Secara ekonomi, masih berada di kelas menengah ke bawah sehingga pekerjaan besar ke depan adalah menciptakan para saudagar baru di NU
Jakarta (ANTARA) - Said Aqil Siroj (SAS) Institute menyampaikan sudut pandangnya tentang keberhasilan yang dicapai Nahdlatul Ulama serta tantangan sebagai refleksi satu abad NU.

"Usia satu abad juga mau tidak mau membuat kita merefleksikan apa yang telah berhasil diraih NU dan tantangan apa yang ada di abad ke dua mendatang," kata Direktur Eksekutif SAS Institute Sa'dullah Affandy dalam keterangannya di Jakarta, Rabu.

Menurut dia setidaknya ada lima aspek keberhasilan yang bisa dilihat secara kasat mata di abad pertama NU. Pertama, kata dia sebagai organisasi dengan jamaah para pelestari tradisi, NU telah berhasil mempertahankan diri sebagai organisasi dengan pengikut terbesar di Indonesia, bahkan dunia.

Kedua, lanjut dia sebagai organisasi dengan massa terbesar, NU berhasil memainkan peran dalam dinamika politik Tanah Air, mulai dari pra-kemerdekaan, kemerdekaan, hingga pascakemerdekaan.

Bahkan, kata Sa'dullah dalam mengatasi pemberontakan Partai Komunis Indonesia, NU menjadi organisasi sipil yang paling aktif terlibat dalam menumpas pemberontakan.

Baca juga: LP3ES: Nahdlatul Ulama telah buktikan dedikasi pada bangsa

Baca juga: Menteri PANRB: Abad kedua NU lebih digdaya


"Ketiga, dalam konteks pendidikan, NU dengan pesantren-nya berhasil mengintegrasikan antara pendidikan modern (sekolah formal) dengan tetap mempertahankan identitas pesantren-nya," tuturnya.

Hingga hari ini, menurut Sa'dullah publik dapat menyaksikan pesantren NU semakin berkembang pesat dengan Lembaga Pendidikan formal yang ada di dalamnya.

"Keempat, dalam dimensi kebudayaan, NU menjadi garda depan sebagai aktor pelestari kebudayaan lokal, tradisi-tradisi yang oleh kalangan modernis diharamkan, justru dimodifikasi oleh NU menjadi sesuatu yang bernuansa Islam dan bermuatan dakwah sebagaimana ajaran para Wali Songo," ucapnya.

Kelima, NU menjadi penyokong utama beragam agenda pemerintah, terutama terkait isu radikalisme beragama di Indonesia, dan secara gemilang berhasil menjadi representasi Islam rahmatan lil alamin bagi dunia luar.

"Tentu tidak dapat meramal masa depan, namun berpijak pada masa lalu dan realitas saat ini, banyak hal yang harus dilakukan oleh NU dalam menyongsong abad kedua," kata dia

Tantangan pertama menurutnya meski secara kuantitas menjadi mayoritas, namun faktanya NU masih memiliki banyak kelemahan baik di bidang ekonomi maupun sumber daya manusia terutama terkait domain riset dan teknologi.

"Era dimana teknologi digital menjadi primadona, adalah sebuah keniscayaan bagi NU untuk melakukan pemberdayaan umatnya di ranah ini. Kedua, meski selalu berperan penting dalam setiap peristiwa politik di Tanah Air, namun secara politik NU kerap ditinggal ketika berbicara sharing kekuasaan," katanya.

Menurut dia dalam setiap pemilu, suara NU selalu laku di pasaran para calon legislatif maupun kandidat di eksekutif, namun setelah itu NU malah ditinggalkan.

"Pengecualian adalah sosok KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang berhasil menjadi Presiden RI ke-4," kata dia.

Baca juga: Hidayat Nur Wahid dan PKS Jatim apresiasi peran NU untuk NKRI

Tantangan ketiga, pesantren berhasil eksis hingga saat ini, namun masih kental asumsi bahwa pesantren hanya melahirkan ulama yang menguasai kitab kuning dan memimpin tahlil atau ritual keagamaan.

"Ke depan, sesuai dengan tantangan poin pertama dan kedua di atas, pesantren harus mulai memikirkan kurikulum yang berorientasi pada penguasaan teknologi informasi bagi para santri-nya," ujarnya.

Keempat, kata Sa'dullah meski telah berkembang pesat dan kaum Nahdliyyin tersebar di mana-mana, namun basis massa NU tetap adalah warga pedesaan sebagaimana Islam tradisional berada.

"Secara ekonomi, masih berada di kelas menengah ke bawah sehingga pekerjaan besar ke depan adalah menciptakan para saudagar baru di NU," tutur Sa'dullah.

Pewarta: Boyke Ledy Watra
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2023