Jakarta (ANTARA News) - Pembangunan koperasi di Indonesia masih jauh dari harapan karena dari sekitar 132 ribu koperasi yang ada hanya 25 persen saja yang berjatidiri, sementara sisanya beroperasi hanya untuk bertahan hidup dan tanpa misi dan visi. "Dari jumlah 25 persen itu, yang bisa dikategorikan benar-benar bagus hanya 10 persen," kata pengamat koperasi Ibnoe Soedjono dalam diskusi Revitalisasi Koperasi/KUD Dalam Era Globalisasi di Jakarta, Rabu. Pemerintah sendiri, menurut dia, masih ragu bertindak tegas terhadap koperasi-koperasi papan nama padahal berdasar UU, pemerintah bisa melakukan pembubaran terhadap koperasi tersebut. "Kalau benar jumlah koperasi mencapai 132 ribu dan anggotanya hingga puluhan juta orang, berarti Indonesia akan penuh sekali dengan koperasi, tapi ternyata tidak," kata Ibnoe mempertanyakan data-data pemerintah. Meski demikian, ia sendiri bisa menyadari mengapa data-data seperti itu muncul karena jika dilaporkan data yang sebenarnya, pemerintah justru akan merasa gagal dalam pengembangan koperasi. "Mereka masih melihat dari banyaknya koperasi yang terbentuk, sementara soal kualitas belum disentuh," katanya. Dibanding dengan koperasi di negara berkembang lainnya, menurut dia, peran koperasi di Indonesia masih rendah terutama jika dilihat dari kontribusinya terhadap perubahan struktur ekonomi nasional. Itu semua bisa terjadi karena koperasi di Indonesia terperangkap dalam masalah rutin, sekedar dapat hidup tanpa memiliki misi dan visi. "Koperasi tidak mampu menggunakan jati dirinya sebagai dasar dan sumber kekuatan moral untuk menciptakan pembangunan dan pembaharuan," katanya. Sementara khusus untuk KUD, Ibnoe menyatakan tidak sependapat jika koperasi tersebut harus dimatikan. "Terlepas ada KUD yang memang rusak, tapi jangan dimatikan. Mereka harus diperbaiki," katanya. Diakuinya bahwa peran KUD begitu besar pada masa Orde Baru, bahkan menjadi prioritas pengembangan yang membuat koperasi non KUD merasa dianaktirikan. Puncaknya adalah ketika terjadi krisis moneter, KUD yang ketika itu memperoleh dukungan kuat seolah kehilangan pegangan ketika pemerintah secara perlahan memangkas semua fasilitas. "Kebijakan `top down` ketika itu justru membuat KUD mengalami krisis jatidiri yang bersumber dari krisis nilai, kepemimpinan dan krisis kepercayaan hingga kini," katanya. Koperasi yang tidak berakar kepada keanggotaannya, katanya, menjadi lumpuh terutama di kalangan KUD. "Kondisi ini makin diperparah dengan dihapusnya istilah koperasi di amandemen UUD 1945," katanya. Padahal, katanya, peran konstitusi demikian besar dalam pengembangan koperasi, dan amandemen tersebut semakin membuat tidak jelas bagaimana mengembangkan keberadaan koperasi. "Sehingga harus ada suatu kebijakan nasional tentang pembangunan koperasi berdasar UUD. Pasal 33 hasil amandeman harus ditafsirkan kembali," katanya. Demikian juga dengan semua kebijakan seperti UU Perkoperasian dan juga semua peraturan perkoperasian harus dikaji ulang agar konsisten dengan penafsiran baru pasal 33 UUD. Sementara terhadap koperasi yang tidak memenuhi persyaratan hukum maupun jatidirinya tidak bisa diluruskan kembali, menurut dia, sebaiknya dibubarkan atau dialihkan ke bentuk badan hukum lainnya.(*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2006