Jakarta (ANTARA) - Studi Center for Indonesian Policy Studies menyimpulkan bahwa akses terhadap barang setengah jadi atau impor input antara memungkinkan perusahaan mendapatkan bahan baku yang lebih murah dan berkualitas, sehingga mendorong produktivitas dan ekspor industri makanan dan minuman atau food and beverages (F&B).

“Pengamatan kami menunjukkan bahwa meski tidak mempengaruhi pertumbuhan jumlah unit usaha dan tenaga kerja, impor input antara berdampak positif terhadap upah, output, nilai tambah per perusahaan, dan nilai tambah per pekerja pada UMK (usaha menengah dan kecil),” kata Peneliti CIPS Hasran saat diskusi daring CIPS bertajuk "Pentingnya Perdagangan bagi UMK di Sektor F&B Indonesia”, Rabu.

Hasran menyampaikan bahwa Kementerian Perindustrian sedang berupaya untuk mengurangi kebergantungan terhadap impor barang setengah jadi di sektor F&B secara bertahap melalui kebijakan-kebijakan yang mengurangi impor atau atau melalui substitusi impor. Bukannya menyokong, pendekatan tersebut dinilainya kemungkinan besar justru akan merugikan industri F&B.

Hal itu lantaran data industri makanan dan minuman masih didominasi oleh minyak kelapa sawit dan tidak dipisahkan untuk makanan dan minuman secara general, sehingga Pemerintah perlu menyediakan data berbeda untuk minyak kelapa sawit dan non minyak kelapa sawit agar dapat mengambil kebijakan yang lebih representatif.

“Kemenperin percaya bahwa substitusi impor dapat membantu F&B karena datanya masih menggabungkan minyak kelapa sawit dengan produk-produk lain dalam industri F&B,” ucapnya.

Hasil penelitian CIPS mengenai dampak impor input antara terhadap industri F&B berdasarkan ukuran perusahaan, peningkatan sebesar 1 persen dalam impor input antara justru meningkatkan output 2,73 persen di tahun selanjutnya.

Di perusahaan mikro, peningkatan output sebesar 1 persen dalam impor input antara akan meningkatkan output sebesar 4,53. persen di tahun selanjutnya. Peningkatan pada nilai tambah industri F&B lebih besar dibandingkan peningkatan output, yaitu sebesar 3,25 persen untuk perusahaan kecil dan 4,92 persen untuk perusahaan mikro.

Tak hanya itu, peningkatan impor input antara sebesar 1 persen dapat meningkatkan rerata upah sebesar 4,4 persen untuk industri kecil dan 5,07 untuk industri mikro di tahun selanjutya.

“Intuisi di balik peningkatan ini adalah input impor antara menyediakan akses terhadap bahan yang lebih murah dan atau berkualitas, sehingga ada lebih banyak perusahaan yang dapat memasuki pasar dan menjadi lebih produktif,” jelasnya.

Oleh karena itu ia meminta Pemerintah untuk mengevaluasi kembali kebijakan pengurangan impor apabila ingin meningkatkan produktivitas industri makanan dan minuman di Indonesia.

“Apabila ada kecenderungan untuk mengurangi impor ini, maka harus dibarengi dengan evaluasi dan studi kelayakan yang lebih baik,” tuturnya.

Apabila ingin mengurangi impor untuk melindungi kepentingan petani dan pengusaha kecil, lanjut Hasran, Pemerintah perlu mengambil kebijakan lain di luar kebijakan perdagangan, seperti peningkatan kualitas SDM, transfer teknologi, peningkatan pengumpulan data produksi, bantuan langsung tunai, serta kebijakan-kebijakan lainnya yang dapat mendorong produktivitas.

Baca juga: CIPS: RI berpotensi jadi basis industri farmasi di Asia Tenggara
Baca juga: Peneliti CIPS: Indonesia relatif aman dari resesi
Baca juga: Peneliti CIPS: Indonesia perlu tinggalkan kebijakan proteksionis

 

Pewarta: Kuntum Khaira Riswan
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2023