Jakarta (ANTARA) - Ginjal, organ dalam tubuh dengan panjang 10 – 11 sentimeter dan lebar tiga sentimeter itu memiliki sejumlah fungsi, mulai dari menyaring dan membersihkan darah, memproduksi urine untuk mengatur keseimbangan cairan dalam tubuh, hingga membantu membuang sampah metabolisme berupa racun yang dapat mengganggu fungsi sel tubuh.

Organ yang dikatakan berbentuk seperti kacang merah ini berada di belakang rongga perut dan sejajar di tulang belakang. Masalah yang terjadi pada ginjal, sehingga merusak jaringan, dapat mengganggu fungsi utamanya.

Pakar bidang ginjal-hipertensi yang tergabung dalam Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia Prof Dr dr Endang Susalit, Sp.PD, KGEH mengatakan masalah yang dapat terjadi pada ginjal, salah satunya penyakit ginjal kronik, yakni gangguan pada fungsi atau struktur ginjal terjadi menahun dan minimal terjadi terjadi tiga bulan.

Pada awalnya, pasien dengan penyakit ginjal kronik tak merasakan keluhan apapun, karena nefron atau unit fungsionil ginjal, tersisa akan mengompensasinya. Biasanya, setelah fungsi ginjal kurang dari 25 persen barulah timbul gejala, seperti kaki membengkak, sesak napas karena kelebihan air akibat cairan dalam tubuh tidak bisa dipertahankan keseimbangannya.

Selain itu, bertumpuknya racun di dalam tubuh akan menimbulkan keracunan dan biasanya ditandai dengan gejala mual, muntah dan pasien tidak mau makan.

Untuk mengukur seberapa efisien ginjal bekerja, seseorang sebenarnya bisa menjalani tes fungsi ginjal, yakni melibatkan tes darah, sampel urine 24 jam atau keduanya.

Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC) menyatakan, dokter kemungkinan akan merekomendasikan orang dengan diabetes untuk melakukan satu atau lebih tes ginjal, karena mereka berisiko lebih tinggi untuk terkena penyakit ginjal kronis.

Selain diabetes, penyebab lain yang bisa mengakibatkan sakit ginjal kronik terbanyak, yakni hipertensi yang tak terkontrol, radang di ginjal, batu ginjal serta obat-obatan tertentu. Pada kasus yang jarang terjadi, kista juga dapat menjadi penyebab penyakit ginjal kronik.

Penyakit ginjal kronik saat ini menjadi masalah kesehatan masyarakat di seluruh Indonesia dengan angka prevalensi sekitar 10 persen pada orang dewasa. Perjalanan penyakit yang tak disadari pasien, sehingga tak diobati dengan baik, ditambah penyakit lain yang mendasarinya, menyebabkan fungsi ginjal perlahan semakin rusak.

Apabila fungsi sudah turun hingga di bawah lima persen akan berakhir dengan gagal ginjal yang menyebabkan penurunan kualitas hidup pasien.

Merujuk Riset Kesehatan Dasar (Riskedas) 2018, tercatat gagal ginjal masih menjadi masalah serius dengan tingkat kejadian gagal ginjal kronik meningkat dari 0,2 persen pada 2013 menjadi 0,38 persen pada tahun 2018.

Data Indonesian Renal Registry (IRR) tahun 2018 menunjukkan terdapat 65.947 pasien baru yang membutuhkan cuci darah, 92 persen di antaranya, termasuk dalam kategori penyakit ginjal tahap akhir.

Kondisi pada umumnya memerlukan pengobatan pengganti ginjal, yaitu dialisis atau transplantasi ginjal. Endang menuturkan, ketimbang dialisis, transplantasi ginjal merupakan terapi gagal ginjal paling ideal karena bisa mengatasi permasalahan akibat penurunan fungsi ginjal, tidak seperti dialisis yang hanya dapat mengatasi sebagian masalah.

Prosedur transplantasi, atau lebih dikenal istilah cangkok merupakan tindakan pemindahan sebagian atau seluruh jaringan atau organ, baik dari suatu bagian tubuh makhluk hidup ke bagian tubuh lain dalam satu individu maupun dari satu individu (donor) ke individu lain (resipien). Jaringan atau organ yang dipindahkan tersebut nantinya akan berfungsi menggantikan jaringan atau organ asal yang telah rusak atau tidak berfungsi.

Dia menyebutkan, pasien dialisis akibat diabetes yang dinyatakan memiliki harapan hidup delapan tahun, namun jika dilakukan transplantasi ginjal, pada kelompok umur yang sama, harapan hidupnya meningkat menjadi 25 tahun.

Hal senada diungkapkan dokter spesialis urologi yang tergabung dalam Komite Transplantasi Nasional (KTN) Prof Dr dr Akmal Taher, Sp.U (K). Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu merujuk penelitian mengemukakan bahwa transplantasi merupakan terapi terbaik bagi pasien gagal ginjal.

Proses transplantasi pun, sambung dia, cukup kompleks, melibatkan berbagai disiplin ilmu dan bukan hanya faktor etika medik yang harus benar, tetapi juga faktor masyarakat yang harus dididik dengan benar.

Inilah yang juga disoroti dokter spesialis bedah urologi konsultan di RSCM Dr. dr. Nur Rasyid, SpU (K). Dia mengatakan, tingkat kemampuan membaca masyarakat yang kurang baik, sehingga hanya berbekal informasi dari internet tergiur melakukan transplantasi ginjal, tanpa prosedur yang seharusnya.

Beberapa waktu lalu, misalnya, dua remaja di Makassar menculik dan membunuh anak berusia 10 tahun agar bisa menjual ginjal korban. Namun, usai membunuh, mereka urung menjual ginjal korban karena tak mengetahui letak ginjal dan kehilangan kontak dengan orang yang mau bertransaksi organ.

Prosedur persiapan transplantasi yang mulus memerlukan kerja sama yang baik antara koordinator transplan, tim advokasi rumah sakit (melaksanakan tugas KTN) yang baik, dokter spesialis nefrologi yang memastikan tingkat kecocokan organ donor dan resipien, dokter spesialis radiologi yang dapat menampilkan pembuluh darah donor dan resipien dengan baik, serta seluruh tim dokter spesialis yang memastikan toleransi operasi pasien cukup untuk melaksanakan transplantasi.

Pada prosedur transplantasi ginjal, ada dua operasi yang dilakukan dan memerlukan donor serta resipien. Syarat menjadi donor, salah satunya memiliki golongan darah sama dengan penerima. Namun, dengan pengembangan keilmuan sebenarnya golongan darah berbeda pun bisa ditransplankan dengan menambah biaya untuk menghilangkan antibodinya. Selain biaya, risiko penolakan juga lebih besar.

“Menyumbangkan ginjal agar bisa dipakai hanya bisa satu, cocok dulu. Enggak bisa kita tiba-tiba dapat ginjal dipakai. Kalau ditolak, yang dapat pun jadi meninggal, tadinya hidup. Tidak akan ada rumah sakit yang menerima ginjal tak jelas untuk dipakai,” kata Rasyid yang juga menekankan prosedur transplantasi harus dikerjakan oleh ahlinya di rumah sakit.

Transplantasi ginjal sudah dilakukan di Indonesia sejak tahun 1977, namun baru berkembang pesat pada tahun 2011 dan sampai saat ini telah dilakukan lebih dari 1.200 kasus.

Tindakan ini pun mengalami berbagai kemajuan dalam bidang medis dan bedah. Awalnya, prosedur dilakukan dengan memasukkan alat laparaskopi melalui rongga perut (peritoneum dimana terdapat usus dan organ-organ lain), kemudian membuka ruangan belakang tempat ginjal berada.

Menurut Rasyid, sejak 2018 dikembangkan teknik baru, laparaskopi langsung ke lokasi ginjal (retroperitoneal), hal ini membutuhkan keterampilan yang lebih baik dari operator, namun memberikan keuntungan, yaitu komplikasi yang lebih rendah bagi pendonor.

Penyakit ginjal kronik yang awalnya tak bergejala dan tak diobati dapat berujung gagal ginjal. Saat ini, transplantasi ginjal masih dikatakan sebagai terapi terbaik untuk menanganinya. Namun, prosedur ini hanya bisa dilakukan oleh ahlinya di rumah sakit.

 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023