Menggeneralisasi semua jurnal 'open access' buruk ..., sungguh tidak bijaksana.
Jakarta (ANTARA) - Para ilmuwan diaspora Indonesia ramai membincangkan kebijakan baru salah satu organisasi riset di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Organisasi riset tersebut tidak mengakui artikel yang terbit di tiga penerbit internasional: MDPI, Hindawi, dan Frontiers untuk penilaian hasil kerja minimal (HKM) para periset.

Upaya salah satu organisasi riset di BRIN untuk memastikan para perisetnya terbebas dari jeratan jurnal predator memang patut diapresiasi. Namun, tidak mengakui publikasi di tiga penerbit open access MDPI, Hindawi, dan Frontiers tanpa kajian mendalam jelas keputusan tergesa-gesa.

Pada era digital saat ini mudah saja bagi BRIN untuk meminta klarifikasi terkait keputusan sebuah universitas satelit Zhejiang Gongshang University di China yang memasukkan ketiga penerbit tersebut ke daftar hitam.

Semua juga mafhum bahwa penerbit memiliki banyak jurnal dengan tim editornya masing-masing. Lemahnya sistem seleksi di tim editor sebuah jurnal, belum tentu terjadi di jurnal lain meskipun penerbitnya sama.

Tahun ini, misalnya, kolega penulis melaporkan bahwa draf artikelnya ditolak oleh dua jurnal, yaitu Sustainability dan Agronomy. Keduanya di bawah penerbit MDPI. Kedua jurnal tersebut menolak artikel tersebut karena dianggap kurang relevan.

Padahal, kolega penulis itu sudah masyhur di Indonesia, artikelnya tembus di jurnal Q1 dan Q2. Artikel karya mahasiswa bimbingan penulis juga pernah ditolak oleh jurnal Frontiers in Plant Science. Sistem seleksi yang lemah di jurnal di bawah MDPI dan Frontiers jelas tidak terbukti seluruhnya.

BRIN juga menyebut alasan mencegah perisetnya menerbitkan di ketiga penerbit itu karena patokan bayaran yang tinggi bagi para penulisnya ketika karyanya hendak diterbitkan.

BRIN memang meminta perisetnya menghindari untuk membayar pada penerbit global. Alasan ini jelas menunjukkan bahwa pengambil kebijakan belum memahami sepenuhnya prinsip open access.

Pada era teknologi digital memang terjadi transformasi pengelolaan jurnal ilmiah. Pada masa lalu penerbit jurnal cetak membiayai operasional penerbitan dari langganan perpustakaan instansi penelitian, universitas, maupun pemerintahan.

Pembaca yang menjadi anggota perpustakaan saja yang dapat mengakses jurnal cetak tersebut.

Demikian pula pada masa-masa awal tren internet dengan jurnal digital. Perpustakaan di berbagai lembaga menjadi pelanggan jurnal digital dengan membayar mahal.

Pembaca individu yang bukan anggota perpustakaan juga dapat mengakses artikel dengan membayar sejumlah nilai melalui kartu kredit. Keterbatasan dana juga membuat sedikit universitas di Indonesia yang mampu membayar penuh langganan jurnal internasional.

Pola itu kemudian dianggap membatasi publik untuk membaca artikel ilmiah. Padahal, publik umum dan mahasiswa berhak untuk membaca hasil-hasil riset yang dihasilkan lembaga-lembaga riset di dunia.

Sebagian problem itu dijawab dengan munculnya situs-situs pembuka kunci untuk mengunduh publikasi secara tidak resmi.

Dari para peneliti, muncul ide publikasi open access yang dapat diunduh pembaca secara gratis dan legal.

Pembiayaan operasional dialihkan dari perpustakaan atau pembaca kepada para periset yang karyanya hendak diterbitkan. Toh, para periset tersebut telah melakukan riset yang umumnya dibiayai donor.

Beberapa peneliti Indonesia bahkan mengajukan ide open science yang bermakna hasil penelitian harus terbuka untuk umum. Misal, para peneliti dapat merincikan studi mereka dalam dokumen yang diberi stempel waktu, mengunggah laporan penelitian sebagai preprint (pracetak) bersama dengan data.

Tujuannya, agar komunitas peneliti bisa memeriksa kredibilitas suatu studi. Dan publikasi hasil penelitian harus dalam jurnal open access.

Banyak jurnal open access, misalnya, PlosOne, PeerJ, F1000, Open SAGE, Scientific Reports, Nature Communication, dan banyak lagi.

Penerbit open access yang terkenal adalah MDPI, Hindawi, dan Frontiers. Periset yang hendak mempublikasikan di jurnal open access harus membayar, bervariasi mulai 1.000–4.000 dolar AS (Rp14,5 juta—Rp50-an juta). Pembaca dapat mengakses publikasi tanpa biaya, segera setelah jurnal terbit.

Pada praktiknya penerbit yang semula mewajibkan pembacanya membayar mengambil jalan tengah. Mereka menjadi jurnal hibrida (hybrid).

Penulis diberi pilihan untuk membayar atau tidak membayar ketika mengirimkan naskahnya tanpa reviewer tahu. Informasi pilihan tersebut hanya diketahui oleh tim manajemen sehingga menghindari reviewer bias untuk menentukan kelayakan sebuah artikel.

Ketika penulis memilih membayar, maka pembaca dapat segera mengakses artikel secara gratis sehingga peluang hasil penelitian dikutip peneliti lain tinggi.

Sebaliknya, ketika penulis memilih menerbitkan secara gratis, maka pembaca harus membayar untuk membaca artikel tersebut. Artikel baru dapat bebas diakses pembaca setelah 2 tahun.

Dampaknya, peluang hasil riset tersebut dikutip lebih rendah atau lebih lama karena menunggu pembaca yang bersedia membayar atau menunggu 2 tahun ketika sudah bebas akses.


Generalisasi yang tak bijak

Pada konteks jurnal hibrida, keputusan untuk membayar atau tidak membayar sepenuhnya di tangan penulis. Sementara pada jurnal open access memang setiap penulis diharuskan membayar.

Mulanya banyak peneliti yang terjebak jurnal predator yang “asal bayar, terbit”. Beruntung sekarang databasis internasional seperti Scopus telah menyelidiki dan membatasi jurnal-jurnal predator tersebut.

Namun, bukan berarti semua jurnal open access berkualitas rendah. Banyak jurnal open access terindeks Scopus yang dikelola secara profesional. Menggeneralisasi semua jurnal open access buruk karena berpotensi predator, sungguh tidak bijaksana.

Di Indonesia sebetulnya terdapat fenomena yang lebih memprihatinkan. Hampir setengah dari publikasi Indonesia yang terindeks Scopus adalah artikel hasil prosiding seminar internasional.

Setiap tahun ratusan seminar internasional digelar dan menghasilkan publikasi dalam bentuk prosiding internasional. Bulan Desember 2022, Direktur Sumber Daya Ditjen Pendidikan Tinggi Riset dan Teknologi mengumumkan bahwa jumlah publikasi ilmiah Indonesia merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara. Produktivitas tertinggi ini telah bertahan selama 3 tahun terakhir.

Menurut databasis Scopus, pada tahun 2021, Indonesia menghasilkan lebih dari 51.000 artikel ilmiah. Namun, hampir setengah dari publikasi tersebut adalah berupa artikel prosiding yang dihasilkan dari seminar tersebut.

Artikel-artikel tersebut open access, sehingga dapat menimbulkan kesalahpahaman bahwa kualitas penelitian Indonesia sangat rendah. Barangkali fokus ini yang pertama harus dibenahi yaitu jangan hanya kuantitas, tapi kualitas diutamakan.

Indonesia melalui BRIN menjadi satu-satunya negara yang meminta perisetnya menghindari publikasi di penerbit open access MDPI, Hindawi, dan Frontiers.

BRIN juga mengarahkan perisetnya untuk tidak membayar publikasi di jurnal open access. Jalan tengah yang paling mungkin adalah memberikan alasan yang jelas mengenai larangan tersebut dan meminta klarifikasi dari penerbit tentang tuduhan tersebut. Dari klarifikasi tersebut dapat dipilah kelayakan dari jurnal tersebut untuk dipilih.

Kehadiran jurnal open access sesungguhnya sebuah terobosan ketika hasil-hasil riset hanya dapat diakses perpustakaan berlangganan dan pembaca berduit.

Jurnal open access membuat para peneliti mengetahui perkembangan pada disiplin ilmunya lebih cepat. Publikasi di jurnal open access juga memungkinkan peneliti Indonesia dikenal lebih luas dengan kutipan dari berbagai peneliti mancanegara.


*) Prof. Budiman Minasny; Profesor Ilmu Tanah dan Lingkungan di University of Sydney, Australia










 

Copyright © ANTARA 2023