Menurut hemat saya, kebijakan pemerintah untuk menaikkan HPP gabah dan beras itu adalah satu respons yang baik,
Purwokerto (ANTARA) - Pakar pertanian dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Prof Totok Agung Dwi Haryanto mengapresiasi kebijakan pemerintah yang menaikkan harga pembelian pemerintah (HPP) terhadap gabah dan beras menjelang masa panen raya.

"Menurut hemat saya, kebijakan pemerintah untuk menaikkan HPP gabah dan beras itu adalah satu respons yang baik," katanya di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Rabu.

Ia mengatakan kenaikan HPP tersebut tentu saja merupakan sesuatu yang diharapkan oleh para petani terutama pada saat panen raya karena pada akhir Februari mulai panen sampai puncaknya pada April.

Baca juga: Petani Jember ingin pemerintah revisi HPP jelang panen raya

Menurut dia, dengan harga yang naik tentu saja kekhawatiran petani terhadap kemungkinan terjadi penurunan harga gabah dan beras pada saat panen raya bisa diantisipasi

"Tapi mudah-mudahan dengan kebijakan baru ini, nanti harga pasar tetap bisa mengikuti. Artinya ya termasuk Bulog diharapkan bisa menampung hasil panen petani pada saat panen raya dengan harga sesuai HPP yang ditetapkan," kata Guru Besar Fakultas Pertanian Unsoed itu.

Prof Totok mengakui HPP merupakan ketetapan pemerintah yang menjadi patokan semua pihak, sehingga akan lebih bijak apabila sifatnya dinamis, yakni pada masa tertentu bisa dinaikkan, kemudian pada masa yang lain bisa diturunkan dengan menyesuaikan situasi dan kondisi yang ada di pasar.

Akan tetapi dari semua itu, kata dia, tentu saja yang lebih penting adalah bagaimana Bulog yang diberi tanggung jawab oleh pemerintah untuk menjaga stabilitas harga dan ketersediaan cadangan beras itu juga memiliki elastisitas kebijakan.

Baca juga: Indef nilai penerapan pajak natura akan dongkrak penerimaan pajak

Dengan memiliki elastisitas kebijakan, lanjut dia, Bulog diberi kesempatan untuk bisa mengajukan harga pembelian beras medium sesuai harga pasar ketika harganya melampaui HPP, sehingga tidak harus memaksa menggunakan harga yang ditetapkan oleh pemerintah.

"Itu karena apabila tetap mempertahankan ketetapan HPP,  pada saat harga di pasaran naik kemudian Bulog tidak membeli lagi hasil panen petani, sehingga mengancam ketersediaan cadangan beras yang ada di Bulog seperti tahun lalu," jelasnya.

Dia mengatakan jika sebetulnya HPP harus dihitung berdasarkan tiga aspek, yaitu biaya produksi oleh petani untuk beras medium, mempertimbangkan hak keuntungan petani sehingga petani yang sudah melakukan budi daya padi dengan biaya produksi tertentu itu tetap mendapatkan hak keuntungan, dan memerhatikan daya beli masyarakat

Ia mengakui tiga aspek tersebut memang berat sekali untuk dikombinasikan guna memunculkan HPP yang paling tepat, tidak membebani masyarakat tetapi tidak merugikan petani. "Tapi dengan melalui riset-riset mungkin harga ini bisa diperoleh sesuai yang diharapkan," kata Prof Totok.

Baca juga: Mengendalikan harga demi keterjangkauan pemenuhan pangan

Pemerintah melalui Badan Pangan Nasional dalam rapat bersama Perum Bulog sejumlah pelaku usaha di Jakarta pada Selasa (21/2) telah memutuskan untuk menaikkan HPP terhadap gabah dan beras.

Dalam hal ini, HPP untuk gabah kering panen (GKP) di tingkat petani sebesar Rp4.550 per kilogram, GKP di tingkat penggilingan Rp4.650 per kilogram, gabah kering giling (GKG) di tingkat penggilingan Rp5.700 per kilogram, dan beras medium di gudang Perum Bulog Rp9.000 per kilogram.

Harga pembelian tersebut naik sekitar 8-9 persen dari HPP sebelumnya yang mengacu pada Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 24 Tahun 2020, yakni GKP tingkat petani Rp4.200 per kilogram, GKP di tingkat penggilingan Rp4.250 per kilogram, GKG di tingkat penggilingan Rp5.250 per kilogram, dan beras medium di gudang Perum Bulog Rp8.300 per kilogram. 

Pewarta: Sumarwoto
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2023