Jakarta (ANTARA) - Asosiasi Koperasi Perikanan Futaba Soma di Prefektur Fukushima menilai pembuangan air limbah nuklir Jepang akan hancurkan pendapatan nelayan lokal.

"Kami sangat menentang pelepasan itu," ungkap Toshimitsu Konno, Kepala Asosiasi Koperasi Perikanan Futaba Soma di Prefektur Fukushima.

"Mereka mengatakan semua pembangkit listrik tenaga nuklir akan membuang air olahan ke laut, tetapi jenis airnya berbeda. Kali ini air yang terkontaminasi, tetapi bukan air dari pembangkit (kondisinya) yang normal," katanya.

Koperasi tersebut terdiri dari 846 anggota dan merupakan kelompok terbesar di prefektur yang ada di bagian timur laut Jepang itu.

Sebelumnya Operator PLTN, Tokyo Electric Power Company (TEPCO), berulang kali mengklaim bahwa air olahan tersebut diencerkan dengan standar keamanan nasional, dan tidak ada pilihan lain selain melepasnya ke laut lantaran ruang penyimpanan telah mencapai kapasitasnya.

"Saya sama sekali tidak percaya pada TEPCO, karena selama ini terlalu banyak informasi yang disembunyikan," ujar Konno, seraya menambahkan bahwa ada sejumlah preseden tentang kebocoran air yang terkontaminasi nuklir.

Diguncang oleh gempa bermagnitudo 9,0 dan disusul tsunami yang melanda wilayah timur laut Jepang pada 11 Maret 2011, pembangkit listrik itu mengalami kebocoran inti, mengakibatkan kecelakaan nuklir level 7, tingkat tertinggi pada Skala Kejadian Nuklir dan Radiologi Internasional.

PLTN tersebut menghasilkan air yang tercemar zat radioaktif dalam jumlah sangat besar dari pendinginan bahan bakar nuklir di bangunan-bangunan reaktor, yang kini disimpan dalam sekitar 1.000 tangki penyimpanan di PLTN itu. Air dengan kandungan radioaktif tinggi akan terus diproduksi, karena TEPCO belum menemukan solusi untuk memindahkan inti-inti yang bocor itu.

Dua belas tahun setelah insiden pada 2011 itu membuat industri perikanan di Fukushima trauma, para nelayan setempat masih berjuang untuk pulih.

"Penduduk setempat masih bekerja sangat keras untuk menghidupkan kembali perikanan Fukushima. Semua upaya tersebut akan sia-sia jika bahkan satu dari jutaan ikan yang ditangkap ditemukan melebihi batas radioaktif," sebut Kenichi Oshima, seorang profesor di Universitas Ryukoku.

Menurut Konno, hasil tangkapan di wilayah itu kini hanya setara dengan 20 persen volume sebelum gempa 2011, meski harga ikan sudah pulih 70 hingga 80 persen dari harga sebelum gempa.

Ia menilai, membuang air yang terkontaminasi akan semakin merusak reputasi produk perikanan lokal, meski telah dilakukan pengujian zat radioaktif dengan standar yang jauh lebih ketat untuk membuktikan keamanannya.

"Begitu air yang terkontaminasi dibuang, upaya kami selama satu dekade harus dimulai dari awal lagi," ujarnya.

Di mata pria berusia 64 tahun itu, pemerintah Jepang dan TEPCO hanya mengingkari janji mereka sebelumnya kepada penduduk setempat dengan langkah-langkah agresif seperti itu.

"Perjanjian paling penting yang mereka buat dengan kami adalah tidak melanjutkan pembuangan tanpa kesepahaman dengan kami masyarakat yang terlibat," tuturnya kepada Xinhua.

Dalam konferensi pers pada awal bulan ini, ketika ditanya tentang apakah rencana pembuangan akan ditunda jika gagal mendapatkan kesepahaman penuh dari pihak-pihak terkait, Junichi Matsumoto, corporate officer TEPCO, mengelak dari pertanyaan itu dengan menjawab bahwa "upaya berkelanjutan" akan dilakukan untuk "meredakan kekhawatiran" dan "meminta kesepahaman."

"Kesepahaman harus diberikan oleh siapa, dalam bentuk apa, dan dengan kriteria apa? Sampai sekarang masih belum ada yang dapat menjawabnya," ungkap Konno.


 

Pewarta: Xinhua
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2023