Tanah Bumbu (ANTARA) - Seiring terus meredanya pandemi COVID-19 sejak Desember 2022, membuka kran kran bagi untuk kembali beraktivitas di luar rumah, termasuk untuk memanjakan mata dengan mengunjungi tempat-tempat wisata.

Masyarakat yang terkungkung dalam keterbatasan saat pandemi melanda dunia, tentu sudah merasa penat dan ingin berlibur atau keluar dari lingkungan tempat mereka tinggal. 

Sejumlah pilihan untuk berwisata bisa dijatuhkan ke Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), yang dikenal sebagai "Bumi Gora", dengan pemandangan eksotis yang tidak kalah dengan suasana di Pulau Bali. 

Suasana Bandara Internasional Praya di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, di pagi hari yang padat pengunjung, menjadi keindahan tersendiri dan mampu menarik senyum lebar bagi penyedia transportasi darat, dibandingkan pada kondisi sebelumnya.

Petugas bandara yang didominasi masyarakat lokal, menyambut dengan riang dan senyum manis serta sikap penuh keramahan bagi wisatawan yang baru datang di pintu gerbang jalur udara ke Pulau Lombok.

"Selamat datang bapak dan ibu di Pulau Lombok, kami siap membantu anda jika diperlukan. Kami menyediakan jasa paket wisata dan transportasi, siapa tahu bapak dan ibu berminat," kata salah satu penyedia jasa transportasi darat yang mangkal di Bandara Internasional Praya Lombok.

Keramahan sikap dan cara bertutur kata yang santun, menjadi suguhan spesial bagi pengunjung atau wisatawan asal Kabupaten Tanah Bumbu, Provinsi Kalimantan Selatan, Umy Halimah (30). Logat dan bahasa yang menyerupai cara bertutur orang Bali, membawa suasana percakapan mereka seperti di Pulau Dewata.

Hari semakin siang, tidak berpengaruh terhadap terik panasnya matahari. Kanan dan kiri sepanjang jalan dari bandara menuju Kota Mataram ditumbuhi pohon rindang dan besar menambah suasana perjalanan layaknya di Kota Malang, Bandung, atau di Balikpapan.

Suasana perjalanan dari Kota Mataram menuju daerah Senggigi yang memerlukan waktu dua jam perjalanan juga tampak sama. Jalanan itu menyuguhkan keindahan alam laut biru, pantai yang memiliki pasir putih, bersih serta gunung yang dipenuhi pohon besar, membuat udara segar dan suasasa alam semakin sempurna.

Hanya saja, jalan terjal dan berliku memicu adrenalin para pengendara saat melintas menuju daerah Senggigi.

Daerah itu menjadi salah satu tempat yang cocok untuk bermalam bagi wisatawan, sebelum menjelajahi panorama keindahan Pulau Gili Air, Gili Trawangan dan Gili Meno.

Tiga pulau yang terkenal di Nusa Tenggara Barat merupakan salah satu tujuan utama bagi wisatawan lokal maupun mancanegara untuk berwisata di pulau itu.

Untuk menuju tiga pulau tersebut, para wisatawan dapat menggunakan fasilitas perahu cepat yang dikelola oleh koperasi dengan sistem sewa. Untuk tarif public boat, wisatawan cukup membayar Rp20.000/orang dengan kapasitas penumpang perahu sebanyak 20 orang.

Sedangkan tarif private boat sebesar Rp600.000- Rp2 juta, wisatawan mendapatkan fasilitas satu unit perahu cepat beserta nakhoda dan satu anak buah kapal yang siap memandu dan mendokumentasikan kegiatan wisatawan di tiga pulau itu.

Keunikan objek wisata Gili Air adalah pasir pantai putih bersih yang mampu menambah keelokan untuk mata memandang.

Keajaiban terumbu karang yang dihuni berbagai jenis ikan menjadikan kesempurnaan ciptaan Tuhan di kawasan yang bertetangga dengan Bali dan Nusa Tenggara Timur (NTT) itu.

Bagi yang tidak menyukai snorkeling, bisa bermain-main di pinggir pantai sambil menikmati suguhan pemandangan memukau. Air lautnya pun bersih dan berwarna biru jernih yang membuat semakin lengkap keindahannya.

Keunikan dari Gili Trawangan yang tidak jauh dari Gili Air adalah lokasi tersebut tidak ada kendaraan, seperti motor dan mobil yang diperbolehkan beroperasi, sehingga menjadikannya sebagai pulau bebas dari polusi.

Kendaraan bebas polusi yang digunakan sebagai wadah transportasi utama di pulau itu adalah sepeda angin dan andong atau cidomo.

Bibir pantai yang putih dan bersih, membuat para wisatawan dari lokal dan mancanegra sibuk mengamati keunikan binatang penyu atau Chelonioidea yang berkeliaran atau berenang di tepi pantai untuk mencari makan.

Beraneka jenis penyu tampak di perairan dangkal itu, mulai dari penyu berukuran besar hingga ukuran kecil, Gili Trawangan menjadi surga bagi binatang tersebut untuk mencari makan dan berkembang biak.

Di pulau itu juga terdapat fasilitas lain, seperti penginapan bagi wisatawan dengan harga bervariasi, mulai dari Rp250.000 hingga Rp1 juta per malam.

Berbeda dengan Gili Meno, yang tidak setenar dan terkenal Gili Air dan Hili Trawangan. Berdarmawisata ke pulau itu belum lengkap kalau belum mengunjungi Gili Meno, di mana di dalamnya memiliki keunikan dan keindahan alam tersendiri. Di pulau itu pengunjung akan disuguhi suasana yang tenang, nyaman dan romantis.

Di Gili Meno ada spot patung yang berada di bawah laut bernama "Bask Nest" yang terdiri dari 48 tokoh seukuran manusia yang didesain melingkar mengelilingi dokoh di dasar laut. Wisatawan dapat melihatnya dengan cara snorkeling atau daiving.

Selain keindahan alamnya, Kota Lombok juga memiliki kekayaan budaya yang membuat wisatawan selalu ingin kembali berkunjung, salah satunya adalah warisan budaya di Desa Sasak (Sade), Kabupaten Lombok Tengah.

Lokasinya tidak jauh dari Kota Mataram atau 8 KM dari Sirkuit Mandalika, di mana lokasi itu memiliki luas sekitar 2 hektare dengan jumlah penduduk sebanyak 500 kepala keluarga.


Pertahankan budaya

Desa Sade adalah salah satu perkampungan di mana masyarakatnya masih mempertahankan kebiasan sehari-hari secara tradisional dan mempertahankan budaya Suku Sasak .

Pelestarian budaya itu, mulai dari rumah sebagai tempat tinggal, pakaian yang digunakan, prosesi perkawinan masyarakat setempat dan cara bercocok tanam yang masih menggunakan sistem tradisional.

Bahkan, desa itu juga menerapkan hukum adat bagi pemandu wisata yang berasal dari Desa Sade itu sendiri agar tidak meminta tarif upah bagi wisatawan yang berkunjung ke desa tersebut.

Jika hukum adat itu dilanggar, maka yang bersangkutan akan mendapatkan sanksi tidak diperbolehkan menjadi pemandu wisata selama tiga bulan yang ditetapkan oleh kepala suku di Desa Sade.

Uniknya lagi, penduduk Desa Sade yang mencapai 500 kepala keluarga tersebut merupakan satu garis keturunan dari kepala suku itu sendiri.

"Ini menjadi pengalaman bagi saya pribadi maupun wisatawan lain yang berkunjung ke lokasi ini. Kami dapat mempelajari kekayaan budaya Indonesia yang hingga saat ini masih dipertahankan oleh masyarakat setempat secara turun menurun," ujar Umi Halimah.

Wisatawan yang berkunjung di Desa Sade juga akan menemukan sebagian besar penduduk desa itu yang setiap harinya mempertahankan budaya dengan menggunakan pakaian adat Suku Sasak yakni, pakaian adat perempuan disebut lambung, sedangkan pakaian adat laki-laki disebut godek nongkeq.
 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023