... pembelajaran Pancasila perlu menggunakan teknologi kekinian.
Jakarta (ANTARA) - Lama tak terdengar kabarnya di media, Menteri Luar Negeri RI periode 2001 hingga 2009 Dr. Hassan Wirajuda ternyata disibukkan dengan karier barunya sebagai pendidik.

“Sekarang saya pulang kampung ke Tangerang,” seloroh pria kelahiran Tangerang, 9 Juli 1948 tersebut.

Setelah malang melintang di dunia diplomasi dan politik, kini ia disibukkan dengan kegiatannya sebagai Dekan Sekolah Hukum dan Studi Internasional (SHSI) Universitas Prasetiya Mulya.

Sebenarnya banyak kampus  yang menawarinya sebagai pengajar. Sebut saja Universitas Oxford, Inggris, yang menawarkannya sebagai pengajar dengan fasilitas yang mumpuni. Akan tetapi, dengan halus ia menolaknya.

Hati nuraninya tak terima jika ia harus mendidik anak-anak dari negara lain, padahal anak-anak Indonesia juga masih membutuhkan tenaga dirinya.

“Lebih baik mengajar anak sendiri,” katanya kembali berseloroh kalau dirinya bereinkarnasi menjadi seorang pendidik.

Pendidikan memang dunianya selain sebagai diplomat. Selama mengabdi di Kementerian Luar Negeri, dia telah menjelajahi enam kampus ternama dunia, sebut saja Universitas Indonesia, Universitas Harvard, Universitas Virginia , hingga Universitas Tufts. Maka tak heran, jika dia menyebut mengajar adalah sebagai DNA-nya.

Sejak tahun lalu, Hassan mendirikan Pusat Studi Kebangsaan Indonesia (PSKI) Universitas Prasetiya Mulya. Lembaga baru tersebut bertujuan untuk menguatkan wawasan dan kebangsaan mahasiswa.

“Bagaimanapun cerdasnya seorang mahasiswa, dia harus punya jati diri dan semangat kebangsaan,” imbuh dia.

Dia melihat masyarakat agak “alergi” berbicara mengenai Pancasila, setelah tumbangnya rezim Orde Baru dengan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4)-nya. Hal itu karena pada masa itu, P4 untuk menguatkan kedudukan dan kekuasaan. Program P4 sendiri dilakukan secara masif dari desa hingga kota serta diberikan kekuasaan yang besar oleh penguasa saat itu.

“Akibatnya meninggalkan trauma bagi masyarakat, orang agak alergi berbicara Pancasila,” tutur Hassan.

Oleh karena itu, perlu dilakukan penataan kembali pendidikan kebangsaan di Tanah Air. Baik dari segi muatan maupun metodologinya. Pendidikan Pancasila tidak lagi menggunakan cara-cara lama seperti indoktrinasi atau satu arah, monolog.

Berdasarkan hasil survei yang diselenggarakan oleh PSKI bekerja sama dengan Badan Litbang Kompas, diketahui bahwa kaum muda yang merupakan Generasi Z peduli dengan Pancasila.

Survei tersebut melibatkan 1.600 responden mahasiswa di Tanah Air tentang persepsi mereka terhadap Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara Indonesia.

Secara keseluruhan, kaum milenial peduli terhadap pengembangan wawasan kebangsaan. Generasi muda memahami bahwa Pancasila dan belajar baik dari ruang kelas (28,6 persen) tetapi juga dari media sosial (21,7 persen).

Kemudian, generasi muda melihat pentingnya Pancasila sebagai satu-satunya ideologi negara (93,8 persen), dan tidak setuju jika diganti dengan ideologi lain (86,1 persen), bersedia ikut wajib militer jika negara memerlukan (59,5 persen perempuan dan 68 persen laki-laki) tetapi juga ada sekelompok kecil (5,2 persen) yang berpendapat Pancasila dapat diganti dengan ideologi lain.
 

Metode baru pembelajaran Pancasila

Hasil survei tersebut juga menunjukkan perlu adanya sistem pembelajaran Pancasila yang lebih interaktif, bukan indoktrinasi dan menilai penting tugas praktik ke masyarakat (98,9 persen). Tugas praktik-praktik seperti pengembangan dan pengabdian masyarakat.

Menariknya, sebanyak 95,4 persen mahasiswa berpendapat bahwa pengembangan seni dan budaya daerah akan memperkuat semangat kebangsaan.

“Kami juga akan melakukan pengadaan alat-alat musik tradisional seperti angklung dan seperangkat gamelan Jawa, dan merekrut tenaga pelatih seni dan budaya lulusan institut seni dan budaya dalam pembelajaran Pancasila,” jelas dia lagi.

Upaya itu dilakukan untuk memperkuat pengembangan kelompok-kelompok seni dan budaya yang sudah ada seperti kelompok tarian daerah, paduan suara dan grup musik.

Tak hanya itu, dia juga melihat pembelajaran Pancasila perlu menggunakan teknologi kekinian. Bahkan dia melihat perlu generasi muda diajak pada suasana sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) perumusan Pancasila melalui teknologi metaverse atau metamesta. Bahkan agar makin menjiwai, alat itu perlu dipasang di Gedung Pancasila, Jakarta.

Hassan juga meminta generasi muda jangan berpuas diri atas apa yang dimiliki sekarang di tengah tantangan yang terus meningkat, tetapi perlu melakukan fundamental re-setting terhadap agenda pendidikan kebangsaan ke arah pengembangan kurikulum dan metodologi pendidikan kebangsaan yang tepat bagi kaum milenial dan Gen Z. Juga kelengkapan bahan ajar dan peningkatan kemampuan para pengajarnya.

Cara-cara indoktrinasi dinilainya sudah usang sehingga perlu dicari metode baru dengan memanfaatkan teknologi digital seperti metaverse dalam penyampaian bahan ajar kebangsaan.

Pelajaran sejarah Nusantara dan sejarah pergerakan kemerdekaan, dan konsensus fundamental para pendiri bangsa tentang fondasi NKRI, termasuk Pancasila dan UUD 1945, dan pendidikan lapangan seperti tugas praktik masyarakat serta mahasiswa mengajar,  merupakan elemen-elemen penting dalam pengembangan wawasan kebangsaan.

Mahasiswa juga berkewajiban mengikuti perkembangan dunia seperti pergeseran geopolitik dunia, perubahan iklim, serta transformasi digital yang berkembang pesat di Indonesia dan di dunia, termasuk dampak negatifnya yang dapat menjadi ancaman yang ada bagi keberlangsungan negara-bangsa (nation-state) Indonesia.

Direktur Riset PSKI Prasetiya Mulya, Agus Sriyono, menyatakan pembelajaran terbaik bagi mahasiswa dijalankan dengan cara menghindari indoktrinasi.

Mahasiswa perlu diperkenalkan dengan sejarah berdirinya negara-bangsa Indonesia sejak Kebangkitan Nasional 1908, Sumpah Pemuda 1928, sampai Kemerdekaan 1945 dan disahkannya UUD 1945. Termasuk kesepakatan para pendiri bangsa tentang rumusan Pancasila sebagaimana terdapat dalam Pembukaan UUD 1945.

Akan tetapi sifat pengajaran tidak satu arah, sebaliknya para mahasiswa diwajibkan aktif membuat kampanye digital dan film pendek yang dibuat per kelompok terkait masing-masing sila Pancasila.

“Misalnya tentang sila pertama dan sila ketiga Pancasila, temanya toleransi antar-umat beragama. Kemudian sila kedua dan kelima tentang bantuan kemanusiaan korban bencana alam, sila keempat, diskusi kelompok secara bermusyawarah guna mencari solusi terhadap perbedaan tentang UU Cipta Kerja,” terang Dubes Indonesia untuk Takhta Suci Vatikan periode 2016-2020 itu.

Konsep dan pemikiran tersebut merupakan sumbangsih Hassan Wirajuda guna ikut memperkokoh ideologi bangsa terutama bagi anak muda.



Editor: Achmad Zaenal M
 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023