Pemanfaatan energi bersih di Mangkunegaran  sejatinya merupakan keberlanjutan sejarah.
Jakarta (ANTARA) - Sepanjang Desember 2022, Pura Mangkunegaran di Kota Surakarta, Jawa Tengah, berturut-turut menjadi pusat perhatian publik. Momen pertama ketika menjadi lokasi penyelenggaraan resepsi pernikahan Kaesang Pangarep, putra bungsu Presiden Joko Widodo.

Kedua, saat Pura Mangkunegaran menjadi cagar budaya pertama yang memakai Renewable Energy Certificate (REC, sertifikat energi terbarukan) dari PLN. Langkah ini diakui pengelolanya sebagai komitmen mendukung Pemerintah dalam transisi energi menuju masa depan Bumi yang lebih hijau.

Pemimpin Pura Mangkunegaran, Mangkunegara X, menjelaskan langkah Pura Mangkunegaran menerapkan REC memang sebagai bentuk komitmen mendorong penggunaan energi bersih secara masif.

Mangkunegara X (MN X) juga berpendapat, sebagai pusat kebudayaan, pihaknya ingin berkontribusi dalam keberlanjutan lingkungan. Sebagai warisan cagar budaya, Pura Mangkunegaran tidak hanya berfokus pada pelestarian kebudayaan tetapi juga pelestarian lingkungan.

Melalui penggunaan energi bersih sebagai sumber energi listrik, Istana Mangkunegaran berharap bisa turut berkontribusi dalam pengurangan emisi karbon.

Listrik dan kebudayaan
Saat perhelatan pernikahan Kaesang Pangarep di Solo, khususnya pada sesi di Pura Mangkunegaran, Presiden Joko Widodo menjelaskan bahwa pesta pernikahan putranya itu sengaja dijadikan ruang untuk melestarikan budaya warisan leluhur.

Bagi awam, prosesi itu mungkin terkesan rumit dan agak melelahkan, namun publik tetap diberi kesempatan untuk menyaksikan acara tersebut dengan gembira, seperti pesta rakyat pada umumnya.

Setelah sukses menjadi tempat pelestarian budaya, kini Mangkunegaran tercatat juga sebagai cagar budaya yang melestarikan lingkungan,l sehingga pelestarian budaya dan pelestarian lingkungan bisa berjalan beriringan.

Energi listrik adalah katalis peradaban. Apa yang dilihat pada pesta pernikahan Kaesang  adalah juga karena dukungan energi listrik.

Pemanfaatan energi bersih di Mangkunegaran  sejatinya merupakan keberlanjutan sejarah. Sudah sejak abad yang lalu, sumber energi listrik bagi warga Solo sebagian sudah berasal dari sumber energi bersih dan berkelanjutan (renewable energy), yakni pembangkit listrik tenaga air (PLTA ), ketika sumber energi bersih dan berkelanjutan menjadi isu aktual global saat ini.

Ditilik dari sejarahnya, fasilitas kelistrikan di Solo tidak bisa dilepaskan dari peran dua tokoh terkemuka pada zamannya, yakni Pakubowono X (berkuasa 1896 – 1939) dan Mangkunegara VII (1916 – 1944). Saat keduanya masih bertakhta, periode itu bisa disebut masa keemasan wilayah kerajaan Solo.

Baik Pakubuwono X (PB X) maupun Mangkunegara VII adalah pemimpin visioner bagi kesejahteraan warganya. Kedua raja tersebut berkolaborasi mendirikan SEM (Solosche Electriciteit Maatschappij), perusahaan swasta penyedia jasa listrik bagi Kota Solo dan sekitarnya, sebagai perwujudan visi memajukan kesejahteraan rakyat.

Mangkunegara bisa dicatat sangat berani mengambil inisiatif untuk membangun pembangkit sendiri, ketika kebutuhan listrik dirasa semakin tinggi, sementara pasokan dari SEM terbatas.

Kemudian Mangkunegara VII membangun PLTA Kali Samin di Tawangmangu, yang secara teknis masuk kategori pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTM).

Kendati usia PLTA Tawangmangu tidak berumur panjang, setidaknya Mangkunegara telah mengintroduksi apa yang kemudian dikenal sebagai renewable energy atau energi terbarukan dan berkelanjutan.

PLTA masuk kategori renewable energy yang ramah lingkungan sehingga biasa disebut pula sebagai energi hijau. Pemanfaatan energi hijau sangat aktual pada hari ini, ketika pemerintah mendorong transisi energi, dengan cara meningkatkan komposisi pemakaian dari energi terbarukan, salah satunya dari PLTA.

Solo juga sudah mengembangkan energi hijau dengan cara mengolah sampah perkotaan, yang secara teknis dikenal sebagai PLTSa (pembangkit listrik tenaga sampah).

Dengan teknologi garda depan, sampah perkotaan yang selama hanya menumpuk, bisa diproses menjadi energi listrik.

PLTSa mengusung teknologi gasifikasi untuk mengolah sampah dan mengonversikannya menjadi tenaga listrik. Gasifikasi merupakan teknologi pengolahan sampah yang bersifat ramah lingkungan.

Pembangkitan tenaga listrik dilakukan dengan menggunakan mesin gas, yaitu mesin pembangkit tenaga listrik dari pemrosesan 545 ton sampah per harinya, dengan output sekitar 8 MW.

Sebagian tenaga listrik yang dihasilkan tersebut akan digunakan sendiri untuk mengoperasikan seluruh fasilitas PLTSa, sedangkan sisanya sebesar 5 MW akan dijual kepada PLN dan disalurkan melalui jaringan listrik distribusi PLN.

Katalis peradaban
Dibangunnya fasilitas listrik di Solo juga makin mempercantik kota ini, baik dari segi tampilan fisik maupun kemajuan peradaban warganya.

Solo sejak lama dikenal sebagai pusat kebudayaan adiluhung jawa, yang selalu memberi inspirasi bagi lahirnya sejumlah karya puisi, prosa, film, dan musik.

Dalam bidang musik misalnya, di Solo pula berdiri perusahaan rekaman milik negara, yang sangat legendaris, yakni Lokananta.

Keberadaan Lokananta bisa dianggap sebagai kelanjutan dari tradisi seni pertunjukan yang marak di Solo sejak awal abad 20, termasuk berdirinya sejumlah penerbit dan percetakan, yang semuanya tidak bisa dilepaskan dari keberadaan listrik.

Satu ikon yang tidak boleh dilupakan adalah kelompok wayang orang Sriwedari, yang namanya diambil dari taman hiburan tempat kelompok itu berpentas, yaitu Taman Sriwedari.

Tonggak penting lainnya adalah ketika Mangkunegara VII kembali membuat gebrakan dengan mendirikan stasiun radio SRV (Solosche Radio Vereneeging), pada 1 April 1933.

Studio SRV menempati salah satu ruangan di kompleks Mangkunegaran. Begitu berartinya SRV bagi literasi bangsa sehingga tanggal berdirinya SRV (1 April), ditetapkan sebagai Hari Penyiaran Nasional, berdasar Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 9 Tahun 2019.

Pada awal Januari 1937, Puteri Mangkunegara VII, yaitu Gusti Nurul, tampil menari di Istana Kerajaan Belanda (The Hague).

Tidak ada karawitan pengiring di ruangan tempatnya tampil, namun karawitan dimainkan para nayaga di Pura Mangkunegaran, ribuan kilometer dari The Hague, kemudian disiarkan secara live oleh SRV (Solosche Radio Vereneeging), agar suara gamelan bisa berkumandang di ruangan resepsi pesta pernikahan Puteri Juliana (kemudian hari menjadi Ratu Juliana), mengiringi gerakan halus Gusti Nurul.

Transmisi suara seperti ini, mirip-mirip dengan live streaming dalam platform komunikasi digital saat ini, dengan demikian bisa dikatakan, opsi teknik audio rintisan Mangkunegara VII adalah sebuah terobosan besar.

Apa yang terjadi terkait pentas Gusti Nurul    adalah salah satu jejak manfaat listrik di Solo, ketika fasilitas sangat mendukung perkembangan peradaban setempat, seperti dukungan teknologi bagi pementasan tersebut.

Listrik telah menjadi katalis peradaban di Solo sehingga tidak heran juga muncul tokoh besar dari Solo, salah satunya adalah pemikir besar Sujatmoko, yang rumahnya di Solo kini menjadi galeri dan ruang diskusi.

Ayah Sujatmoko, kebetulan juga figur utama di Solo, yaitu dokter Saleh Mangundiningrat. Saleh Mangundiningrat adalah dokter pribadi Sunan Pakubowono X, yang memiliki kepekaan sosial tinggi.

Ia menginisiasi klinik umum di kompleks keraton sehingga bisa diakses para abdi dalem (staf Istana), termasuk warga sekitar.

Nama lain adalah  Oen, seorang dokter yang berjiwa sosial tinggi. Bagi pasien yang tidak mampu dan rumahnya jauh, tidak perlu membayar, bahkan diberikan ongkos transpor untuk pulang.

Kedermawanan dokter Oen masih diingat publik sampai sekarang hingga namanya diabadikan sebagai nama sebuah rumah sakit (swasta) di Solo.

Dari semua yang telah dilakukan, bisa dipahami bahwa energi, terutama yang arif pada lingkungan, menjadi kunci untuk melestarikan cagar budaya.


Dr. Taufan Hunneman,  dosen UCIC, Cirebon.










Copyright © ANTARA 2023