Jakarta, (ANTARA News) - Kalangan pengusaha menolak rencana pemerintah untuk menerapkan pajak lingkungan sebesar 0,5 persen dari nilai omzet bagi perusahaan manufaktur yang memiliki omzet di atas Rp300 juta. "Itu tidak tepat karena sebenarnya kita ingin menurunkan ekonomi biaya tinggi sekarang malah membuat undang-undang yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi," kata Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Hariadi Sukamdani, di Jakarta, Kamis (11/5). Kadin mengkritik dasar keputusan pemerintah untuk menerapkan pajak lingkungan yang masuk ke dalam pendapatan daerah. "Ini dasarnya apa? Kalau untuk kepentingan fiskal jangan beri nama lingkungan, kalau untuk lingkungan kan sudah jelas ada undang-undang lingkungan hidup yang ada sanksinya jelas," katanya. Menurut dia, penerapan pajak lingkungan itu mengabaikan perusahaan-perusahaan yang yang mengikuti kerentutan perlindungan lingkungan hidup seperti AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) yang telah diatur dalam UU Lingkungan Hidup dan ketentuan teknis lainnya. "Perlindungan lingkungan hidup, semestinya dilakukan dengan menerapkan ketentuan tersebut dengan benar, tidak dengan mengenalkan jenis pungutan baru,"katanya. Pengusaha mengharapkan pemerintah tidak menyederhanakan persoalan dengan mengenalkan jenis pajak baru yang kontraproduktif, namun diharapkan mencari alternatif lain misalnya dengan menjajaki kemungkinan perimbangan keuangan pemerintah pusat yang lebih adil bagi daerah. Sekjen Asosiasi Produsen Synthetic Fiber Indonesia (Apsyfi), Kus Projolalito mengatakan penerapan pajak tersebut akan sangat memberatkan pengusaha. "Keuntungan pengusaha itu, paling cuma dua persen dari omset kalau diambil lagi 0,5 persen untuk pajak lingkungan akan memberatkan," katanya. Para pengusaha juga meragukan penggunaan pajak lingkungan tersebut serta pengawasan atas penerapannya. Dalam RUU Pajak daerah dan retribusi daerah, pemerintah menambah dua obyek pajak baru untuk dikenakan pajak daerah, yakni pajak sarang burung walet dan pajak lingkungan. Untuk pajak sarang burung walet, obyek dikenai pajak maksimal 10 persen yang dihitung berdasarkan nilai jual dan untuk pajak lingkungan maksimal setengah persen dari nilai produksi yang diukur dari harga pokok produksi. Obyek pajak lingkungan adalah produksi yang dihasilkan melalui proses mengubah bentuk atau sifat suatu baranag dari bentuk aslinya menjadi barang baru atau kegiatan mengolah sumber daya alam yang memberikan beban pada lingkungan, kecuali produksi jasa, produksi dengan nilai di bawah Rp300 juta per tahun, produksi yang sudah menjadi obyek pajak hotel dan restoran serta kegiatan produksi lain yang ditetapkan oleh Perda. Di dalam penjelasan RUU tersebut, pemerintah hanya menetapkan pajak maksimal, sedangkan besarannya tergantung daerah serta ditetapkan melalui Perda. (*)

Copyright © ANTARA 2006