Industrialisasi perlu didorong untuk mendukung formasi ekonomi pascapandemi COVID-19 menuju Indonesia Emas 2045
Jakarta (ANTARA) - Indonesia telah berada dalam jebakan negara berpenghasilan menengah atau middle income trap selama 29 tahun, tepatnya sejak tahun 1993 hingga saat ini.

Rupanya untuk keluar dari jebakan tersebut memang bukanlah hal mudah. Berdasarkan pengalaman negara lain, pertumbuhan ekonomi yang tinggi menjadi syarat utama untuk keluar dari fase middle income trap.

Singapura, misalnya, membutuhkan waktu 20 tahun dengan pertumbuhan rata-rata 8,3 persen sebelum menyandang status negara berpendapatan tinggi. Hong Kong, Jepang, dan Korea Selatan pun masing-masing membutuhkan waktu 19 tahun, 19 tahun, dan 18 tahun, serta rata-rata pertumbuhan 8,2 persen, 5,5 persen, dan 8,9 persen.

Berdasarkan hitungan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Indonesia membutuhkan pertumbuhan ekonomi setidaknya 6 persen per tahun untuk keluar dari jebakan kelas menengah dan mencapai status negara berpendapatan tinggi sebelum tahun 2045.

Target pertumbuhan tersebut tentunya bukanlah hal yang mudah mengingat perekonomian Tanah Air cenderung stagnan bertumbuh di level 5 persen selama ini, sehingga dibutuhkan transformasi ekonomi.

Bahkan di tengah jalan, pandemi COVID-19 memutuskan harapan transformasi ekonomi lantaran pertumbuhan ekonomi Indonesia sempat terkontraksi sebesar 2,07 persen pada 2020 dan hanya tumbuh 3,69 persen di tahun 2021.

Dengan adanya pandemi, transformasi ekonomi pun didesain ulang untuk mencapai trajectory atau lintasan pertumbuhan yang lebih tinggi pascapandemi COVID-19.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan dalam melakukan akselerasi transformasi pascapandemi, sektor industri perlu didorong sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pengalaman negara lain pun menunjukkan bahwa industri memegang peranan penting untuk mendorong peningkatan produk domestik bruto (PDB) per kapita.

"Terutama kepada yang berdampak langsung terhadap peningkatan nilai tambah, penyerapan tenaga kerja, transfer teknologi, serta peningkatan kesejahteraan. Industrialisasi perlu didorong untuk mendukung formasi ekonomi pascapandemi COVID-19 menuju Indonesia Emas 2045," ujar Airlangga dalam acara Puncak Indonesia Development Forum 2022 beberapa waktu lalu.

Visi Indonesia Emas tahun 2045 memiliki empat pilar, yaitu pembangunan manusia serta penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, pembangunan ekonomi berkelanjutan, pemerataan pembangunan, serta pemantapan ketahanan nasional dan tata kelola kepemerintahan.

Maka dari itu untuk dapat mewujudkan visi tersebut, transformasi ekonomi melalui industrialisasi sudah seharusnya dilakukan melalui paradigma baru, mengingat Indonesia mengalami deindustrialisasi dini yang mana kontribusi industri terhadap PDB terus menurun ke bawah level 20 persen yang menjadi batas wajar, yakni tepatnya 18,3 persen pada triwulan III 2022.

Deindustrialisasi dini juga terlihat dari tenaga kerja sektor pertanian yang kian beralih ke sektor jasa, bukan ke sektor manufaktur.

Dengan terjadinya deindustrialisasi dini, Menteri PPN/Bappenas Suharso Monoarfa menegaskan industrialisasi paradigma baru harus diterapkan. Paradigma baru tersebut yakni dengan meningkatkan kompleksitas ekonomi dan keterkaitan antara produk, meningkatkan akumulasi pengetahuan produktif yang didukung oleh riset dan inovasi, serta adaptif terhadap permintaan pasar dan tren baru ke depan.

Tren yang dimaksud adalah industri yang mengikuti perubahan gaya hidup (berkelanjutan, cerdas, dan berfungsi). Dalam jangka menegah dan panjang, terdapat beberapa tren global, yaitu perubahan sistem kesehatan, akselerasi otomatisasi dan digitalisasi, peningkatan peran artificial inteligence (AI) dan mahadata atau big data, peningkatan tren telework, perubahan rantai nilai global, serta pemulihan hijau.

Selain itu, terdapat tren perubahan konsumen seperti semakin beragamnya permintaan disesuaikan dengan skala interaksi, peningkatan komitmen penggunaan produk dalam negeri, layanan tanpa sentuhan untuk kemudahan akses dan bertransaksi, ekosistem bekerja dan mobilitas yang sehat dan aman, inovasi berkelanjutan, serta peningkatan kesadaran akan produk-produk yang mendukung keberlanjutan lingkungan hidup.

Sikap adaptif juga harus dilakukan dengan industri yang menerapkan ekonomi sirkular sebagai era baru industri keberlanjutan.

Selanjutnya, tren baru ke depan yang harus disesuaikan dalam paradigma baru adalah industri yang memenuhi perubahan gaya hidup sehat, khususnya makanan dan minuman. Apalagi, mengingat Indonesia termasuk negara yang sangat tidak hemat dalam makanan karena 30 persen makanan di negeri ini tidak dihabiskan dan menjadi sampah.

Industri dalam paradigma baru juga harus mengantisipasi twin transition (transisi digital dan transisi hijau), serta antisipasi terhadap revolusi industri 5.0 dan 6.0.

Penerapan ekonomi hijau, ekonomi biru, dan ekonomi sirkular bisa mendorong industri untuk menangkap peluang ekonomi yang lebih besar, sekaligus berkontribusi pada keberlanjutan penyediaan bahan baku yang berbasis sumber daya alam.

Sementara kemajuan teknologi dan percepatan transformasi digital, termasuk penerapan industri 4.0, menjadi kunci dalam mengupayakan efisiensi dan produktivitas industri dan sumber daya manusia industri yang lebih tinggi.

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengungkapkan terdapat tujuh pilar paradigma industri baru dari Kementerian Perindustrian, yakni pertama adalah digitalisasi dalam pembaruan yang akan melibatkan industri kecil dan menengah sebagai partisipan atau penerima manfaat.

Kedua, pembaruan energi melalui sumber daya energi baru. Ketiga, hilirisasi dengan memaksimalkan sumber daya alam untuk menaikkan nilai tambah industri nasional.

Kemudian yang keempat, yakni industri hijau dengan memperbanyak pabrik-pabrik yang mengimplementasikan energi baru terbarukan (EBT), serta kelima yaitu memperkuat rantai pasok nasional termasuk memperkuat pendalaman industri nasional dan ekosistem.

Pilar keenam adalah memperluas jaringan industri di luar Jawa, yang saat ini sudah hampir 90 persen berada di luar Pulau Jawa, untuk pemerataan ekonomi dan pilar ketujuh berkaitan dengan kesiapan sumber daya manusia (SDM).


Dukungan

Dalam menerapkan paradigma baru industrialisasi, pemerintah tentunya tak bisa berjalan sendiri dan memerlukan dukungan dari berbagai pihak termasuk industri, lembaga, maupun asosiasi.

Saat ini sudah banyak industri di Indonesia yang menerapkan ekonomi sirkular demi mencapai keberlanjutan, salah satunya PT Pan Brothers Tbk, sebuah industri garmen di dalam negeri.

Industri itu berhasil mendaur ulang limbah kain menjadi barang yang berguna seperti karpet, aksesori rumah tangga, jaket, hingga seragam karyawan, dengan proses daur ulang fisik murni dan tanpa proses kimia.

Dari proses tersebut, setidaknya terdapat beberapa keuntungan, seperti tidak adanya proses pencelupan sehingga bisa menghemat air, pasokan sisa bahan yang berkelanjutan, dan tidak adanya proses kimia.

General Manager Business Development and Investor Relationship Pan Brothers Satrio Boediarto menekankan perusahaannya telah membentuk sebuah grup besar terkait Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) yang berpusat di sekitar 10 poin SDGs dan mengedepankan konsep triple bottom line, yakni people, planet, profit.

Kendati begitu tak hanya cara kerja perusahaan yang didorong pada ekonomi sirkular, namun lingkungan dan sosial perusahaan turut mendukung keberlanjutan, seperti adanya panel surya di perkantoran, hingga berbagai program air bersih.

Dukungan keberlanjutan tak hanya datang dari industri. Lembaga nirlaba tekstil berkelanjutan, Rantai Tekstil Lestari (RTL), berkomitmen pada tahun 2030, sebanyak 1/5 atau 20 persen serat yang dibuat anggotanya harus mengandung unsur keberlanjutan sehingga dapat membantu pencapaian Pemerintah dalam ekonomi berkelanjutan.

Namun, Ketua Umum RTL Basrie Kamba berharap pemerintah bisa membuat peta jalan terkait pengembangan tekstil berkelanjutan.

Ketua Umum Asosiasi Produsen Synthetic Fibre Indonesia (APSyFI) Redma Gita pun menegaskan arah perkembangan industri tekstil dan pakaian tekstil (TPT) ke depannya akan berfokus pada tiga poin penting, yakni lingkungan, fungsional, dan digitalisasi.

Lingkungan yang dimaksud terdiri atas industri hijau, produk hijau, emisi nol bersih, meminimalisasi bahan berbahaya dan beracun (B3), meminimalisasi sumber daya, dan lainnya. Sementara, fungsional adalah dari sisi medis, keamanan, geotekstil, otomotif, luar angkasa, dan sebagainya.

Adapun untuk digitalisasi, yakni industri 4.0, Enterprise Resource Planning (ERP) System serta konektivitas antarmesin.


Baca juga: Presiden Jokowi: Smelter baru PT Timah tunjukkan keseriusan hilirisasi


Editor: Achmad Zaenal M


 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2022