Penyelesaian masalah sampah perlu pendekatan multidisiplin ... melibatkan berbagai pemangku kepentingan
Jakarta (ANTARA) - Mahasiswi Program Studi Rekayasa Perangkat Lunak Universitas Prasetiya Mulya, Valen Meicella Ishen tak mengira aplikasi yang dibangun bersama teman-temannya dapat dimanfaatkan secara efektif di Kota Serang, Banten.

Aplikasi Bank Sampah Digital itu merupakan bagian dari pengembangan dan pengabdian masyarakat kampus tersebut. Ide tersebut berawal dari keprihatinan mereka terkait dengan permasalahan sampah di kota tersebut.

“Bank Sampah Digital ini berawal dari keprihatinan kami akan permasalahan sampah di Serang. Nah, kami ingin memperluas dan meningkatkan layanan. Kalau dulu dicatat secara manual, maka dengan aplikasi dapat dicatat secara digital,” ujar Valen, 20 tahun.

Bank Sampah Digital tersebut mencakup sebanyak 150 titik bank sampah di Serang dan sudah bekerja sama dengan Pemerintah Kota Serang. Aplikasi yang dibangun pada 2020 tersebut memudahkan masyarakat dalam melakukan penyetoran sampah yang sudah dipilah.

Masyarakat, melalui aplikasi itu, diminta untuk memilah sampah organik dan anorganik, kemudian sampah yang bisa didaur ulang disetorkan ke bank sampah, sedangkan yang organik dijadikan pupuk.

Sebagai penghargaan, masyarakat mendapatkan poin yang bisa digunakan untuk membayar pajak atau membeli token listrik dan pulsa serta sembako.

Mahasiswi semester VI itu menceritakan bahwa pada awalnya penerapan aplikasi tersebut cukup sulit karena sebagian masyarakat di Serang masuk golongan ekonomi menengah ke bawah yang tidak memiliki gawai. Oleh karena itu, masyarakat perlu dilatih terlebih dahulu dan dibantu sebelum bisa memanfaatkan aplikasi.

Saat ini, aplikasi tersebut digunakan sebagian masyarakat di Kota Serang dan berperan dalam mengatasi persoalan sampah di kota itu.

Bank Sampah Digital mendorong perubahan sosial di bidang pengelolaan sampah berbasis masyarakat dengan konsep Bank Sampah Induk dengan sistem digital.

Sistem Bank Sampah Digital tersebut mendorong partisipasi aktif warga untuk memilah dan menabung sampah yang bernilai ekonomi. Tujuannya,  agar masyarakat berdaya, membuat lingkungan hidup lebih lestari, memberikan keuntungan kepada ekonomi masyarakat secara langsung, serta meningkatkan rasa kepedulian di antara sesama dan membangun budaya gotong royong masyarakat. Setiap hari terdapat 800 ton sampah yang dihasilkan kota tersebut.
 

Sampah makanan

Dekan Sekolah STEM Prasetiya Mulya, Stevanus Wisnu Wijaya, menyebutkan bahwa sampah makanan memiliki kontribusi besar terhadap perubahan iklim, bahkan Indonesia menduduki peringkat ketiga terbesar di dunia.

“Penyelesaian masalah sampah perlu pendekatan multidisiplin dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan,” ujar Wisnu.

Edukasi kesadaran pentingnya pengelolaan sampah makanan terhadap masyarakat perlu dilakukan sedini mungkin. Persoalan terkait sampah tersebut juga dimasukkan ke dalam mata kuliah di kampus.

Perguruan tinggi perlu untuk meningkatkan kapasitasnya dalam merespons masalah sampah makanan.

“Mahasiswa dilibatkan dalam mengatasi berbagai persoalan sosial terkait permasalahan sampah. Misalnya, melakukan pengambilan data, kemudian memetakan data terkait persoalan sampah makanan, dan mereka mencari bagaimana upaya kampanye makanan di media sosial dan sebagainya,” kata Wisnu.

Pihaknya bersama dengan konsorsium In2food yang terdiri atas Universitas Parahyangan, Universitas Ma Chung, Universitas Binus, Universitas Pembangunan Jaya, Ghent University Belgia, Tampere University Finlandia, dan HTH Belanda, bekerja sama untuk meningkatkan kapasitas perguruan tinggi dalam menyelesaikan persoalan sampah makanan.

Kolaborasi ini bertujuan melakukan koordinasi dalam pengembangan riset dan publikasi tentang sampah makanan, kompetisi mahasiswa tingkat internasional, dan pengembangan pusat penelitian tentang sampah makanan.

Selama ini, sampah masih menjadi masalah besar di masyarakat karena memilah sampah belum menjadi budaya. Padahal, sampah tersebut dapat diolah menjadi bagian dari ekonomi sirkular.

Sampah organik terbagi menjadi dua, yang bukan limbah makanan dijadikan pupuk, sementara sampah organik yang berasal dari limbah makanan untuk larva maggot, digunakan untuk makanan ayam dan burung.

“Ayam yang makan larva maggot memiliki telur dengan kandungan omega 3 lebih tinggi. Sampah makanan kita kelola dengan baik. Hal itu juga berkaitan dengan ekonomi sirkular," katanya.

Pihaknya juga menggandeng Maggot Indonesia Lestari, perusahaan yang bergerak dalam pengolahan sampah makanan dengan memanfaatkan larva black soldier fly (BSF). Dalam hal itu, BSF digunakan sebagai sumber protein untuk makanan ayam dan ikan sehingga menghasilkan telur yang bergizi tinggi.

Perusahaan itu berhasil mengembangkan pertanian terintegrasi dengan memanfaatkan sampah makanan sebesar 15 ton per hari sebagai makanan larva.

Dalam jangka panjang bakal dibangun kolaborasi bersama untuk mengembangkan solusi bisnis pengolahan sampah makanan yang berkelanjutan.

Berbagai upaya yang bersifat kolaboratif dan multidisipliner itu akan meningkatkan kepedulian, pengetahuan dan keterampilan mahasiswa, serta masyarakat luas tentang pengelolaan sampah makanan. Konsorsium itu telah menjalankan kegiatan sejak 2020 dengan pendanaan dari The European Union melalui Program Erasmus+ CBHE Program.

Melalui kolaborasi global tersebut maka akan mampu menghasilkan berbagai inovasi baru untuk menyelesaikan persoalan sampah makanan.

Kolaborasi itu juga diharapkan mampu mengintegrasikan isu sampah makanan ke dalam kurikulum pendidikan.

Dan, inovasi praktis dari perguruan tinggi seperti membuat aplikasi bank sampah digital tersebut memberi manfaat konkret dalam penyelesaian masalah sampah.







 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023