Jakarta (ANTARA News) - Menyusul insiden pendaratan pesawat Presiden Taiwan, Chen Shui-Bian, yang berkepanjangan di Batam pada Kamis lalu (11/5), Pemerintah Indonesia akan mengawasi modus operandi Pemerintah Taiwan yang kerap memanfaatkan situasi. "Normalnya `refueling` (pengisian bahan bakar) adalah satu sampai dua jam. Pemerintah Taiwan selalu memanfaatkan hal-hal seperti itu. Jadi, ini suatu hal yang harus kita antisipasi dan waspadai," kata Duta Besar RI untuk China, Sudrajat, di Kantor Kepresidenan, Jakarta, Senin, usai bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kepada Presiden Yudhoyono, Sudrajat selain melaporkan hubungan ekonomi Indonesia-China, juga tentang reaksi Beijing terhadap insiden keberadaan pemimpin Taiwan, Chen Shui-Bian, di Batam. Sudrajat mengatakan, Pemerintah China bereaksi keras terhadap masalah Presiden Chen yang menghabiskan waktu di Batam lebih lama dari yang diizinkan pihak berwenang Indonesia. "Beijing memperhatikan ini sebagai sesuatu yang sangat disesalkan. Mereka sangat ingin semuanya tetap pada koridor-koridor yang telah disepakati," katanya. Namun, menurut Sudrajat, Beijing akhirnya dapat memahami penjelasan yang telah disampaikan Pemerintah Indonesia bahwa Indonesia tetap menganut "Kebijakan Satu China", yang artinya tidak mengakui Taiwan sebagai negara terpisah dari China. "Bahkan, pada saat ada pembekuan hubungan diplomatik, atau tidak ada hubungan diplomatik antara Indonesia dan China selama tahun 1966-1990 Rebpulik Indonesia tetap `firm` pada kebijakan `One China Policy,`" ujarnya. Mengenai insiden keberadaan Presiden Chen Shui-Bian di Batam, Sudrajat menjelaskan bahwa Departemen Perhubungan RI hanya mengizinkan pesawat Presiden Chen mendarat untuk keperluan pengisian bahan bakar, yang biasanya hanya memerlukan waktu satu hingga dua jam. Setelah itu, pesawat Chen diminta untuk segera meninggalkan Batam secepatnya pada Kamis sebelum jam 24.00 WIB setelah sebelumnya mendarat di Batam hari yang sama, pukul 14.00 WIB. Namun, rombongan Presiden Chen yang terdiri dari 140 anggota dan 30 kru pesawat itu akhirnya bermalam di Batam, dan baru keesokan paginya, yaitu Jumat (12/5) sekitar pukul 10.00 WIB pesawat China Airlines CI-1590 yang membawa rombongan Presiden Chen terbang meninggalkan Batam menuju Taiwan dengan alasan pilot harus cukup beristirahat. Sebelum berangkat kembali menuju Taiwan, Presiden Chen sempat mengunjungi pelabuhan di sekitar Batam dan disebut-sebut melakukan pertemuan dengan beberapa pejabat Indonesia, kendati pertemuan tersebut ditegaskan oleh Sudrajat, kalaupun terjadi, sifatnya sama sekali tidak resmi. Beijing, kata Sudrajat, memang sulit menerima situasi yang dimanfaatkan oleh Presiden Taiwan, namun alasan teknis yang di luar kekuasaan Pemerintah Indonesia akhirnya bisa diterima oleh Beijing. "Kita minta mereka segera terbang meninggalkan Batam, tapi karena pilot tidak mau terbang dengan alasan pilot dan kru tidak bisa terbang, karena lelah, ya kita tidak bisa mengusir mereka, tidak juga dengan kekuatan militer," katanya. Sebelumnya, Pemerintah Indonesia, baik melalui Departemen Luar Negeri maupun Kantor Menko Polhukkam pada Jumat (12/5) telah mengeluarkan pernyataan yang menyesalkan Presiden Taiwan Chen Shui-Bian tidak segera meninggalkan Batam, dan bahkan melakukan kegiatan di luar alasan teknis pendaratan, seperti yang diizinkan oleh Departemen Perhubungan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hari Jumat pagi melalui telepon juga telah memperingatkan Gubernur Propinsi Kepulauan Riau, Ismeth Abdullah, tentang kegiatan yang seharusnya tidak boleh dilakukan Presiden Taiwan Chen Shui-Bian saat pesawatnya mendarat di Batam, Kamis. (*)

Copyright © ANTARA 2006