Jakarta (ANTARA) - Deputi Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Pahala Nainggolan tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya saat mengetahui Indeks Persepsi Korupsi (IPK) atau "Corruption Perception Index" (CPI) Indonesia pada 2022 melorot 4 poin menjadi 34.

Hal tersebut ia ungkapkan saat rilis IPK Indonesia 2022 yang diselenggarakan oleh Transparency International Indonesia (TII) sebagai lembaga yang mengeluarkan indeks tersebut setiap tahunnya.

"Pertama, saya ditelepon kemarin kaget setengah mati saya, kok cuma 34? Tapi Mas Wawan terangkan tadi terindikasi ada 3 indeks yang memang terjun bebas," kata Pahala, saat peluncuran IPK Indonesia, di Jakarta, Selasa (31/1).

Wawan yang dimaksud adalah Deputi TII Wawan Suyatmiko, yang bertanggung jawab untuk menerangkan IPK Indonesia pada 2022, dengan mengacu pada 8 sumber data dan penilaian ahli untuk mengukur korupsi sektor publik di 180 negara dan teritori. Skor 0 berarti sangat korup dan 100 sangat bersih.

Bila pada 2021 skor IPK Indonesia adalah 38 dengan peringkat 96 berdasarkan 9 indikator, maka pada 2022, skor IPK Indonesia melorot menjadi 34 dengan peringkat 110 berdasarkan 8 indikator.

Skor ini merupakan penurunan paling drastis sejak 1995.

Dengan hasil tersebut, Indonesia hanya mampu menaikkan skor IPK sebanyak 2 poin dari skor 32 selama satu dekade terakhir sejak 2012.

Di ASEAN, Singapura menjadi negara yang dinilai paling tidak korup (skor 83), diikuti Malaysia (47), Timor Leste (42), Vietnam (42), Thailand (36), Indonesia (34), Filipina (33), Laos (31), Kamboja (24), Myanmar (23).

Sedangkan di tingkat global, Denmark menduduki peringkat pertama dengan IPK 90, diikuti dengan Finlandia dan Selandia Baru (87), Norwegia (84), Singapura dan Swedia (83) serta Swis (82). Sementara di posisi terendah ada Somalia dengan skor 12, Suriah dan Sudan Selatan (13), Venezuela (14).

IPK Indonesia sama dengan Bosnia Herzegovina, Gambia, Malawi, Nepal dan Sierra Leone. IPK Indonesia, bahkan lebih rendah dibanding dengan Kolombia (39), Lesotho (37), Kazakhstan (36) maupun Sri Langka (36).

Dalam indeks TII tampak negara dengan demokrasi yang baik rata-rata skor IPK 70, dibandingkan dengan negara yang cenderung otoriter, maka tingkat korupsinya rata-rata 26.

TII mencatat ada tiga data yang mendorong penurunan skor IPK Indonesia tersebut, yaitu "Political Risk Service" (PRS) International Country Risk Guide (korupsi dalam sistem politik, pembayaran khusus dan suap ekspor-impor dan hubungan mencurigakan antara politikus dan pebisnis) turun dari 48 menjadi 35, IMD World Competitiveness Yearbook" (suap dan korupsi dalam sistem politik) turun 5 poin dari 44 menjadi 39, serta indeks Political and Economic Risk Consultancy (PERC) Asia Risk Guide turun dari 32 menjadi 29.

Sementara tiga indeks yang stagnan adalah "Global Insight Country Risk Ratings" (risiko individu/perusahaan dalam menghadapi praktik korupsi dan suap untuk menjalankan bisnis) pada angka 47, "Bertelsmann Foundation Transformation Index" (pemberian hukuman pada pejabat publik yang menyalahgunakan kewenangan dan pemerintah mengendalikan korupsi) di skor 33 dan "Economist Intelligence Unit Country Ratings" (prosedur yang jelas dan akuntabilitas dana publik, penyalahgunaan pada sumber daya publik, profesionalisme aparatur sipil, audit independen) tetap di skor 37.

Selanjutnya ada dua indeks yang naik, yaitu "World Justice Project – Rule of Law Index" (pejabat di eksekutif, legislatif, yudikatif, kepolisian dan militer menggunakan kewenangannya untuk keuntungan pribadi) skornya naik 1 menjadi 24 dari 23, dan "Varieties of Democracy" (kedalaman korupsi politik, korupsi politik di eksekutif, legislatif dan yudikatif, korupsi di birokrasi, korupsi besar dan kecil yang mempengaruhi kebijakan publik) naik 2 poin menjadi 24 dari 22.

Sayangnya indeks yang naik 1-2 poin berpengaruh tidak besar bandingkan dengan Political Risk Service (PRS) yang turun 13 poin, sehingga turut menyumbang penurunan CPI dari 38 ke 34. Saat ini menjadi PR besar untuk pemerintah, pelaku usaha, masyarakat sipil, bagaimana menjaga PRS ini di angka yang maksimal.

Berdasarkan analisis TII, indikator ekonomi mengalami tantangan besar antara profesionalitas perusahaan dalam menerapkan sistem antikorupsi dengan kebijakan negara yang melonggarkan kemudahan berinvestasi. Indonesia dihadapkan pada pilihan apakah benar-benar mencari investor yang berasal dari negara dengan standar antikorupsi tinggi atau investor mana saja yang penting memberikan kontribusi pertumbuhan ekonomi.

Analisis kedua, dari sisi indikator politik, tidak terjadi perubahan signifikan karena korupsi politik masih marak ditemukan karena masih ditemukan jenis korupsi suap, gratifikasi, hingga konflik kepentinigan antara politisi, pejabat publik dan pelaku usaha masih lazim terjadi. Pelaku usaha yang datang ke Indonesia mengalami risiko kerugian materiil dan risiko politik saat berbisnis.

Analisis ketiga dari indikator penegakan hukum menunjukkan kebijakan antikorupsi terbukti belum efektif dalam mencegah dan memberantas korupsi karena masih ditemukannya praktik korupsi di lembaga penegakan hukum.


Tanggapan pemerintah

Menanggapi kemerosotan IPK tersebut, Presiden Jokowi mengatakan akan melakukan evaluasi.

"Itu akan menjadi evaluasi dan koreksi kita bersama," kata Presiden Jokowi, seusai mengunjungi Pasar Baturiti, Tabanan, Bali.

Menurut Pahala, IPK Indonesia hanya bisa meningkat bila ada terobosan dan kepemimpinan dalam mengerjakan terobosan pemberantasan korupsi.

Namun terobosan tersebut tidak mudah, apalagi di level nasional, karena perbaikan sistem melibatkan banyak kementerian, lembaga maupun pemerintah daerah.

Pahala mencontohkan dalam dua permasalahan utama yang dikeluhkan pengusaha, yaitu tata ruang dan perizinan. Memang betul pengurusan izin saat ini dapat dengan cepat dilakukan dengan digitalisasi, namun begitu pengusaha atau investor datang ke daerah untuk berusaha ternyata lahan atau ruang yang mendapat izin tumpang tindih kepemilikannya, sehingga cara yang paling cepat untuk mengatasi tumpang tindih tersebut adalah dengan menyuap.

Memang digitalisasi bukan obat untuk mengatasi korupsi, tapi hampir semua sektor butuh digitalisasi untuk mengurangi korupsi.

Terobosan lain adalah terkait konflik kepentingan, baik di tingkat pusat maupun daerah, dimana politisi juga merupakan pebisnis, sehingga kebijakan-kebijakan yang diambil bisa berdasarkan kepentingan perseorangan tertentu. Artinya butuh aturan maupun perbaikan sistem untuk mengatasi konflik kepentingan tersebut.

Tidak terkecuali adalah perbaikan partai politik, misalnya dengan menambah pendanaan ke parpol agar ada pertanggungjawaban keuangan kepada publik.

Selanjutnya, meski terobosan-terobosan dilakuan, bagi Pahala, butuh kepemimpinan yang kuat agar terobosan yang dibuat sesuai dengan target.

Harus ada komandannya, dan komandannya perlu dikasih target, kalau tidak tercapai harus digeser. Rasanya hanya itu, karena kita lihat di kelembagaan pemerintah, di birokrasi, pemda, pusat, sepertinya pemberantasan korupsi sudah tidak 'extraordinary' lagi.

Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden Yusuf Hakim Gumilang dalam acara yang sama mengatakan Presiden Jokowi sebenarnya sudah menginstruksikan agar tidak lengah dalam melakukan tata kelola pemerintah. Contoh hal yang sudah dilakukan pemerintah, adalah perbaikan sistem di pelabuhan dan digitalisasi pengadaan pemerintah melalui e-catalog.

Hanya saja, kita memang kadang tidak sadar gerakan antikorupsi berjalan di jalan yang sunyi.


Usulan perbaikan

Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri mengatakan dengan rendahnya indeks Political Risk Service (PRC), artinya investor yang datang ke Indoensia adalah investor dengan kualitas rendah karena memilih berinvestasi untuk proyek yang keuntungannya cepat, tidak perlu membangun infrastruktur dan dengan segera dapat keuar dari Indonesia.

Pengusaha tersebut berkelindan dengan penguasa untuk mengeluarkan undang-undang maupun fasilitas istimewa yang memberikan kemudahan-kemudahan bagi para pengusaha tersebut.

Kata Faisal, Indonesia yang selalu ada di 50 persen terbawah, menjadi kelompok negara paling korup. "Sebetulnya Indonesia ini jadi negara sub- Sahara Afrika tapi ada di Asia," katanya.

Sementara pengajar di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera Bivitri Susanti mengatakan banyaknya state capture corruption karena banyak kebijakan yang dibuat dengan benturan kepentingan dengan oligarki. Penurunan IPK Indonesia menunjukkan ada upaya untuk mencegah perbedaan pendapat di dalam negara.

Pemerintah harus fokus mengalisis akar masalahnya apa dan meminimalkan benturan kepentingan dalam hal pembentukan keputusan, bukan hanya di DPR, tapi juga pemerintahan. "Apakah capres dan caleg pernah membahas pemberantasan korupsi? Belum pernah ada dan seharusnya mereka membuat perjanjian apa yang mau dibuat untuk pemberantasan korupsi," ucap Bivitri.

Sementara Direktur Eksekutif Institute for Democracy and Strategic Affairs (Indostrategic) Ahmad Khoirul Umam mengatakan melorotnya IPK Indonesia menunjukkan ada masalah serius dalam demokrasi.

"Pertanyaannya kenapa meski IPK turun tapi tingkat kepuasan publik terhadap pemerintah masih cukup tinggi? Ada banyak variabel yang bisa menjelaskan tapi salah satunya adalah sering kesadaran soal antikorupsi terhenti pada tataran elit dan kelas menengah terdidik sedangkan masyarakat secara keseluruhan tidak memahami secara detail sehingga tidak 'match' dengan upaya pemberantasan korupsi," kata Umam.

Umam menyorot indeks PRS yang berkurang 13 poin menunjukkan adanya pembayaran ekstra dan suap terkait izin ekspor impor selanjutnya ada konflik kepentingan antara politisi dan pelaku usaha.

Meski pemerintah melakukan deregulasi maupun debirokratisasi, menurut Umum, para pengusaha yang mengikuti survei IPK tidak melihat perbaikan sistem dan kebijakan antikorupsi juga hanya gimik politik saja.

Dalam kesempatan berbeda, IM57+ Institute yang dibentuk oleh para mantan pegawai KPK, menyebut penurunan IPK Indonesia mencerminkan terpuruknya performa kinerja pemberantasan korupsi hampir di semua aspek.

"Hasil IPK yang membuat Indonesia bahkan berada dibawah negara yang belajar di Indonesia menjadi bukti penguat bahwa revisi UU KPK untuk memperkuat KPK hanya merupakan halusinasi belaka," kata Ketua IM57+ M Praswad Nugraha dalam rilis tertulis.

Apabila kondisi tersebut didiamkan maka akan berdampak signifikan pada sektor lainnya seperti perlindungan HAM, ekonomi, lingkungan dan lainnya.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menyebut penurunan IPK Indonesia karena beberapa faktor. Pertama, KPK yang selama ini gencar memberantas korupsi politik justru dilemahkan melalui perubahan UU KPK dan membiarkan figur-figur bermasalah memimpin lembaga antirasuah.

Faktor kedua, adanya sikap permisif terhadap kejahatan korupsi misalnya terkait komentar salah satu menteri yang menyebut tidak seharusnya KPK melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT). Ketiga, regulasi yang semakin mendegradasi upaya pemberantasan korupsi seperti KUHP, UU Pemasyarakatan, UU Cipta Kerja, UU Mahkamah Konstitusi (MK) dan UU Minerba.

"Jelang tahun politik, permasalahan mengenai praktik korupsi dan sikap koruptif sejumlah pihak juga tak kunjung dituntaskan oleh pemerintah. Misalnya, potensi maraknya politik uang mendekati masa kampanye dan pemungutan suara," ungkap Kurnia.


Obat ajaib

Sekretaris Jenderal TII Danang Widoyoko mengaku bahwa tidak ada obat ajaib untuk menyelesaikan masalah korupsi karena korupsi di Indonesia merupakan persoalan fundamental.

"Kalau ditanya obat ajaib pemberantasan korupsi apa, ya ini masalah fundamental, tapi bisa dengan memperkuat insitusi pengawasan kehakiman, MK, KPK, karena pemberantasan korupsi adalah upaya meminta pertanggungajawaban kekuasaan. Kalau lembaga yang meminta pertanggungajawaban tidak ada lagi ya korupsinya akan bebas dilakukan," kata Danang.

Dalam gim Playerunknown's Battlegrounds (PUBG) Mobile ada satu fitur curang (cheat) bernama "magic bullet". "Magic bullet" adalah "cheat" yang memungkinkan penggunanya memiliki peluru yang bergerak otomatis ke arah musuh.

Bila biasanya pemain harus membidik senjata ke arah musuh agar bisa menembak tepat sasaran --namun bidikan bisa saja meleset-- maka dengan "magic bullet", peluru seakan memiliki kesadaran untuk mengarahkan diri ke musuh.

"Cheat magic bullet" memungkinkan peluru pemain melesat otomatis ke arah musuh tanpa pemain harus mengarahkan bidikan ke titik tertentu. Pengguna cukup menembak secara asal ke berbagai arah lalu pelurunya akan mengarah otomatis ke musuh terdekat.

Memberantas korupsi tentu berbeda dengan bermain PUBG Mobile, namun pemain di dua aktivitas tersebut sama-sama mengharapkan obat ajaib sebagai upaya untuk bisa menembak tepat sasaran sebanyak mungkin. Sayangnya bila dalam PUBG Mobile "magic bullet" dianggap kecurangan, sedangkan dalam pemberantasan korupsi "magic bullet", yaitu institusi pengawasan dicurangi, hasil akhirnya tidak ada yang tepat sasaran.

 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023