaca arah mata angin dengan melihat peta langit, yaitu berbagai rasi bintang. Pengetahuan Suku Bajo terhadap beragam jenis ikan juga tidak bisa diremehkan.

Bahkan gurita yang sangat pintar pun dapat dikelabui oleh berbagai umpan buatan berupa gurita tiruan atau kerlap-kerlip cahaya yang terdapat pada umpan buatan. Semua umpan dan peralatan itu dibuat secara mandiri oleh nelayan Suku Bajo, termasuk Taha.

Taha membuat semua peralatan melaut di rumahnya yang terbuat dari konstruksi gabungan dari material tembok bata dan kayu. Ruangan kamar tidur rumah Taha berlantaikan ubin, sementara area dapur dan ruang makan rumah Taha masih beralaskan tanah.

Rumah Taha berdiri di atas tanah reklamasi, yang dulunya adalah wilayah pesisir laut dangkal di Pulau Wangi-Wangi. Tak seperti Suku Bajo di Pulau Kaledupa (akronim Ka, dari Wakatobi) yang masih mendirikan rumah dengan material kayu dan ditancapkan di bawah laut, Suku Bajo di Pulau Wangi-Wangi (akronim Wa dari Wakatobi) hampir seluruhnya tidur di atas daratan.

Meskipun rumah tinggal Suku Bajo tak lagi seperti leluhurnya dulu, jati diri "manusia laut" masih melekat pada setiap warganya. Samran mengatakan 99 persen mata pencaharian masyarakat Desa Mola Raya adalah nelayan. Bahkan, nelayan khusus seperti Taha yang memanah di bawah laut pun kini kian bertambah.
 
Waktu petang di salah satu dermaga Desa Mola Raya Kecamatan Wangi-Wangi Selata Wakatobi, tempat bersandarnya perahu para nelayan Desa Mola. ANTARA/Aditya Ramadhan


Di rumahnya, pada waktu petang usai pulang melaut, Taha menggigil dengan koyo yang menempel di kedua pelipis dan kain sarung melingkari tubuhnya.

"Kepala saya nyut-nyutan sekali," katanya. Namun, Taha masih mau menerima tamu dan memperlihatkan berbagai peralatannya melaut sembari menjelaskan fungsinya satu per satu.

"Asam lambungnya kambuh. Sudah bertahun-tahun seperti itu. Saya rebuskan daun binahong," kata istri Taha. Cindy juga kerap mengantar suaminya ke puskesmas apabila asam lambung Taha sudah tak tertahankan. Syukur, Taha sekeluarga telah menjadi peserta BPJS Kesehatan sehingga pengobatannya masih dijamin.

Cindy sangat berharap suaminya terus sehat walafiat, karena hanya Taha lah satu-satunya pencari nafkah untuk menghidupi dirinya bersama dengan kelima anak mereka. Meskipun Taha tidak bersekolah, lebih-lebih Taha tidak bisa membaca, keahliannya menyelam dan memanah ikan di dalam laut yang menghidupi anak istrinya.

"Pak Taha ini memang punya mag. Dia kalau melaut tidak suka membawa bekal," jelas Samran.

Dari sakit pada perut dan kepala yang sedang diderita Taha pada malam itu, tak menghentikan keinginannya untuk berbagi kepada para tamunya.

"Ikan ini bawa saja sudah, bawa. Untuk dibakar, makan malam, bawa," kata Taha menawarkan hasil tangkapan secara cuma-cuma kepada tamunya.



Editor: Achmad Zaenal M

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2022