Jakarta (ANTARA) - Di akhir tahun 1970-an, Prof Sayogyo di depan mahasiswa Jurusan Penyuluhan Pertanian, Departemen Ilmu Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian IPB, sempat menjelaskan pandangan terkait dengan pentingnya pemahaman yang mendalam tentang Perubahan Sosial.

Pekan selanjutnya Prof Sayogyo menjelaskan lebih rinci soal hubungan antara perubahan sosial dengan gambaran kaum tani di perdesaan.

Begitu menariknya mata kuliah Perubahan Sosial, membuat para mahasiswa yang mengikutinya, merasakan betapa cepatnya waktu berjalan. Perjalanan waktu satu semester sungguh tidak terasa.

Pria yang dijuluki “Bapak Kemiskinan" Indonesia ini pun menutup kuliah dengan meminta para mahasiswa untuk terus mengamati dan mencermati perubahan sosial yang terjadi di tanah air ini.

Fenomena perubahan sosial dalam masyarakat yang sedang giat-giatnya menyelenggarakan pembangunan, cenderung akan dihadapkan kepada dua perubahan yang cukup mendasar.

Pertama bertalian dengan perubahan sistem nilai yang selama ini tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat dan kedua berhubungan dengan perubahan struktur kelembagaan yang mengokohkan sistem nilai tersebut.

Dalam kehidupan kaum tani di perdesaan terasa sekali perubahan itu sedang berlangsung. Banyak contoh yang dapat diungkapkan. Salah satunya adalah munculnya keengganan kaum muda perdesaan untuk berkiprah dan berprofesi menjadi petani padi.

Mereka lebih memilih untuk bekerja di kota-kota besar, dengan penghasilan yang tidak menentu, ketimbang harus turun ke sawah bercocok tanam padi.

Fenomena seperti ini, tentu bukan hanya terjadi di negara ini. Pada tahun 1960-an, Negara Matahari Terbit pun mengalami hal yang tidak jauh berbeda dengan fenomena yang terjadi di Indonesia.

Para pemuda Jepang lebih tertarik untuk meninggalkan profesi petani dalam menyambut masa depan kehidupannya. Mereka tidak terpanggil untuk jadi petani, karena bekerja di kantoran, dianggap lebih keren dan bergengsi.

Penghasilan tidak lagi menjadi ukuran. Biarpun gaji kecil asalkan mereka bekerja di gedung menjulang tinggi, lengkap dengan Air Condition, memakai stelan jas dan dasi, rupanya lebih diminati mereka dari pada bekerja di sawah sebagai petani, sekalipun penghasilan menjadi petani, lebih tinggi ketimbang bekerja di kantoran. Kaum muda Jepang saat itu memilih gengsi dibandingkan dengan penghasilan yang diperolehnya.

Perubahan tata nilai dan kehidupan masyarakat perdesaan semacam ini, tentu saja menuntut kepada perubahan paradigma dari kebijakan Penyuluhan Pertanian yang selama ini dilaksanakan di Indonesia.


Penyuluh Pertanian

Para Penyuluh Pertanian di lapangan, perlu menggali dengan cermat faktor-faktor apa saja yang menjadi penyebab utama terjadinya perubahan tersebut. Penyuluh Pertanian harus cerdas dalam melahirkan solusi atas perubahan yang sedang berlangsung.

Satu perubahan besar yang kini tengah berjalan dalam kehidupan kaum tani adalah adanya keinginan para petani untuk dapat meningkatkan kualitas kehidupannya atas usaha tani yang digarapnya.

Petani padi mengharapkan agar kerja keras dan jerih payah mereka selama ini dibayar oleh negara dengan terjadinya peningkatan kesejahteraan yang lebih nyata lagi. Petani ingin agar produksi yang dihasilkannya diatur dengan tingkat harga yang layak.

Petani berharap agar kebijakan Penyuluhan Pertanian tidak melulu mengarah ke upaya peningkatan produksi setinggi-tingginya, namun produksi yang meningkat itu dapat dijual dengan harga yang lebih memberi keuntungan kepada petani.

Petani sudah bosan menyaksikan tingkah polah bandar atau tengkulak yang senantiasa mempermainkan harga jual di tingkat petani ketika panen raya padi tiba.

Itu sebabnya, Program Penyuluhan Pertanian penting diberi muatan terkait dengan sistem pemasaran dan penanganan pascapanen.

Petani jangan lagi dipersepsikan sebagai produsen yang dituntut untuk berproduksi terus-menerus, namun juga petani penting diarahkan menjadi pengusaha. Ke depan Indonesia membutuhkan kehadiran petani pengusaha dan tidak lagi hanya melahirkan petani subsisten.

Inilah salah satu esensi dari babak baru Penyuluhan Pertanian. Selain diminta untuk tetap mendidik kaum tani untuk terus menggenjot produksi dengan penerapan inovasi dan teknologi baru di bidang budidaya tanaman, para Penyuluh Pertanian pun ditantang untuk dapat mengajarkan para petani hal-hal yang berurusan dengan sistem pemasaran dan harga yang menguntungkan bagi petani.

Penyuluh Pertanian penting membawa petani ke dunia bisnis pergabahan dan perberasan, sehingga produksi padi yang dihasilkannya selama ini, betul-betul memiliki nilai ekonomi yang dapat mendongkrak kesejahteraan kehidupannya.

Di sinilah peran negara sangat dibutuhkan, terutama dalam menetapkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang adil dan berbasis kesejahteraan petani.

Pengalaman selama 3 tahun berturut-turut HPP tidak dinaikkan, sebaiknya tidak perlu terulang. HPP perlu ditinjau ulang setiap enam bulan sekali, sebelum setiap tahun dinaikkan.

Terlebih ada perhitungan yang tidak terelakkan termasuk dampak kenaikan inflasi, melemahnya daya beli petani karena adanya sergapan COVID-19. Maka agar kesejahteraan petani padi tidak jalan ditempat, HPP gabah dan beras yang selama 3 tahun tidak berubah saatnya untuk dikoreksi lebih tinggi.

Catatan kritisnya adalah berapa angka HPP yang paling pantas untuk ditetapkan agar dapat memberi rasa adil kepada para petani. Jawaban inilah yang sepatutnya dicermati secara sungguh-sungguh.

Dan kembali lagi, Penyuluhan Pertanian adalah sebuah proses pembelajaran, pemberdayaan dan pemartabatan yang diberikan kepada petani dan keluarganya agar kesejahteraan hidupnya menjadi semakin baik.

Perjalanan selama ini, langkah menyejahterakan petani ini jangan pernah menemui kata lambat. Oleh karena itu, kebijakan Penyuluhan Pertanian perlu segera direvitalisasi agar dalam waktu yang secepat mungkin, petani sejahtera dan bahagia dapat dijelmakan dalam kehidupan sehari-hari di tanah air.


*) Entang Sastraatmadja; Ketua DPD HKTI Jawa Barat.

 

Copyright © ANTARA 2023