"Setidaknya ada dua hal penting yang dapat menjadi pembelajaran dari kejadian ini, yaitu kontrol negara pelabuhan dan tanggung jawab negara bendera,"
Jakarta (ANTARA) - Lembaga think-tank dan advokasi kebijakan Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) mengapresiasi upaya pemerintah Indonesia dalam menangani pencemaran laut akibat tumpahan aspal dari kapal MT AASHI di Perairan Nias Utara, Provinsi Sumatera Utara.

Direktur Eksekutif IOJI Mas Achmad Santosa dalam keterangan di Jakarta, Selasa mengatakan pemerintah harus menjadi lebih awas dan waspada atas proses penanganan MT AASHI yang saat ini sedang berjalan.

"Mengingat penanganan ini akan memakan waktu, pemerintah perlu untuk berkorespondensi langsung dengan pemilik kapalnya selain dengan owner representative. Hal ini penting agar pemilik kapal dapat dipastikan terus bertanggungjawab sampai seluruh proses selesai," kata Santosa.

Pada 11 Februari 2023 lalu, kapal MT AASHI bermuatan 1.900 ton aspal itu karam akibat badan kapalnya yang keropos dihantam oleh ombak.

Pemerintah setidaknya akan menempuh empat cara untuk menindaklanjuti kasus pencemaran laut akibat tumpahan aspal tersebut, yakni pembersihan area tercemar aspal, pengambilan sampel, penghitungan kerugian akibat kerusakan sumber daya ikan dan lingkungan, dan pengusutan untuk meminta pertanggungjawaban pemilik kapal atas insiden pencemaran dari kapal MT AASHI dalam bentuk kompensasi.

Perwakilan pemilik kapal telah menunjuk PT Nusantara Salvage Indonesia untuk melaksanakan kegiatan pembersihan.

Selain mengangkat rangka kapal yang tenggelam, pemilik kapal juga bertanggungjawab atas pencemaran lingkungan yang terjadi lantaran tumpahan aspal itu sudah mencemari kawasan konservasi Sawo-Lahewa di Nias Utara.

Menurut Santosa, langkah-langkah yang dilakukan oleh pemerintah sudah tepat untuk menanggulangi pencemaran yang terjadi di Kecamatan Tugala Oyo, Pulau Nias tersebut.

Ia menyampaikan ada dua perangkat hukum internasional yang dapat dijadikan dasar untuk kompensasi, yakni Konvensi Internasional tentang Tanggung Jawab Perdata atas Kerusakan Polusi Minyak 1992 dan Konvensi Internasional tentang Pembentukan Dana Internasional untuk Kompensasi Kerusakan Polusi Minyak 1992.

"Setidaknya ada dua hal penting yang dapat menjadi pembelajaran dari kejadian ini, yaitu kontrol negara pelabuhan dan tanggung jawab negara bendera," jelas Santosa.

Badan kapal MT AASHI yang ditemukan keropos mengindikasikan bahwa kondisi kapal tersebut tidak laik melaut.

Pada Pasal 219 Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) mengatur bahwa negara pelabuhan, atas permintaan atau inisiatif sendiri, wajib untuk mengambil tindakan administratif agar kapal yang kondisinya tidak laik laut dan berpotensi merusak lingkungan laut yang sedang berada di pelabuhannya tidak berangkat melaut.

Kapal dapat diizinkan berlayar hanya untuk kepentingan perbaikan ke galangan terdekat agar permasalahan ketidaklayakan melaut kapal bisa diselesaikan. Kemudian, kapal dapat diizinkan berlayar jika sudah selesai diperbaiki.

Lebih lanjut, Pasal 94 ayat (3) UNCLOS mengatur bahwa negara bendera kapal wajib memastikan, salah satunya kelayakan kapal untuk melaut.
Baca juga: KLHK periksa tumpahan aspal yang mencemari laut di Nias Utara
Baca juga: KKP tindaklanjuti kasus aspal mentah yang cemari perairan Nias
Baca juga: Pemerintah akui belum optimal tekan insiden tumpahan minyak

 

Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Muhammad Yusuf
Copyright © ANTARA 2023