Jika masa jeda puasa itu tidak dimanfaatkan untuk muhasabah diri atau membersihkan jiwa, maka merugilah kita
Bondowoso (ANTARA) - Nabi Muhammad saw. mengingatkan umatnya mengenai puasa yang tidak mendapatkan apa-apa, kecuali hanya rasa lapar dan haus, lewat hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad.

Peringatan itu mengandung pengertian banyak hal mengenai hakikat puasa yang wajib dijalani umat Islam, setiap setahun sekali, dalam Bulan Suci Ramadhan.

Puasa tidak cukup hanya dimaknai sebagai tidak makan dan minum pada siang hari, termasuk hal-hal lain yang pada hari-hari biasa dibolehkan, seperti berhubungan badan dengan isteri.

Tidak makan dan minum hakikatnya hanya sebagai sarana untuk tujuan yang lebih tinggi, di luar urusan tubuh. Puasa, sejatinya harus menyentuh esensi dasar dari manusia, yaitu jiwa yang harus terus-menerus dibersihkan dari kotoran yang masuknya ke dalam diri setiap insan melalui sarana tubuh, lebih tepatnya pancaindera.

Ketika puasa hanya dimaknai sebagai menahan diri dari makan dan minum, maka Ramadhan hanya menjadi bulan untuk mengubah waktu dan pola makan. Makan minum yang biasanya dilakukan siang hari diubah menjadi malam hari. Jika demikian, maka jangan harap puasa yang kita jalani selama sebulan penuh akan membawa dampak pada peningkatan kualitas jiwa, yakni menjadi orang yang bertakwa.

Puasa yang dalam setahun atau 12 bulan hanya diwajibkan satu kali pada Bulan Ramadhan, menjadi momentum "jeda" bagi umat Islam dalam memperjalankan jiwanya menuju kualitas terbaik dengan predikat awal sebagai khalifah fil ard atau wakil Allah di Bumi.

Ibarat perjalanan secara fisik, kaum Muslim diberi waktu untuk istirahat, kemudian mengevaluasi perjalanan selama 11 bulan itu untuk diperbaiki dan hasilnya menjadi bekal untuk melanjutkan perjalanan pada 11 bulan berikutnya.

Sebagai momentum jeda, puasa sebetulnya juga menjadi kesempatan bagi umat Islam untuk terus memurnikan jiwa luhurnya sebagai "sebaik-baik ciptaan". Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Al Quran Surat At-Tin ayat 4, yang artinya “Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”.

Jika status sebagai wakil Allah bergandeng dengan stempel diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya, maka Bulan Ramadhan juga menjadi sarana bagi yang menjalaninya untuk kita terus mengunduh sifat-sifat Allah, kemudian diperagakan di alam semesta ini.

Sifat Allah Swt. yang menjadi inti dari sifat-sifat-Nya yang lain adalah rahman dan rahim. Dua sifat itu juga merupakan inti dari Surat Al Fatihah, yang dikenal sebagai basmalah. Umat Islam juga sangat dianjurkan untuk setiap mengerjakan sesuatu selalu mengawali dengan bismillaahir rahmaanirrahim.

Dengan selalu membaca basmalah itu, Allah mendidik umat-Nya agar dalam melakukan semua hal dilandasi oleh sifat rahman dan rahim itu.

Dengan berpuasa, perut menjadi kosong, rasa lapar/haus hadir, dan saat bersamaan pikiran menjadi lebih tenang dari rutinitas memikirkan hal-hal rumit, khususnya terkait dengan pemuasan ego atau hawa nafsu, seperti mewujudkan impian-impian yang bersifat material.

Dalam kondisi jiwa yang masih dikuasai oleh hasrat pemenuhan itu biasanya kita sering terjebak dalam kondisi jiwa yang iri, dengki, marah, termasuk jeratan yang paling tinggi serta halus adalah rasa bangga alias ujub.

Waktu-waktu selama kita terjaga atau tidak tidur saat berpuasa bisa kita manfaatkan untuk kontemplasi atau muhasabah sehingga mampu membaca di mana posisi jiwa kita terjebak. Katakanlah selama ini kita terjebak dalam rasa ketidakterpenuhan hasrat, baik harta, takhta, maupun status sosial, berpuasa menjadi waktu yang tepat untuk memetakan itu. Kita sadari bahwa kondisi itu membawa kita pada kedudukan sebagai umat yang kufur nikmat. Padahal sesungguhnya, telah banyak karunia Allah yang kita nikmati selama ini yang kemudian ter-hijab oleh hasrat-hasrat yang belum mampu terwujudkan.

K.H. Imam Barmawi Burhan, ulama di Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur, pernah mengingatkan seorang muridnya yang bercerita tentang keluhan hidup, dengan cara bersyukur. Menurut Kiai Imam, kesadaran syukur terbesar manusia adalah bahwa kita diciptakan oleh Allah menjadi manusia, bukan menjadi hewan, seperti kerbau atau sapi, bukan juga menjadi tumbuhan.

Kontemplasi di saat kondisi perut lapar cenderung menghasilkan perenungan yang lebih jernih, kemudian jiwa itu kita kembalikan lagi ke kualitas fitrahnya yang selalu dipancari cahaya Ilahi, dalam bingkai rahman rahim.

Ketika tersadari di mana jiwa kita bermaqom, segera istighfari, kemudian alihkan perhatian pada nikmat-nikmat hidup yang selama ini tidak pernah kita sadari. Jika, misalnya, kita terjebak dalam kondisi jiwa yang selalu menuntut orang lain selalu sama dengan kehendak kita, kita sadari lagi bahwa kita tidak punya hak apa pun agar orang lain selalu menuruti kemauan kita.

Jika hal ego itu telah mewujud dalam perbuatan, seperti mencaci atau merendahkan seseorang, terutama saat ini, lewat media sosial, segera istighfari juga dan disempurnakan dengan meminta maaf kepada pihak yang menjadi korban dari perilaku kita.

Bagaimana dengan jeratan ego yang super halus, namun juga mampu menyeret kita untuk lepas dari kefitrahan? Inilah yang tergolong dalam kategori kesombongan, termasuk yang paling ringan, yakni membanggakan diri.

Kisah iblis yang kemudian terkutuk, berawal dari sifat sombong ini. Awalnya iblis itu bernama Azazil, sebuah panggilan tertinggi untuk malaikat, karena Azazil memang terkenal kealiman dan selalu mengingat serta patuh kepada Allah.

Akibat terjebak dalam kubangan ego bahwa dirinya yang paling baik, Azazil kemudian menjadi pembangkang saat Allah memerintahkan semua malaikat untuk sujud kepada Adam. "Aku lebih baik daripada Adam," begitu jawaban Azazil saat menolak sujud pada Adam.

Bukankah sangat mungkin kita juga sering terjebak dalam pusaran ego merasa lebih baik daripada yang lain, seperti halnya Azazil? Puasa telah menyediakan waktu bagi kita untuk jeda dan keluar dari kesombongan-kesombongan yang melenakan itu.

Keadaan ini tentu sangat mengotori kualitas jiwa seseorang, dengan status agung sebagai khalifah di Bumi ini. Sepertinya layak direnungkan juga dengan sikap menilai rendah mereka yang masih menjual makanan di bulan pada siang hari. Bukankah keberadaan mereka justru sangat dibutuhkan oleh Muslim yang sedang terbebas sementara dari kewajiban puasa, seperti sakit atau sedang dalam perjalanan (musafir).

Jika masa jeda puasa itu tidak dimanfaatkan untuk muhasabah diri atau membersihkan jiwa, maka merugilah kita. Dengan kualitas puasa seperti itu, rasanya kita tidak pantas ikut-ikutan dalam rombongan kaum yang berstatus "meraih kemenangan" pada perayaan Idul Fitri.

Ibarat peserta lomba lari yang sebetulnya tidak mampu mencapai garis finis, malah ikut-ikutan melakukan selebrasi, seolah-olah dirinya sebagai pemenang.









 

Copyright © ANTARA 2023