Jakarta (ANTARA) - Pasca-transisi politik 1998 di Indonesia, kepemimpinan silih berganti dan semua rezim memiliki “plus” berikut “minusnya.”

Bagaimana di era Habibie bangsa ini pertama kali menyelenggarakan Pemilu tahun 1999 yang merupakan pemilu yang demokratis dengan prinsip “Jurdil” dan “Luber” yang yang benar-benar diimplementasikan bukan sekadar lips service.

Pemilu 1999 ini mengulangi masa emas Pemilu 1955 di mana Indonesia mulai melakukan eksperimen demokrasinya yang pertama kali.

Selain itu, Habibie pun membebaskan seluruh tahanan politik, baik yang ditahan karena masalah PKI, kasus kebebasan berpendapat, dan perbedaan pendapat dengan pemerintahan Soeharto.

Di masa Habibie pula salah satu sokoguru demokrasi yaitu partai politik mulai bersemi kembali. Partai politik memiliki posisi signifikan dalam demokrasi karena merekalah yang mampu mengagregasi kepentingan beragam dari aneka segmen warganegara Indonesia.

Tidak ada demokrasi tanpa partai politik. Namun, tentu saja terdapat catatan bahwa partai politik yang baik adalah partai politik yang juga memberlakukan demokrasi dalam proses sirkulasi elit dan rekrutmen politiknya.

Di era Gus Dur, Indonesia melakukan penguatan pada peranan serta posisi politik luar negeri dalam pergaulan antar bangsa.

Selain itu, di era ini pula mulai terdapat penghargaan bagi etnis Tionghoa serta agama-agama “asli” Nusantara. Era Gus Dur pun mulai menandai politik egaliter dengan mana jarak psikologis antara warga negara dengan presidennya mulai menipis.

Gus Dus memulai tradisi open house dengan mana warga negara dapat bertemu langsung dan menceritakan masalah mereka kepada elit puncak nasional. Gus Dur pun melawan wacana “ekses”.

 Gus Dur berusaha keras memposisikan diri di tengah semua kelompok primordial (biologis dan agama) dan warisannya atas toleransi menjadi rekaman tersendiri bagi bangsa ini.

Demikian pula di era Megawati Soekarnoputri, suatu langkah penentu atau desisif yaitu Pemilihan Presiden secara langsung mulai didesain.

Dengan langkah ini maka sistem presidensial seperti diamanatkan konstitusi dimulai konkretisasinya.

Selain itu, berpegang kepada Mukadimah Konstitusi, dengan berani pemerintahan Megawati mengundang pemimpin rakyat Palestina Yasser Arafat yang saat itu tengah dikepung oleh tentara Israel untuk datang ke Indonesia.

Undangan ini merupakan langkah berani mengingat undangan tersebut sangat tidak disukai Israel dan negara pelindungnya, Amerika Serikat.

Pada masa Megawati pula prinsip kedaulatan negara ditegakkan, misalnya jika Amerika Serikat melakukan embargo senjata atas Indonesia akibat alasan yang dibuat-buat, maka jangan salahkan jika Indonesia membeli Sukhoi dari Rusia. Prinsip politik luar negeri bebas-aktif dan non-blok kembali ditegaskan Indonesia di masa Megawati ini.

Prinsip Demokrasi

Salah satu produk dari pemilihan presiden secara langsung adalah Susilo Bambang Yudhoyono. Kendatipun pilihan rakyat saat itu bukan berdasarkan pada rekam jejak seorang presiden melainkan lebih kepada sentimen-sentimen primordial semisal wujud fisik ataupun figur militer yang melekat padanya, tetapi mulai menunjukkan bahwa warga negara benar-benar memiliki hak nyata untuk memilih siapa presiden mereka dalam sistem negara presidensial.

Selain itu SBY memberi legacy untuk menghindari isu primordial Jawa-Non Jawa. Dua putra SBY tidak menikah dengan wanita Jawa, tetapi dengan putri Sumatera Selatan dan Batak.

Selain itu, SBY pun mengajarkan warga negara Indonesia untuk bersikap proporsional. Saat ia diserang isu poligami, maka SBY cukup melaporkan kepada pihak kepolisian bahwa itu tidak benar dan membiarkan polisi menyelidiki perkara tersebut.

Di masa SBY inilah masyarakat sipil Indonesia berkembang dengan cukup luar biasa, termasuk pun SBY memberikan toleransi atas kelompok-kelompok intoleran untuk beraktivitas.

Pembiaran ini pun cukup dilematis karena dalam prinsip demokrasi, kebebasan suatu kelompok tidak boleh mencederai kebebasan kelompok lain apabila beraktivitas sesuai hukum yang berlaku.

Ini sedikit cuplikan peran para pemimpin bangsa di era reformasi yang boleh dikatakan adalah putra putri terbaik bangsa ini yang saat era Orde Baru tidak akan pernah bisa memimpin negara ini.

Pelibatan warga negara dalam Pemilu yang akuntabel merupakan langkah berani Indonesia untuk melakukan perubahan dalam memaknai Demokrasi.

Sejak pemilihan presiden dan anggota legislatif dilakukan secara langsung maka secara otomatis, minimal secara formal, kedaulatan dikembalikan secara langsung kepada warganegara sehingga warganegara kini benar-benar dijadikan subyek, minimal saat Pemilu.

Hal ini tidak terlampau berlebihan mengingat dalam teori demokrasi, suara merupakan komoditas paling penting karena merupakan tiket bagi elit untuk mengatur kehidupan publik.

Problem besar Indonesia setelah 1998 adalah state capacity. State capacity adalah kemampuan negara dalam menjalankan sejumlah kapabilitas seperti regulatif, ekstraktif, simbolik, responsif, dan simbolik.

Kelima kapabilitas ini sifatnya normatif dan sebuah negara apabila tetap hendak disebut sebagai organisasi politik tertinggi yang memiliki otoritas di dalam sebuah teritori harus memilikinya.

Orde Baru cukup menonjol kapabilitas simbolik dan regulatifnya, tetapi tiga lainnya terabaikan sehingga eksplosi partisipasi politik 1998 pun terjadi.

Di era Jokowi kelima kapabilitas tersebut mulai digarap secara serius kendatipun tentu saja prestasi pencapaiannya berbeda antara satu kapabilitas dengan kapabilitas lainnya, dan tulisan ini tidak akan memasuki ranah tersebut karena akan terlampau panjang.

Secara ringkas, dapat dinyatakan bahwa Jokowi adalah produk Pilpres langsung sama seperti SBY. Pelibatan publik dalam demokrasi memberikan pesan positif kepada warganegara untuk bisa memilih pemimpin berdasarkan kinerja mereka di masa sebelumnya (rekam jejak). Kepercayaan publik ini kemudian dibalas dengan pemenuhan janji-janji.

Di atas hal tersebut hal yang terpenting adalah kemampuan para elit terpilih untuk menjawab serta menyelesaikan problem akut yang telah bertahun-tahun menjadi kendala Indonesia untuk menjadi bangsa maju.

Terkait dengan sejumlah perubahan fundamental di Indonesia. Terdapat sejumlah upaya dekonstruksi yang telah dilakukan oleh pemerintahan Jokowi.

Dekonstruksi ini jelas berbeda secara fundamental dengan apa yang terjadi dengan masa pemerintahan Orde Baru. Kontras tersebut di antaranya terdapat dalam hal orientasi pembangunan.

Jokowi membangun Indonesia Sentris bukan Jawa Sentris guna mengatasi gap kemakmuran dan distribusi pendapatan antar daerah.

Misalnya, Papua yang selama Orde Baru menjadi provinsi yang paling dieksploitasi kini mulai dijadikan subyek pembangunan, baik dari segi infrastruktur, sumberdaya manusia, hingga pertanian menetap, bukan lagi nomaden seperti dibiarkan seperti masa Orde Baru.


Indonesia Sentris

Indonesia Sentris merupakan implementasi dari konsep pembangunan terintegrasi yang merupakan watak ideologi dari Pancasila.

Pemahaman Jokowi sebagai presiden atas Pancasila tidaklah semata-mata berada dalam kata-kata melainkan lebih ke dalam kekuatan dan motivasi untuk mewujudkannya, yang dikenal dengan idiom kerja nyata, bertindak dalam bentuk kerja nyata bukan sekadar kata-kata.

Indonesia Sentris merupakan solusi atas kesenjangan pluralisme teritorial Indonesia, antara bagian Barat dengan bagian Timur, termasuk sentimen primordial daerah antara pula Jawa dengan pulau non Jawa.

Indonesia Sentris juga memperteguh identitas nasional warganegara yang berasal dari aneka daerah nusantara sebagai satu bangsa. Indonesia Sentris juga memberikan aspek keadilan di dalam pembangunan karakter nasional, dengan mana hal ini dapat dilihat saat Pekan Olahraga Nasional (PON) secara politis diputuskan untuk diselenggarakan di Papua.

Di dalam PON XX tersebut putra-putri Papua ternyata mampu mempertunjukkan keahlian mereka di gelanggang tingkat nasional. Hal ini membuktikan bahwa Jokowi mampu memberi saluran egalitarian bahwa warganegara Indonesia asal Papua pun memiliki kualitas sumber daya manusia yang tidak kalah dengan sumber daya manusia yang berasal dari Jawa, Sumatera, dan daerah-daerah lainnya di wilayah Barat.

Jokowi pun berani mengambil tindakan penuh risiko yaitu dengan mengubah komposisi kepemilikan saham di PT  Freeport kendatipun diancam untuk dibawa ke Mahkamah Arbitrase Internasional.

Langkah tersebut diambil guna memperteguh kedaulatan sumber daya alam kita sesuai amanat Pasal 33 konstitusi, UUD 1945.

Infrastruktur pun kemudian menyusul untuk hadir di Papua akibat limpahan dana dari kepemilikan saham yang “tiba-tiba” membesar tersebut.

Akibatnya kabupaten-kabupaten di Papua kini menjadi terkoneksi satu sama lain melalui jalan darat.

Tol laut yang dikembangkan Jokowi membuat distribusi komoditas dari Indonesia bagian barat berhasil mencapai aneka pelabuhan di Papua secara lebih cepat dan murah sehingga mendorong disparitas harga antara Papua dengan daerah lain mengecil.

Bandara, pelabuhan laut, bendungan, jalur-jalur laut antar pulau, merupakan sejumlah infrastruktur yang dibangun dengan prediksi terukur atas potensi Return of Investment di masa depan.

Tinggal bagaimana Aktivis 98 terus, secara konsisten, memusatkan perhatian atas hal tersebut dengan cara melakukan pengawasan kritis atas pengelolaan aneka infrastruktur yang telah rampung tersebut.

Asumsi utama dari aneka infrastruktur tersebut adalah akan terdapat kemudahan bagi para pengusaha lokal Indonesia guna melakukan ekspor ke luar negeri (atau antardaerah di Indonesia) dengan biaya transportasi lebih murah sehingga harga jual produk mereka menjadi lebih kompetitif.

Di era Jokowi pula BUMN ternyata berhasil mengalami perubahan yaitu menjadi agen sekaligus kontributor finansial bagi proses pembangunan infrastruktur dan kesejahteraan warga negara.

Selain itu, BUMN juga mampu menjadi agen penggerak ekonomi juga mandatory dari kebijakan pro warganegara Indonesia sehingga peran mereka (BUMN) semakin dapat dirasakan secara langsung manfaatnya.

Pada era Jokowi pula, BUMN menjadi lebih transparan karena dikelola secara profesional dengan diterapkannya Good Corporate Governance (GCG) dalam pengelolaan.

Dengan penerapan ini maka transparansi dan akuntabilitas  cukup berhasil mencegah agar tidak terjadi benturan kepentingan. BUMN kemudian dapat hadir untuk menjadi bagian dari pertumbuhan ekonomi juga kesejahteraan warganegara.

Perubahan fundamental dari pemerintahan Jokowi terbukti berada on the right track. Kendati diterpa badai pandemi kurang lebih 2 tahun lamannya, ditambah lagi dengan konflik Rusia-Ukraina di mana terjadi kebangkrutan sejumlah negara (Srilangka dan Ekuador), krisis energi di beberapa negara Eropa serta berimbas pada Asia, Indonesia relatif tetap berjalan normal.

Komoditas subsisten (sembako) tetap beredar di masyarakat dengan harga cenderung normal, tidak melonjak drastis seperti di negara-negara ASEAN lainnya.

Kecuali untuk minyak goreng, dengan mana terjadi konspirasi pengecut antara rezim importir minyak goreng Eropa dengan para bandit ekonomi di dalam negeri yang disokong begundal mereka di kalangan politisi.

Keterlibatan anasir asing di dalam lonjakan harga minyak goreng Indonesia sangat mungkin mengingat Indonesia berada dalam fase melakukan embargo CPO ke Eropa karena diskriminasi yang dilakukan sejumlah negara Eropa atas produk sawit Indonesia.

Selain mampu mengatasi dampak ekonomi, sosial, dan politik akibat pandemi dengan upaya percepatan vaksinasi, pemerintahan Jokowi juga mampu mengatasi dampak krisis dari Konflik Rusia-Ukraina.

Kemampuan Jokowi mengatasi problem ini tidak terlepas dari kemampuannya untuk memetakan masalah dengan melibatkan stakeholder yang kompeten, mencari jalan keluar, serta kemampuannya untuk melakukan pemaduan kerja tim di lingkaran presiden, baik dari kabinet maupun orang-orang mencurahkan pikiran serta kemampuannya untuk Negara (Aktivis 98 berada di unsur terakhir ini).

Langkah nyata lain dari Jokowi adalah ia menjadi pemimpin dunia yang pertama kali melakukan pembicaraan secara langsung: Menemui Zelensky di Ukraina, dan kemudian Putin di Rusia.

Apapun hasil lobby Jokowi atas keduanya maka amanat konstitusi yaitu menjaga perdamaian dunia ditunaikan oleh Jokowi, kendatipun dengan risiko besar atas nyawa diri dan istrinya.

Oleh karena itu, ke depan menjadi penting bagi bangsa ini untuk menjaga demokrasi yang kini berjalan agar tetap berkualitas.

Tujuannya, agar demokrasi memungkinkan terselenggaranya melakukan sirkulasi elit, yakni kemampuan memberi kesempatan terbuka dan egaliter bagi lahirnya orang-orang yang tidak hanya mempunyai gagasan besar dan segar saja, melainkan juga mereka yang harus mampu bertindak nyata dan terukur guna mewujudkan gagasan besar dan segar tersebut.

Demokrasi yang tidak melahirkan pemimpin omong-kosong. Sebab, salah satu kualitas demokrasi di antaranya dapat diukur dengan seberapa mampu ia (demokrasi) menghasilkan para pejabat publik yang selalu menempatkan kesejahteraan dan pemerataannya kepada seluruh warga negara manakala ia tengah menjalankan kekuasaan.

Demokrasi yang baik menurut Jean Jacques Rousseau adalah Demokrasi yang para eksekutif dan legislator yang dipilih warganegaranya selalu berpegang pada volonte generale bukan will of us.

*) Dr Taufan Hunneman; Dosen UCIC, Cirebon dan Dr Setta Basri; penulis dan pendidik.
 

Copyright © ANTARA 2023