Dulu ada kayu mahoni, sono, ulin, tapi sekarang barangnya susah dan mahal juga.
Denpasar (ANTARA) - Kerajinan ukiran patung asal Desa Petulu, Kabupaten Gianyar, Bali mampu merambah pasar di benua Eropa.

“Karena kami di sini dari daerah Batubulan ke utara memang sudah dikenal ukirannya dari tahun sembilan puluhan, jadi tidak ada pemasaran khusus yang kami lakukan, biasanya yang memesan dari luar negeri itu langganan kami, ordernya melalui WhatsApp” kata I Wayan, pemilik rumah ukir Ratni Goa Lawah Wood Carving, di Gianyar, Jumat.

Rata-rata dalam satu bulan, kata Wayan, ada lebih dari 100 buah patung ukiran yang diekspor ke Prancis dan Italia. Omzet yang diperoleh dari kerajinan ukiran patung ini adalah Rp100 juta sampai Rp150 juta per bulan.

Jenis kayu yang dipakai untuk membuat kerajinan patung didominasi oleh kayu suar. Namun ada juga yang menggunakan kayu panggal buaya, waru, dan jempinis.

Sebagian besar kayu tersebut merupakan kayu yang berasal dari Bali, namun terkadang kayu suar didatangkan dari Pulau Jawa karena memiliki ukuran yang lebih besar.

“Dulu ada kayu mahoni, sono, ulin, tapi sekarang barangnya susah dan mahal juga,” kata Wayan.

Demi mengutamakan kualitas, kayu yang dipilih untuk bahan ukiran patung adalah kayu yang umurnya di atas 15 tahun dan daging kayu memiliki warna cokelat, bukan putih karena akan membuat patung jadi lebih awet.

Wayan menjelaskan produksi kerajinan patung yang kecil dilakukan di rumah karyawan, sedangkan ukuran yang besar akan dikerjakan di gudang produksi yang berada di jalan raya Petulu, Gianyar.

“Durasi tergantung patungnya apa, kalau yang gede dan ruwet lama bikinnya, kalau yang polos tujuh hari selesai. Untuk yang paling lama sampai tahunan soalnya pakai kayu kamboja yang gede dan mahatnya itu nunggu moodnya bagus, itu mahal dan lama sekali,” ujar Wayan.

Wayan menjual patung dengan kisaran harga Rp15 ribu hingga Rp30 juta per patung tergantung ukuran dan kerumitan dari patung tersebut.

“Saya berharap semoga bisnis ini terus jalan, kita di sini dari tahun dua ribu sekarang sudah 23 tahun, ini semua tergantung pada tamu luar, kalau lokal kami tidak berharap banyak karena yang beli jarang,” kata Wayan pula.
Baca juga: Ukiran khas Papua tembus pasar Kanada

Pewarta: Pungkas Dwitanto/Widodo S Jusuf
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2023