Jakarta (ANTARA News) - Komisi X DPR RI meminta pemerintah mengkaji ulang pelaksanaan ujian nasional (UN) karena belum mencerminkan keadilan bagi peserta didik, dan faktanya masih ada perbedaan standar mutu pendidikan antara satu daerah dengan daerah lainnya. "Perlu menjadi pertimbangan bahwa hingga kini belum ada pemerataan standar mutu di seluruh Indonesia, sehingga pelaksanaan UN mencerminkan sikap ketidakadilan," kata Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Masduki Baidlowi dalam Rapat Kerja Komisi X DPR dengan Mendiknas Bambang Sudibyo di Jakarta yang berlangsung hingga Selasa malam. Ia mengatakan, ujian nasional (UN) harus didahului pemerataan standar, baik di kota-kota besar maupun di daerah, dan daerah terpencil, sehingga peserta UN itu memiliki bekal yang sama dalam menghadapi ujian tersebut. "Bayangkan, saja ada lulusan SD di Papua yang belum bisa membaca, harus disamakan dengan Jakarta. Sejauh ini DPR belum pernah menganggarkan soal biaya UN pada 2006. Biaya yang disebut-sebut dalam penyelenggaraan UN itu merupakan kreativitas Depdiknas dari dana-dana evaluasi dan Komisi X DPR sejak awal tidak menyetujui penyelenggaraan UN," katanya. Ia mengatakan, kalau di luar negeri, seperti negara-negara yang lebih baik sektor pendidikannya memberlakukan UN. Namun, di luar negeri berbeda dengan di Indonesia. Sebab, baik di Malaysia maupun negara-negara luar lainnya itu memiliki standar mutu yang sama di setiap wilayahnya. Di Indonesia terjadi kesenjangan sangat mencolok di bidang mutu pendidikan. Sementara itu, anggota Komisi X DPR lainnya, Cyprianus Aoer dari Fraksi PDI Perjuangan mengatakan, fraksinya menolak penyelenggaraan Ujian Nasional (UN) sehingga tidak perlu diadakan lagi. "Fraksi PDI Perjuangan menilai ujian nasional bertentangan dengan prinsip pedagogi sebab berdasarkan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), maka guru yang mengetahui kompetensi siswa. Karena itu, penilaian akhir kelulusan siswa ditentukan oleh pendidik dengan mempertimbangkan tiga unsur, yaitu efektif, psikomotorik, dan kognitif," katanya. Tidak mungkin faktor kelulusan seorang siswa ditentukan oleh hanya tiga mata pelajaran dan diuji dalam waktu satu sampai dua jam saja, tambahnya. Ia lebih lanjut mengatakan, Ujian Nasional bertentangan dengan Pasal 58 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyebutkan bahwa : "Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik/guru". Dalam konteks ujian nasional ini, tampaknya penilaian guru terhadap proses kelulusan anak didik sama sekali tidak diperhitungkan. "Beberapa ketentuan baru semakin memberatkan peserta didik seperti tidak akan ada ujian ulangan yang tentu saja menimbulkan dampak negatif tersendiri, belum pelaksanaan UN sudah terjadi pungutan-pungutan yang membebankan masyarakat," katanya. Menanggapi kritik anggota Komisi X DPR, Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo menegaskan, penyelenggaraan ujian nasional (UN) masih perlu dilakukan untuk menciptakan kerja keras di kalangan peserta didik "Pentingnya Ujian Nasional untuk menciptakan kultur kerja keras, tidak lembek di kalangan peserta didik," kata Bambang Sudibyo. Mendiknas mengakui pihaknya telah menangkap sinyal-sinyal keresahan di kalangan siswa dan orang tua murid terkait dengan pelaksanaan UN. Namun, reaksi itu dinilainya wajar. Ibarat akan bertanding, wajar saja timbul kegelisahan. Mendiknas mengatakan, dengan adanya ujian nasional diharapkan peserta didik menjadi berani menghadapi berbagai tantangan dalam kehidupannya. "Apalagi, ke depan ini anggaran pendidikan akan mencapai Rp85 Triliun, rinciannya Rp17 Triliun ke Departemen Agama dan Rp68 Triliun untuk Depdiknas. Anggaran tersebut nantinya akan lebih banyak jatuh ke kalangan siswa, guru, kepala sekolah, dan tenaga pendidikan lainnya," katanya.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2006