Jakarta (ANTARA News) - Indonesia memiliki hubungan non-politis yang baik dengan Taiwan, namun tidak akan pernah terjebak ke dalam "permainan" Taiwan yang bisa saja berupaya menjadikan hubungan ekonominya dengan banyak negara untuk mencapai keuntungan politik, kata seorang pejabat Deplu RI. "Kami harus mengakui bahwa Taiwan terus mengembangkan hubungan ekonomi yang penuh semangat dengan banyak negara, termasuk Indoensia. Betul, kami punya hubungan perdagangan, investasi dan ketenagakerjaan yang substansial dengan Taiwan," kata Dirjen Urusan Asia Pasifik dan Afrika Deplu, Primo Alui Joelianto, di Jakarta, Selasa. Namun, Indonesia tetap melihat semua itu sebatas hubungan "non politis" dan China pun mempunyai kerja sama perdagangan dan investasi yang besar dengan Taiwan. Karena itu , Indonesia melihat "tidak ada yang salah" dengan hubungan non politis dengan Taiwan tersebut, katanya. Hanya saja, dalam semangat kemitraan strategisnya dengan RRC, Indonesia yang tetap memegang prinsip "Prinsip Satu Cina" menganggap perlu adanya garis-garis besar (pedoman) yang jelas bagi kedua negara terkait dengan hubungan non politis dengan Taiwan. Pedoman itu penting untuk menghindari kemungkinan munculnya salah persepsi dan kesalahpahaman antara Jakarta dan Beijing, katanya di depan peserta seminar tentang hubungan RI-RRC di aula Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Jakarta. Primo selanjutnya menekankan Indonesia tidak akan pernah terjebak ke dalam permainan Taiwan untuk mencapai keuntungan politiknya. "Kami tidak akan pernah (mau) ditarik ke dalam permainan itu, bukan karena kami dibawah tekanan melainkan karena memegang prinsip yang kami yakini," katanya. Dalam bagian lain penjelasannya, Primo menyinggung tentang kemajuan yang dahulu termasuk dalam sensitifitas politis di Indonesia, seperti pemakaian bahasa Tionghoa di masyarakat, pengakuan atas hari-hari libur Tiongkok dan manifestasi dari budaya Tiongkok lainnya di Indonesia. Soal Myanmar Terkait dengan hubungan China yang dekat dengan Myanmar, Indonesia pun sangat memahami hal itu. Sebagai salah satu pendiri Perhimpunan Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) dan sahabat sejati Myanmar, Indonesia harus mendorong terlaksananya reformasi demokratis di negara itu, katanya. Reformasi demokratis di Myanmar tersebut sangat penting untuk menjaga dan mempertahankan kredibilitas ASEAN sebagai organisasi regional, katanya. Mengenai hubungan ekonomi kedua negara, dalam seminar yang juga dihadiri Duta Besar RRC untuk Indonesia, Lan Lijun, itu Primo mengatakan, nilai perdagangan kedua negara mengalami kenaikan sejak Jakarta dan Beijing memulai kembali hubungan diplomatik pada tahun 1990 yang sempat terputus pasca peristiwa G30S/PKI. Nilai volume perdagangan bilateral naik menjadi 16,79 milar dolar AS tahun 2005 dari yang hanya satu miliar dolar AS pada tahun 1990. Hubungan dua negara yang semakin dekat itu juga dapat dilihat dari kunjungan Kepala Negara RI beberapa periode lalu seperti Megawati Soekarnoputri dan Abdurrahman Wahid serta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wapres Jusuf Kalla ke Negeri Bambu itu beberapa waktu lalu. Sebaliknya, PM China Wen Jia Bao dan Presiden Hu Jin Tao juga mengunjungi Jakarta untuk menghadiri KTT Tsunami pada Januari 2005 dan KTT Asia Afrika pada April 2005, katanya. Namun, Indonesia mengharapkan kedua negara dapat meningkatkan nilai perdagangan bilateralnya menjadi 30 miliar dolar pada tahun 2010. Sementara itu, Dubes RRC untuk Indoneisa Lan Lijun juga menyoroti prospek hubungan kedua negara di berbagai bidang. Hubungan ekonomi dan perdagangan kedua negara akan semakin pesat ketika Kesepakatan Perdagangan Bebas (FTA) ASEAN-RRC diberlakukan tahun 2010, katanya. Sejak lima tahun terakhir, pengusaha China telah menanamkan modalnya di Indonesia, terutama di sektor perminyakan dengan nilai investasi dua miliar dolar, kata Dubes Lijun. Di masa mendatang, nilai investasi langsung China di Indonesia akan semakin meningkat seiring dengan semakin banyaknya pengusaha negaranya yang melihat Indonesia sebagai tujuan investasi yang potensial, katanya. Selain semakin menguatnya hubungan ekonomi kedua negara, kerja sama antar masyarakat terutama bidang pendidikan, olahraga dan budaya, juga semakin membaik, katanya. "Dengan budaya olahraga dan pendidikan, kedua negara dapat meningkatkan komunikasi dan persahabatan. Kedua bangsa harus kerjasama dengan lebih baik," kata Lan Li Jun. Seminar yang dipandu Direktur Eksekutif CSIS Hadi Soesastro itu antara lain menghadirkan Ketua Departemen Hubungan Internasional CSIS, Edy Prasetyono dan Shen Shishun (pakar dari China Institute of International Studies, Beijing) sebagai pembicara. Tampak hadir di antara undangan antara lain mantan Menlu Ali Alatas, sejumlah diplomat China dan pengusaha dari dua negara. (*)

Copyright © ANTARA 2006