Jakarta (ANTARA) - Setelah sukses menjadi Presidensi G20 yang dilaksanakan di Bali pada akhir 2022, tampaknya Indonesia tiada henti mendapatkan kepercayaan dari dunia internasional. Pada Tahun 2023 ini, semenjak 1 Januari, Indonesia resmi menyandang sebagai Ketua ASEAN.

Bahwasanya forum tertinggi tingkat regional Asia Tenggara ini akan digelar di Indonesia, tepatnya di Bajo pada Bulan Mei, serta Jakarta pada Bulan September. Tentu bukan posisi yang mudah bagi Indonesia mendapatkan kepercayaan ini. Terlebih dunia hari ini masih diliputi ketidakpastian efek dari berbagai macam gejolak yang ada, mulai dari pandemi hingga Perang Rusia-Ukraina yang tak kunjung usai.

Bahkan beberapa hari lalu kita juga dikejutkan dengan tumbangnya Silicon Valley, yang merupakan deretan bank besar yang ada di Amerika Serikat.

Bank yang didirikan pada 17 Oktober 1983 ini dikenal sebagai bank yang loyal dalam membiayai perkembangan start up dan memiliki aset sebesar 212 miliar Dolar AS (per kuartal IV 2022), serta memiliki 29 cabang di 9 negara. Bank itu terpaksa gulung tikar akibat tak kuat menahan kontraksi besar, efek dari pandemi COVID-19, yang diikuti oleh banyaknya perusahaan start up tumbang sepanjang 2022.

Selain itu di kawasan Asia Tenggara sendiri juga tak kalah peliknya, yakni permasalahan konflik di Laut Cina Selatan yang melibatkan Amerika dan China serta beberapa negara di Asia Tenggara. Bahkan, China tidak menunjukkan tanda-tanda untuk mengurangi penumpukan atau menyusutkan kehadirannya, dan menambah kompleksitas ke salah satu wilayah paling dinamis di dunia.

Permasalahan lainnya ditingkat regional Asia Tenggara, yakni Junta Militer Myanmar yang belum kunjung usai selama hampir dua tahun ini, yang berdampak pada rusaknya iklim demokrasi di ASEAN. Karena hingga saat ini negara-negara ASEAN belum mampu memecahkan kebuntuan yang ada, sementara di sisi lain korban sipil terus berjatuhan akibat tak sepaham dengan pemerintahan ala militer di Myanmar.

Beberapa peristiwa yang digambarkan di atas semakin memperjelas terjadinya disrupsi geopolitik hari ini dan menjadi pekerjaan berat bagi Indonesia selaku tuan rumah untuk bisa mengurai berbagai permasalahan ini agar tak berdampak luas bagi stabilitas politik di Indonesia maupun ASEAN.

Lalu apa yang harus dilakukan oleh Indonesia agar negara-negara di ASEAN bisa terlepas dari disrupsi geopolitik hari ini? Kita berkaca dari ekonomi RI sepanjang 2022 yang mengalami pertumbuhan yang signifikan, yakni sebesar 5,31 persen, lebih tinggi dibanding capaian tahun 2021 yang mengalami pertumbuhan sebesar 3,70 persen. Menariknya, pertumbuhan ini menjadi yang terbesar setelah Indonesia menjadi negara yang paling terdampak dari pandemi COVID-19.

Walau tak sebanding dengan pertumbuhan ekonomi pada negara ASEAN lainnya, seperti Vietnam, Malaysia, serta Filipina, yang mencapai di atas 7 persen, masih ada harapan bagi Indonesia untuk bisa menjadi katalisator pertumbuhan ekonomi dunia bersama negara-negara ASEAN lainnya.

Hanya saja, harapan itu jangan hanya menjadi harapan belaka. Perlu adanya aktualisasi dan soliditas antarnegara-negara di ASEAN yang selama ini dianggap kurang greget, menurut istilah kaum milenial sekarang, dalam menyikapi suatu permasalahan yang ada.

Seperti contoh kasus di Laut China Selatan, bagaimana kita melihat negara-negara di ASEAN yang terlibat langsung dengan konflik itu cenderung berjalan sendiri serta mekanisme regional ASEAN di dalam penyelesaian konflik. Bahkan sesama negara anggota ASEAN masih terdapat perbedaan kepentingan yang juga memperlihatkan rasa insecuritas antarnegara. Tentu ini berbahaya bagi masa depan ASEAN.

Selain itu negara-negara di ASEAN juga cenderung pasif dan tak bisa berbuat banyak atas peristiwa kudeta militer di Myanmar. Walaupun terbelenggu prinsip dasar untuk tidak mencampuri urusan dalam negeri negara anggotanya, namun perlu adanya langkah konkret agar kejadian di Myanmar tidak berlarut. Karena ini menyebabkan semakin menipisnya atmosfer demokratisasi dan penegakan hak asasi manusia di kawasan ASEAN.

Belum lagi juga kita dihantam dengan kondisi global yang tak menentu, seperti yang dikatakan Presiden Joko Widodo dalam sambutannya di acara Rabithah Melayu Banjar di Tabalong, beberapa waktu silam. Presiden menjelaskan begitu suramnya situasi global hari ini yang dilanda berbagai macam masalah, namun ekonomi kita terus tumbuh. Dan kita sebagai bangsa yang kuat akan bisa melewati masa-masa ini. Semangat ini pula yang perlu ditularkan ke seluruh anggota ASEAN.

Oleh karena itu momentum Indonesia sebagai keketuaan The Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) 2023, dengan mengusung tema ASEAN Matters: Epicentrum of Growth yang diartikan Indonesia ingin menjadikan ASEAN tetap penting dan relevan bagi masyarakat ASEAN maupun dunia harus dioptimalkan.

Jangan sampai permasalahan yang timbul ini menjadi batu sandungan bagi masa depan masyarakat ASEAN untuk terus tumbuh dan semakin diperhitungkan dunia. Karena aspek keamanan regional serta tumbuhnya demokrasi menjadi faktor penentu bagi suatu negara atau kawasan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonominya. Apalagi dalam melihat pertumbuhan ekonomi bagi para anggota ASEAN yang menunjukkan tren positif.

Melihat kenyataan itu, memang perlu adanya upaya untuk mengatasi permasalahan yang ada agar cita-cita menjadikan ASEAN sebagai pusat pertumbuhan ekonomi dunia bisa terlaksana dengan baik. Pada akhirnya negara-negara di ASEAN bebas dari terbelenggu dan ancaman disrupsi geopolitik yang sudah banyak menelan korban, yang berakibat pada collaps-nya beberapa negara dan runtuhnya berbagai macam pusat perekonomian yang terpaksa harus gulung tikar.

*) Muhammad Sutisna adalah Co Founder Forum Intelektual Muda

 

Copyright © ANTARA 2023